Kearifan Lokal(rebowagen.com)– “Cah saiki wis langka sik isa buntel lemper, wis kulina cemplang-cemplung nganggo plastik” (anak sekarang sudah jarang yang bisa membungkus lemper, sudah terbiasa menggunakan plastik)” Ujar Budhe Sum. Gerak tangannya cekatan menekuk daun pisang menjadi bentuk lemper, tak ada 2 menit lemper berisi beras ketan campur abon sapi telah terbungkus dengan rapi. Saya yang melihat hanya termangu memperhatikan gerik tangan Budhe Sum, gerak sat-setnya menandakan beliau memang sudah biasa membungkus lemper.
Perihal proses bungkus membungkus makanan menggunakan daun, seringkali saya melihatnya saat ikut ‘rewang‘, atau ‘rasulan‘. Para ibu sengkuyung-sengkuyung membuat berbagai makanan ringan yang dibungkus dengan daun, seperti lemper, mendhut, utri, tape, lemet, dan kupat. Biasanya jajanan tersebut digunakan sebagai ‘pacitan‘ (camilan) saat wedangan. Berbeda dengan ‘rasulan‘, proses membuat bungkusan daun biasanya digunakan untuk membuat ‘ater-ater‘ atau ‘brokohan‘. Segala macam nasi, lauk pauk, akan dibuatkan wadah kecil-kecil dari daun pisang atau jati lalu dimasukkan ke dalam ‘tenggok‘. Proses selanjutnya adalah ‘ngetokke‘ atau dibawa berkumpul di balai dusun untuk didoakan dan dimakan bersama-sama.
Membungkus makanan dengan daun sebetulnya adalah aktivitas yang umum dan lazim dilakukan oleh warga desa. Saat membeli bubur, bakmi, atau gathot, thiwul juga dibungkus dengan daun. Budaya yang sangat dekat, namun saat ini terasa jauh dengan keseharian kita sebagai anak muda. Teringat ketika Budhe Sum meminta saya untuk membantu membungkus lemper. Saat itu saya baru tersadar bahwa ternyata tidak bisa. Dari pengalaman tersebut saya menyadari bahwa membungkus makanan dari daun sebetulnya adalah skill yang harus dilestarikan dengan cara dilakukan terus menerus.
Namun, kemajuan zaman mampu menggeser stigma tentang bungkus makanan dari daun. Budaya yang ramah lingkungan, mudah, murah dan praktis ini dianggap ketinggalan zaman dan tidak kekinian. Perannya juga sudah banyak digantikan dengan kemasan dari plastik yang dianggap lebih modern. Akibatnya, kebiasaan warisan leluhur ini lambat laun mulai ditinggalkan, dan orang-orang yang menguasai ilmu ini semakin terbatas pada orang-orang yang sudah ‘sepuh‘.
Saya pun ikut mengamini apa yang disampaikan Budhe Sum, bahwa generasi muda saat ini sudah jarang yang bisa membungkus makanan dengan daun. Bahkan, masyarakat sekarang memang lebih memilih menggunakan wadah dari plastik, styrofoam, atau kardus yang jelas lebih mudah dan praktis penggunaannya.
Berbagai jajanan pasar yang dulunya dibungkus menggunakan daun-daunan, saat ini juga sudah mulai beralih ke plastik. Seperti klepon, lonthong, lemper, sarang gesing, dan mendhut. Agak miris memang melihatnya. Aroma segar daun pisang yang biasanya muncul di jajanan atau makanan kini sudah mulai sulit ditemui.
Menggunakan kemasan plastik memang jauh berkali-kali lipat lebih mudah. Namun di balik kemudahan itu, harga yang harus dibayar sangatlah mahal. Perlu puluhan hingga ribuan tahun plastik bisa terurai. Bahkan styrofoam sendiri mendapat predikat sebagai sampah abadi. Efeknya, saat penggunaan bahan-bahan tak terurai ini tidak terkendali, akan menjadi gunungan sampah, sebuah masalah tak berujung yang harus dihadapi banyak tempat, banyak negara sampai hari ini.
Di Gunungkidul sendiri ada beberapa jenis daun-daunan yang biasa digunakan untuk membungkus makanan. Seperti daun pisang, daun jati, awar-awar, dan janur kelapa. Daun pisang adalah jenis yang paling lazim digunakan untuk membungkus beragam jajanan pasar, sayur mayur, dan beberapa tempe. Selain daun pisang, daun jati juga menjadi pilihan utama, mengingat pohon jati tumbuh sangat banyak di Gunungkidul. Daun jati biasanya digunakan untuk membungkus ‘sega berkat‘, tempe, dan beberapa jajanan pasar. Untuk jenis daun awar-awar, material pembungkus ini baru saya temui di Gunungkidul. Daun awar-awar saya temukan untuk membungkus tempe yang biasanya dibarengi dengan daun jati.
Bungkusan menggunakan daun ada berbagai macam. Bentuk yang tercipta, juga tergantung dari bahan makanan yang akan dibungkus. Berikut beberapa bentuk bungkusan dari daun pisang yang pernah saya temui di Gunungkidul.
1 Takir
Takir umumnya saya jumpai saat usum ‘rasulan‘, ‘genduren‘ atau saat membuat ‘sajen‘. Takir yang saya temui umumnya digunakan untuk membungkus makanan-makanan yang agak berkuah, seperti kolak. Bentuknya dibuat layaknya kotak persegi atau persegi panjang.
‘Takir‘ juga digunakan di dalam ‘sajen‘. Saat saya mengunjungi Pakde Paiman, salah satu ‘ubarampe‘ yang digunakan untuk ‘among-among‘ dibungkus menggunakan ‘takir‘ daun pisang.
“Takir kui, tatag ing pikir harapane mugi-mugi sik diamong-amongi bisa tatag pikire, bisa semeleh”
(Takir itu, tatag ing pikir harapannya semoga yang diberi selamatan bisa teguh dalam berfikir, bisa semeleh)
ujar Pakde Paiman.
“Ternyata, bungkus makanan daun mempunyai arti dalam sekali,” batin saya. Orang Jawa, memang memiliki tradisi dan kebudayaan yang tidak sembarangan. Semua ada makna dan filosofinya, setiap detailnya pun selalu diselipkan doa-doa kepada-Nya.
2 Sudi
Pernah tahu bentuk bungkus klepon sebelum akhirnya menggunakan plastik? Ya, itu namanya ‘sudi‘. Berwujud seperti mangkok yang tengahnya berbentuk segitiga. Di Gunungkidul saya sering menemui ‘sudi‘ di ‘sega berkat‘ (yang menggunakan ‘besek‘). ‘Sudi‘ biasanya digunakan untuk wadah makanan kecil-kecil seperti cenil atau klepon. Kalau di ‘sega berkat‘ lazimnya digunakan untuk bakmi atau sambel goreng.
Teknik membuat ‘sudi‘ dari dedaunan, juga terbilang gampang-gampang susah. Untuk pertama kali membuat, saya yakin pasti gagal. Entah daunnya yang sobek atau bentuk segitiganya yang rusak.
3 Pincuk
Kalau pergi ke pasar lalu jajan pecel on the spot, biasanya ibu penjual akan membuat ‘pincuk‘ sebagai pembungkus. Teknik membuat pincuk juga termasuk mudah dan praktis. Fungsinya digunakan untuk pengganti piring.
Di Gunungkidul saya sering menemukan pincuk saat gotong royong atau ‘sambatan‘. Kalau lupa membawa piring, biasanya orang-orang akan langsung sigap mencari daun untuk dibentuk menjadi pincuk.
4 Tum
Belum lama saya tahu kalau bungkusan bubur ‘jangan‘ (sayur) yang sering saya beli untuk sarapan itu namanya ‘tum‘. Sebetulnya saya sering dengar waktu pergi ke pasar, banyak guyonan “di tum apa di pincuk?” Ternyata ‘tum‘ salah satu bentuk bungkusan.
Bungkusan berbentuk tum adalah teknik paling umum digunakan untuk membungkus sampai sekarang. Bentuknya bisa besar atau kecil, tergantung isiannya. Biasanya kalau beli nasi bungkus di warteg, model bungkusannya menggunakan ‘tum‘.
5 Tempelang
“Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan” begitu bunyi sajak yang ditulis oleh penyair Joko Pinurbo. Angkringan masuk dalam salah satu ingatan ketika membicarakan soal Jogja. Berbicara soal angkringan, pasti tak lepas dari nasi kucing. Nasi yang dibungkus kecil-kecil layaknya makanan kucing, menjadi ciri khas ketika datang ke angkringan.
Bungkusan kecil-kecil nasi kucing di angkringan, disebut sebagai ‘tempelang‘. Tempelang adalah salah satu teknik membungkus makanan menggunakan daun, yang difungsikan untuk membungkus nasi beserta lauknya.
6 Conthong
Bentuknya menyerupai terompet, memiliki ujung yang lancip dan mulut terbuka lebar. ‘Conthong‘ mengingatkan masa kecil saya saat nonton wayang bareng simbah yang selalu membeli kacang rebus, dibungkus conthong. Harganya masih seribu rupiah, dapet satu ‘conthong‘. Sekarang sudah tidak pernah lagi saya bertemu penjual kacang menggunakan ‘conthong‘, rata-rata sudah menggunakan plastik.
Conthong di Gunungkidul, tidak hanya untuk membungkus kacang, tapi juga apem. Namanya ‘apem conthong‘. Kalau bungkusan kacang menggunakan daun pisang, kalau apem conthong menggunakan daun nangka sebagai pembungkusnya. Apem conthong biasanya ada di momen-momen tertentu seperti lebaran. Selebihnya saya jarang menemukan apem conthong.
7 Lemper
Salah satu makanan di Gunungkidul yang paling sering dibuat saat ada hajatan adalah ‘lemper‘. Beras ketan yang dicampur abon. Lalu dibungkus menggunakan daun pisang berbentuk lonjong. Saya belum menemukan istilah bungkus lemper. Mayoritas ibu-ibu yang saya tanya soal nama bungkus lemper, jawabannya sama ‘nglemper‘.
Bentuk lemper hampir mirip dengan ‘arem-arem’ dan lonthong. Bedanya ‘arem-arem’ biasanya lebih gendut daripada lemper. Dan lonthong ukurannya lebih panjang. Proses ‘nglemper‘ saat ada hajatan biasanya dilakukan 1-2 hari sebelum hari H.
8 Samir
Samir biasanya dibuat dari daun pisang. Bentuknya bulat lonjong, ukurannya disesuaikan dengan barang yang mau ‘di-lemeki‘ atau dialasi menggunakan samir. Samir memang difungsikan sebagai alas, untuk piring, tampah, dan lain-lain. Kenapa harus diberi samir? Saya menangkapnya selain untuk estetika, memberi samir pada piring juga saya maknai sebagai kesopanan. Piring yang kita gunakan mungkin sudah lusuh, atau ‘ora wangun‘ (kurang pantas). Ditutup menggunakan samir bisa menjadi salah satu solusi.
Demikian sedikit uraian tentang macam dan nama bungkusan makanan dari daun. Secara praktik memang tidak mudah menggunakan kemasan daun. Di era kemasan serba cepat dan praktis, harus kembali mempraktikkan membuat kemasan dari dedaunan yang prosesnya lebih lama. Namun nasib beragam teknik membungkus dari daun bisa jadi terancam punah, ketika anak mudanya tidak berusaha melestarikannya.
Penting juga kita pahami, makanan panas yang diwadahi dengan bahan dari plastik, menurut beberapa penelitian akan berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Ada reaksi kimia yang dihasilkan dari bahan plastik yang terkena suhu panas dari makanan. Di samping sebetulnya, masalah sampah plastik yang saat ini menjadi ancaman lingkungan yang serius, bisa dikurangi dengan kebiasaan kita menggunakan bungkusan dari daun yang lebih ramah lingkungan.