Sejarah(rebowagen.com) — Istilah ‘pagebluk‘ pada bahasa Jawa dapat diartikan sebagai suatu ‘wabah’. Biasanya hal ini terkait dengan merebaknya suatu jenis penyakit yang hampir merata menyerang masyarakat. Salah satu yang paling aktual adalah Pandemi Covid19 yang terjadi belum lama ini. Dalam catatan sejarah, memang beberapa kali tercatat, rakyat pulau Jawa beberapa kali pernah dilanda pagebluk wabah penyakit. Diantaranya penyakit kolera, gudhik, TBC, pes, dan influenza.
Pada ‘jaman gaber‘, petaka terjadi diawali bukan karena wabah penyakit, melainkan krisis/paceklik pangan. Meski akhirnya, dari kekurangan pangan ini juga berakibat banyak timbul penyakit. Kesulitan mencari bahan pokok makanan ini menyebabkan sebagian warga Gunungkidul kekurangan gizi. Bahkan, tidak sedikit juga warga yang meninggal dunia akibat kelaparan. Peristiwa mengenai zaman gaber pun acap kali diceritakan ulang oleh masyarakat Gunungkidul yang pernah mengalami langsung dan menjadi saksi paceklik ini.
Di balik fenomena krisis pangan yang melanda Gunungkidul tersebut, masih banyak pertanyaan atau misteri terkait apa sebenarnya penyebab zaman gaber. Selain itu, bagaimana cara dan upaya warga Gunungkidul bertahan hidup dari krisis yang melanda.
Penyebab Krisis Pangan di Gunungkidul
Krisis pangan yang terjadi di Gunungkidul pada tahun 1963-1964 tidak lepas dari kebijakan ekonomi yang diambil oleh Presiden Soekarno. Saat itu, Soekarno membatasi perdagangan dengan luar negeri dan menekan modal asing untuk mencapai kemerdekaan ekonomi. Keinginan ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (1961-1968).
Dikutip dari laman Historia.id, dalam usaha mencapai rencana tersebut, pemerintah mengubah posisi Bank Indonesia yang semula bisa membuat kebijakan sendiri, menjadi berada di bawah pemerintah. Hasil dari kebijakan ini, membuat Bank Indonesia mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk biaya pembangunan proyek-proyek mercusuar dan propaganda terhadap Malaysia.
Pesatnya peredaran uang di masyarakat, membuat nilai mata uang pun anjlok dan harga barang justru naik atau mengalami inflasi. Akibatnya, harga ekspor juga turut naik dan kalah bersaing dengan pasaran internasional. Tak ayal, ini membuat beban utang luar negeri dan belanja impor pemerintah menambah parah kondisi perekonomian di Indonesia.
Kondisi perekonomian yang semakin memburuk, membuat pemerintah menghentikan impor beras dan melancarkan program swasembada pangan. Namun, program ini gagal akibat kemarau panjang dan hama tikus menyerang di beberapa daerah, tak terkecuali di Kabupaten Gunungkidul.
Hampir semua warga Gunungkidul saat itu kesulitan mencari bahan pokok makanan. Beras menjadi barang yang sangat langka dan susah didapatkan. Hal ini menyebabkan sebagian warga mengalami kekurangan gizi dan tidak sedikit yang akhirnya meninggal dunia karena terserang penyakit dan kelaparan.
Upaya Masyarakat Gunungkidul Bertahan Hidup
Krisis pangan di Gunungkidul yang terjadi tahun 1963 oleh masyarakat Gunungkidul disebut ‘jaman gaber‘. Zaman di mana hampir semua warga kesulitan mencari bahan pokok makanan. Istilah ‘gaber‘ adalah sebutan untuk bungkil/tepung ketela pohon/singkong.
Kondisi ini juga dialami oleh salah seorang warga di Kalurahan Ngeposari, Kapanewon Semanu, bernama Sami (70). Beliau adalah salah satu saksi hidup dan mengalami langsung bencana ini. Ia menceritakan bahwa pada tahun 1963, benar-benar terjadi krisis pangan di Gunungkidul. Tingginya harga beras di pasaran, membuat warga sekitar berinisiatif untuk menjual apa saja yang dimilikinya untuk bisa membeli bahan makanan. Hewan ternak, kandang ternak, rumah dan bahkan genteng rumah yang masih terpasang.
“Sing jelas, jaman gaber kui sak ngertiku ya gara-gara hama tikus kui, Le. Tanduran sak mana akehe entek dipangan tikus. Terus pas jaman semana, ya, ndilalah ora ana udan”
(Yang jelas, zaman gaber itu sepengetahuan saya gara-gara hama tikus, Le. Tanaman segitu banyaknya habis dimakan tikus. Terus kebetulan waktu itu juga nggak ada hujan),
kenang perempuan yang akrab disapa Mbah Sami itu.
“Yo alah, nek kelingan marai mbrebes mili, Le. Arep mangan sega putih we jan rekasa. Barang-barang entek tak dol, kuwi we urung cukup dienggo mangan (Ya alah, kalau ingat pengen nangis rasanya, Le. Mau makan nasi putih saja susah. Barang-barang habis aku jual, itu saja belum cukup buat makan),” lanjutnya.
Mbah Sami menambahkan, tidak sedikit warga yang mencari kerja di Kota Wonosari untuk makan. Selain itu, sebagian warga juga banyak yang mengais sisa-sisa makanan di sekitar Pasar Argosari, Wonosari.
Banyak cara yang dilakukan oleh warga Gunungkidul untuk bertahan hidup saat paceklik, ada yang mengonsumsi gaber (bungkil ketela pohon), bulgur (jagung yang dikeringkan), bekatul, daun manding (petai cina), dan bahkan daging tikus.
“Ya, sing jelas mbiyen ki mangan gaber karo godong manding direbus. Rong minggu, Le, aku mangan ngana terus. Karang ya larang pangan, apa wae isa dadi panganan”
(yang jelas dulu ki makan bungkil ketela pohon sama daun manding direbus. Dua minggu aku makan itu. Namanya juga krisis pangan, apa saja bisa jadi makanan),
terang Mbah Sami.
Tidak hanya terjadi kelangkaan bahan pokok makanan, saat itu warga juga kesulitan menemukan pakaian yang layak. Akibatnya, tidak sedikit yang menggunakan pakaian berbahan dasar kain goni dan muncul penyakit gatal-gatal.
Dari beberapa cerita, sering tikus ini memakan telapak kaki atau jari-jari orang yang sedang tidur pulas. Saat menggigit, orang yang sedang tidur itu tidak terasa sakit, tapi tahu-tahu ketika bangun sudah berdarah. Cerita ini saya dapatkan di berbagai daerah di Gunungkidul.
Juga karena kekurangan pangan, penyakit Beri-Beri (semacam penyakit kaki gajah) banyak menjangkiti masyarakat. Penyakit ini disebabkan karena kekurangan gizi. Tubuh orang yang terserang penyakit ini tampak gemuk tapi empuk (gimbur-gimbur), sehingga ketika ditekan maka ‘penyok‘ kulitnya tidak kembali.
Sampai saat ini, kenangan zaman gaber acap kali muncul di ingatan Mbah Sami ketika mengalami gagal panen. Bagaimana hujan yang tak kunjung turun, sementara tikus merajalela memakan semuanya.
“Lha wong kulit wit-witan we dipangan, aja meneh tanduran tetanen, saking ora eneng panganan meneh (lha kulit pohon saja dimakan, apalagi tanaman pertanian, karena tidak ada lagi makanan lagi),” kenang Mbah Sami.
Meski bencana krisis pangan tersebut tidak berlangsung lama, tapi ia masih ingat betul bagaimana susahnya mencari makan dan pakaian yang layak. Adanya peristiwa ini, membuat Mbah Sami selalu bersyukur dan menghargai setiap makanan yang ia konsumsi saat ini.
Nestapa zaman gaber di Gunungkidul memang cepat berlalu. Kondisi ini bisa segera pulih lantaran hama tikus berangsur-angsur mulai menghilang. Tikus banyak yang mati karena kekurangan pangan. Selain itu, tak lama kemudian musim hujan juga datang sehingga para petani di Gunungkidul sudah bisa mulai bercocok tanam dan bisa melewati masa sulit ini.
Di balik derita nestapa yang pernah dialami masyarakat akibat krisis pangan, tergambar jelas bagaimana karakter serta daya juang warga Gunungkidul dalam bertahan hidup. Saya ingat tulisan Kris Mheilda Setyawati di rebowagen.com beberapa waktu lalu. Ida membahas tentang konsep lumbung pangan hidup yang dilakukan oleh Mbah Trisno Suwito asal Kapanewon Ponjong. Mbah Tris sampai saat ini masih tetap melestarikan umbi umbian (uwi, gembili, kimpul dll) yang sering disebut ‘lumbung pangan hidup‘. Saat zaman gaber, Mbah Tris dan keluarganya mengandalkan umbi-umbian ini sebagai cadangan pangan yang menyelamatkan keluarganya.
Melalui fenomena ini, kita juga bisa belajar bahwa karakter masyarakat Gunungkidul sesungguhnya adalah tidak mau menyerah dengan keadaan. Betapa pun berat dan kerasnya hidup yang menerpa, manusia Gunungkidul sejatinya akan terus (tetap) tumbuh secara mandiri dan tidak bergantung dengan kebijakan pemerintah yang seringkali justru jauh dari kata pro-rakyat kecil.
Gunungkidul memang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Beraneka ragam tradisi dan budaya juga masih tumbuh subur di Bumi Handayani. Namun, tidak bisa dipungkiri sampai sekarang angka kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul masih tinggi. Tentu saja, kondisi ini bukan karena masyarakat kita yang pemalas atau tidak mau bekerja, tetapi lebih karena sistem dan kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan segelintir golongan saja. Dan, zaman gaber adalah bukti nyata dari kebijakan ambisius penguasa yang justru malah acap kali menyengsarakan warga.