Seni(rebowagen.com)- Reyog Dhodhog, reyog klasik, reyog tua atau reyog pung jirr, begitu masyarakat di Kabupaten Gunungkidul menyebut kesenian ini. Reyog biasanya ditarikan para pria, namun terdapat juga grup para penari Reyog Dhodhog yang kesemua anggotanya wanita.
Seni Reyog Dhodhog di Gunungkidul agak berbeda dengan seni reyog di kawasan Jawa Timur, terutama wilayah Kabupaten Ponorogo yang konon cerita merupakan asal dari kesenian ini. Reyog Ponorogo memiliki ciri khas ‘dhadhak merak’ penggambaran tokoh Singa Barong, dan tokoh yang memiliki ilmu kanuragan serta pencak silat yang trampil yakni Patih Pujangga Anom, (Bujangganong). Reyog Dhodhog tidak menggunakan ‘dhadhak merak’, tapi dua tokoh sentral yang diiringi oleh tokoh ‘penthul‘ dan ‘beles‘.
Seni kaprajuritan lainnya yang hampir menyerupai ialah ‘jathilan’. Perbedaan dengan reyog klasik adalah pemain jathilan mengalami ‘trance‘ atau ‘ndadi‘, sedangkan reyog klasik tidak mengalaminya. Dalam perkembangan zaman, kesenian reyog memang mengalami banyak sekali ‘kembangan/carangan‘ (variasi), menurut kultur daerah masing-masing. Banyak cerita sejarah atau tutur yang terselip di balik masing-masing varian kesenian reyog yang berkembang di setiap wilayah.
Para sesepuh di Gunungkidul bertutur bahwa Reyog Dhodhog, merupakan penggambaran para prajurit Kerajaan Majapahit yang pergi ke arah barat mencari rajanya. Konon cerita, Prabu Brawijaya terpaksa meninggalkan Kerajaan Majapahit disebabkan pecah perang saudara dan perebutan kekuasaan saat ia memerintah. Pencarian Prabu Brawijaya dilakukan oleh para prajurit tanda kesetiaan mereka kepada sang raja. “Sebaya mukti, sebaya pati” adalah peribahasa yang menggambarkan kesetiaan para prajurit itu
Iringan reyog klasik, menggunakan alat musik yang terbuat dari logam, berupa ‘bendhe alit‘ (kecil) dua buah dan ‘bendhe ageng‘ (besar) satu buah. ‘Kecer/kecrek‘ alat dari logam yang terbuat dari kuningan atau ‘swasa’ (logam campuran antara besi dan kuningan). Tentu ‘swasa‘ lebih nyaring suaranya dibanding besi. Alat terbuat dari kulit ialah ‘kendhang dhodhog‘. Agak berbeda dengan alat musik kendhang yang kita tahu sekarang. Pada ‘kendhang dhodok‘ satu sisinya tetap ditutup kulit sapi atau kambing, namun sisi lainnya terbuka. Seiring waktu, pada pertunjukan reyog klasik ini, sekarang sering dijumpai Reyog Dhodhog yang menggunakan ‘kendhang batang’ alat musik seni karawitan. Alat musik lainya adalah angklung berjumlah dua buah.
Pola iringan yang lahir bergantung dari adegan yang sedang dimainkan. Pola ‘tabuh kecer‘ seirama dengan tabuh ‘kendhang dhodhog’ jika terdengar berbunyi “njrang-njrang” atau “mbyeng-mbyeng“. Dari bunyi ini para ibu yang sedang memasak di dapur menjadi gelisah sebab anak dan cucu merengek ingin melihat reyog. Maka dulu, lahirlah guyonan “gembeng kaya reyog“.
Pertunjukan reyog klasik masih amat sakral di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Reyog klasik menjadi bagian penting dalam tradisi yang masih lestari di dusun dan desa-desa di sebagian besar wilayah Bumi Handayani. Contohnya tradisi tahunan yang hampir diselenggarakan di semua daerah Gunungkidul, yaitu tradisi ‘rasulan‘. Pagelaran reyog klasik dilaksanakan pagi hari setelah warga melaksanakan ‘kirim donga‘ (mengirim doa), yaitu mengeluarkan nasi sedekah dengan nampan yang diikrarkan oleh tetua adat. Hal ini berkaitan dengan adab turun temurun yang dipercaya, yakni sebelum digelar kesenian lain yang bersifat lebih baru/muda maka kesenian ‘sepuh‘ (tua) lebih dahulu harus ditampilkan.
Para penghajat upacara menyebut, ‘asep’ bisa disejajarkan dengan ‘ngalap berkah‘ kepada para sesepuh atau leluhur. Dalam kesenian reyog klasik juga mengandung makna nilai sejarah tutur yaitu tentang kesetiaan dan kepahlawanan para prajurit Kerajaan Majapahit.
Tokoh dan busana Reyog Dhodhog
Adegan pementasan Reyog Dhodhog dimulai menurut urutan-urutan tertentu. Beberapa nama bagian dalam kesenian reyog klasik diantaranya, bagian penari urutan terdepan adalah senapati berpedang diikuti senapati penunggang kuda kepang. ‘Panongsong’ yaitu pembawa payung kebesaran, bertugas memayungi sang senapati.
‘Dwajadara’ pembawa bendera atau ‘dwaja‘ sebagai ciri khas pasukan atau grup kesenian reyog klasik. Penggunaan ‘dwaja dwi warna’ atau bendera merah putih menambah kesakralan reyog klasik. ‘Penombak’ atau pembawa tombak adalah personil yang paling banyak, bisa berjumlah lima, delapan, atau sepuluh dalam satu baris. Tombak yang dibawa terbuat dari bambu dicat warna warni, ujung tombak ditambah hias daun kelapa muda atau disebut ‘janur‘.
Kostum dalam Reyog Dhodhog memiliki perbedaan di setiap wilayah atau grup kesenian. Baju takwa atau surjan adalah hal yang lumrah dikenakan para penari. Sedangkan penari reyog tanpa busana atau ‘ngliga’ biasanya untuk penari yang berperan sebagai ‘sang senapati‘.
Rangkaian pakaian reyog klasik yaitu mengenakan celana potongan ‘panji‘, ‘jarik‘, ‘stegen‘, kemudian menyematkan keris ‘branggah‘ di punggung, serta selempang atau selendang ‘sampur‘ berwarna kuning dengan ujung ‘cindhe‘. Hiasan warna warni yang melingkar di leher bernama ‘samir’.
Strata kepangkatan terlihat dalam perbedaan busana yang dikenakan. Aksen polos menandakan penari memainkan prajurit biasa atau ‘prajurit rucah‘. Para pemeran senapati tentu memakai identitas pakaian yang berbeda.
Senapati memakai pakaian beraksen ‘cinde’ dan ditambah dengan lebih banyak ‘plisir emas’. Hias leher para senapati tidak mengenakan ‘samir’ seperti pasukan biasa, namun mengenakan ‘ulur-ulur’ kalung bulan sabit, terbuat dari logam bersusun tiga buah. Hias kepala para senapati reyog klasik memakai ‘udheng gilig’, yaitu ‘udheng’ berbentuk bulat dan memutar diatas kepala berhias ‘plisir‘ emas dan bunga. ‘Udheng gilig’ dikenakan pada reyog klasik cenderung sama dengan yang digunakan Prajurit Nyutra kesatuan keprajuritan di Kraton Yogyakarta.
Entah sejak kapan dimulai, pemain Reyog Dhodhog menambahkan aksesoris berupa kacamata hitam. Pengaruh kemajuan zaman tentunya. Panggung pementasan yang terbuka dalam terik matahari dan debu, mungkin membuat para penari ini melindungi mata dengan kacamata hitam (belor). Aksesoris ini, tentu menambah wibawa dan kepercayaan diri mereka. Kostum meriah yang berbeda dari pakaian kesehariannya. Kostum pemain reyog klasik ini, sampai memunculkan guyonan “nggrembyong kaya arep reyokan“, saat melihat orang dengan pakaian yang berwarna-warni dengan segala aksesorisnya.
Pola dasar gerakan reyog klasik
Gerak tari kesenian reyog klasik memadukan gerak kaki dan gerak leher, serta gerakan alat yang dibawa masing-masing pemain. Satu kaki diangkat, tangan kiri ‘capeng’ sambil menyelipkan ‘sampur‘ tarinya. Kemudian leher bergerak kekiri dan kanan atau ‘pacak gulu’ menjadi ciri khas yang sangat sering muncul.
Pola lantai yang digunakan reyog klasik yakni para pemain membagi barisan menjadi dua baris, berjajar kebelakang. Satu demi satu jajar baris kemudian membentuk formasi gunung menggunakan tombak dan ‘dwaja‘, dengan senapati pedang berada di tengah baris. Baris ini bernama pola ‘arga pawaka’ yakni gunung berapi yang bersiap memuntahkan lahar peperangan. Melambangkan prajurit yang selalu siap dan sigap dalam kancah peperangan. Tetapi gunung api memiliki zat vulkanik yang berkhasiat menyuburkan tanah, sehingga zat vulkanik gunung api sangat menguntungkan petani.
Sebelum kesenian reyog klasik tampil, para pemain akan membentuk formasi ‘sembah’. Yaitu formasi duduk jongkok sambil menghaturkan salam kepada hadirin dan para pemangku hajat yang ‘menanggap’ reyogan.
Beles dan Penthul
Terlepas dari barisan para penari yang berbusana mewah lagi megah, ada dua orang berpostur tinggi kurus dan pendek gemuk, mereka memerankan tokoh Beles dan Penthul. Saya mengenal seorang seniman Reyog Dhodhog, yang bernama Mbah Rubingan yang sering memerankan tokoh Beles maupun Penthul. Beliau berasal dari Dusun Trimulyo I, Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Menurutnya, Beles dan Penthul adalah gambaran sosok yang disegani di kalangan masyarakat Jawa kuno yaitu ‘Sabda Palon dan Naya Genggong’.
“Sabda Palon Naya Genggong adalah dua tokoh abdi setia Panji Asmarabangun, tokoh yang teramat sering diceritakan dalam drama, ketoprak, sendratari, wayang beber, maupun kesenian rakyat lainnya. Dilihat dari pakaiannya, tokoh Beles dan Penthul sangat mudah dibedakan dari pemain reyog lain, karena mereka memakai pakaian berwarna identik hitam dan identik putih. Warna hitam dan putih bermakna dalam kegelapan pasti terdapat cahaya, sedangkan dalam cahaya yang terang pasti terdapat bayangan yang gelap“,
begitu tutur Mbah Rubingan beberapa waktu lalu
Mendengar cerita Mbah Rubingan, saya membayangkan tokoh Beles dan Penthul tentu memiliki usia yang jauh lebih tua dari Panji Asmarabangun. Maka dalam kesenian Reyog Dhodhog, tokoh Beles dan Penthul juga berperan sebagai ‘Panakawan‘ sebagaimana tokoh Semar dan anak-anaknya dalam pagelaran wayang kulit purwa. ‘Panakawan‘ memiliki dua makna, ‘pana‘ berarti paham, ‘kawan‘ berarti teman. Maka ‘panakawan‘ berarti teman yang mengerti. Mengerti segala seluk beluk kehidupan dan mengerti perasaan tokoh yang sedang dia ikuti perjalanannya.
“Beles Penthul, berperan sebagai penghibur dan juga sesepuh kesenian reyog klasik. Suatu babak adegan reyog klasik, Beles Penthul berperan sebagai ‘botoh’ yang bertugas memanasi suasana agar peperangan senapati tidak urung dilakukan. Jika jagoan Beles dan Penthul kalah perang maka ia akan berperan sebagai “juru suwuk” atau “juru sembuh”, yang meminta kepada Tuhan agar jagoan perangnya kembali pulih dan kembali dapat berperang,” lanjut Mbah Rubingan.
‘Pitik tulak” adalah sebuah kidhung yang kerap dilantunkan Beles dan Penthul jika jagoannya lemah layu dan kalah perang. Berikut syair kidung ‘Pitik Tulak’ yang dilantunkan,
“Pitik tulak pitik tukung
Tinulake si jabang bayi
Rajeg mendeg kremi mati
Bujang sawan teko wetan
Sinamberan gali putih”
Mbah Rubingan menuturkan ‘Kidung Pitik Tulak’ zaman dahulu kerap dinyanyikan ketika anak kecil rewel. Dalam konteks reyog klasik, kidung ini dinyanyikan karena tokoh Beles maupun Penthul menganggap para prajurit sebagai anaknya. Ketika berperan Beles atau Penthul, Mbah Rubingan kerap menyisipkan beberapa kidung kuna sebagai pengingat jalan kebenaran kepada generasi muda. Salah satunya adalah kidung pengingat dalam memilih pendamping hidup,
“Pitukone wanita jaman samana,
Dudu sigiting rupa,
Njaluke gajah tata jalma,
Jinogetan wanara seta,
Kayu klepu dewandaru,
Gedhang mas debog salaka,
Parine pari jatha,
Kang tinatap gamelane lokananta”
Berikut kidung pengingat tentang bahayanya minuman keras,
“Jaman kuna dawuhe para pujangga,
Pada wigatekna pituture kang sinabda,
Tetinggal kanggo anak putune,
Tekan jaman sakteruse,
Jaman kali ilang kedhunge,
Pasar ilang kumandhange,
Wanita ilang isine
Pria ilang wibawane
Merga ciu lan arak’e”
Tokoh panakawan Beles dan Penthul juga sering dimintai doa oleh para penonton reyog klasik. Permintaan doa biasanya dilakukan oleh para orang tua yang telah memiliki cucu. Dengan cara meraih selendang pakaian Beles dan Penthul saat mereka menari di tengah pagelaran reyog klasik, kemudian mengusapkan di kepala cucunya.
Reyog Dhodhog dipercaya sebagai seni reyog paling klasik di Gunungkidul. Dari beberapa referensi didapat keterangan bahwa seni reyog sering dianggap sebagai seni ‘pinggiran‘ atau ‘ndesa‘. Artinya, reyog adalah jenis seni tari yang tidak ditampilkan oleh kalangan bangsawan. Ada juga beberapa pendapat bahwa, pada masa dulu, ketika kerajaan-kerajaan di Jawa masih eksis, seni reyog digunakan untuk penyamaran para prajurit ‘telik sandi‘ (intelejen).
Terlepas semua pendapat itu, kehadiran seni reyog memang menjadi penghibur tersendiri bagi warga desa. Para pemainnya yang kebanyakan para petani, ketika pentas di gelar, mereka akan sejenak melupakan penat dan letih bekerja di ladang. Di tengah terik matahari, meski tanpa alas kaki, mereka dengan bersemangat menghayati peran menjadi prajurit yang ‘wira‘ dan gagah perkasa.