Pertanian(rebowagen.com)– Kegiatan yang sejatinya sangat sederhana, sebatas jagung muda yang dipetik lalu langsung dibakar di perapian. Namun, bagi generasi dibawah tahun 90-an ‘mbakar jagung‘ adalah kenangan indah tak terlupakan pada setiap keluarga petani di Gunungkidul. Jagung muda akan siap dibakar atau direbus saat musim penghujan mendekati puncaknya. Saat itu, hampir setiap rumah akan membuat ‘bedhian‘ (perapian) di kandang sapi untuk mengusir ‘jingklong‘ (nyamuk). Ketika musim jagung tiba, serangga penghisap darah ini memang banyak berkeliaran. Dulu, Bapak kemudian membuat perapian dengan mendongkel ‘tunggak‘ (pangkal/pokok) pohon yang keras, sehingga bara apinya akan awet menyala sepanjang malam jika dibakar. ‘Kukus‘ (asap) perapian ini yang kemudian mengusir nyamuk, dan ‘mbakar jagung‘ dilakukan sambil menunggui api agar tidak padam atau merembet ke tempat lain.
‘Mbakar jagung‘ juga asyik dilakukan sambil ‘gegeni‘ (menghangatkan badan), pada pagi, sore atau malam hari. Waktu itu, bagi anak kecil seperti saya, jagung bakar adalah makanan yang sangat enak dan tidak setiap waktu bisa didapat. Musim jagung menjadi suatu hal yang dinantikan, karena saya bisa menikmati jagung bakar sepuasnya. Maklum, dulu jajanan di warung memang masih sangat terbatas, dan itupun tidak mesti anak kecil diberi uang untuk jajan yang cukup. Sangat beda jauh dengan zaman sekarang, varian jajanan dari A sampai Z tersedia. Anak-anak juga sudah terbiasa dengan jatah uang jajan yang bisa dikatakan berlebih setiap harinya. Tentu, kegiatan ‘mbakar jagung’ bukan lagi suatu hal yang menarik untuk anak-anak zaman sekarang. Jagung bakar yang dulu bisa dibuat sendiri di perapian atau dapur, saat ini menjadi dagangan spesial (jagung manis) dan hanya dijual di tempat-tempat wisata dan pusat kuliner. Atau biasanya, ‘mbakar jagung‘ dibuat dalam acara khusus bakar-bakar bareng pada momen-momen tertentu (malam tahun baru misalnya).
Ya, namanya zaman telah berubah, anak-anak saya sendiri misalnya, mereka lebih memilih minta uang untuk membeli jagung bakar atau rebus, ketimbang membuat sendiri. Padahal di kebun saat ini tanaman jagung sedang enak-enaknya untuk dibakar. Keadaan memang berubah begitu cepat, banyak kebiasaan atau kegiatan yang dulu sangat mengasyikkan bagi anak-anak, di zaman sekarang bukan suatu hal yang menarik dan terbiasa dilakukan lagi.

Kembali ke tema ‘mbakar jagung‘, selain di ‘bedhian‘ kandang, ‘mbakar jagung‘ juga sering dilakukan di ‘pawon‘ (tungku/dapur) untuk memasak. Saat hujan mengguyur sepanjang hari, saya tidak bisa bermain diluar rumah, ‘mbakar jagung‘ menjadi kegiatan yang asyik untuk dilakukan. Sering dulu saya diomeli Simbok, karena api dari kayu bakar untuk memasak padam atau mengecil saat saya gunakan untuk ‘mbakar jagung‘ sampai empat tongkol sekaligus.
“Nek mbakar jagung ki kana lho neng bedhian, le olah-olah ra mateng-mateng iki, lha wong genine mati-mati wae, kakean kui jagunge (kalau bakar jagung sana lho di perapian, ini memasak tidak mateng-mateng, lha wong apinya mati terus, kebanyakan itu jagungnya),” saya tersenyum kangen Almarhum Simbok, ketika kenangan omelan-omelan itu tiba-tiba terlintas di benak.
Salah satu suasana ‘mbakar jagung‘ yang membekas dan sangat khas yang lain adalah iringan suara nyanyian kodok. Curah hujan memang sedang tinggi, air menggenang dimana-mana, sehingga keluarga kodok bergembira, bernyanyi di genangan-genangan air hujan. Mereka berkumpul di ‘blumbang‘ (kolam) atau ‘kalenan‘ (parit) di sekeliling rumah. Ritme nyanyian mereka sangat teratur dan dinamis, seakan ada dirigen khusus yang memberi aba-aba. Mungkin dulu Beethoven terinspirasi keluarga kodok bernyanyi ini sehingga tercipta karya masterpiece seri Simfoni 5,7,9,14 sampai Fur Elise (mungkin).
Dalam simfoni keluarga kodok, masing-masing mereka mengeluarkan suara yang berbeda, dan terangkai menjadi ritme nyanyian yang sangat teratur. Cerita Simbok, kalau ada salah satu kodok keliru mengeluarkan suara dalam nyanyian itu, maka oleh teman-temannya akan dibunuh dengan cara ditenggelamkan (sungguh kejam, hehe). Tapi, cerita Simbok sangat mungkin ada benarnya, kadang saat saya melihat di ‘blumbang‘, ada katak mati terapung dengan perut menggembung. “Wah ini pasti kodok yang salah nada,” begitu batin saya.
Sekarang saya baru tahu, bahwa kumpulan keluarga kodok yang bernyanyi ternyata mempunyai fungsi sebagai bio-indikator alami tentang kerusakan lingkungan.

Mengutip penuturan Mirza D Kusrini dari Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil (K3AR) Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), kodok bernafas tidak hanya dengan paru-paru tetapi juga dengan kulitnya, sehingga hewan ini sangat sensitif terhadap penggunaan pestisida. Keberadaannya yang terus menurun bisa digunakan sebagai indikator bahwa ada kemungkinan wilayah tersebut sudah penat dengan penggunaan pestisida. Kulit kodok ini seperti spons indikator lingkungan yang mampu dijadikan sebagai bio-indikator kerusakan lingkungan atau penggunaan pestisida,” (Septi Satriani, dalam artikel Tutur dan Tular Kampanye Lingkungan Lewat Kesenian Wayang, rebowagen.com 2021).
Sekarang, simfoni keluarga kodok sudah sangat jarang terdengar lagi. Sangat benar apa yang menjadi penelitian K3AR IPB diatas, kerusakan lingkungan pertanian akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia berlebihan memang sedang menjadi permasalahan utama pertanian saat ini. Lebih ironis lagi, petani sekarang sudah sangat tergantung dengan produk pabrik, mulai dari pupuk, pestisida hingga benih tanaman.
“Petani kita sekarang sudah banyak yang tak lagi berdaulat,”
– Aulia Puspanjali –
saya teringat kalimat tersebut, dari salah satu peserta kelas Sinau Tetanen dan relawan di Sekolah Pagesangan (SP). Sekolah alam dengan konsep pendidikan kontekstual ini diinisiasi oleh Diah Widuretno, berada di Padukuhan Wintaos, Kalurahan Girimulyo, Kapanewon Panggang, Gunungkidul. SP aktif dalam kampanye pertanian ramah lingkungan, isu tentang pangan dan kelestarian benih-benih lokal. Kedaulatan petani, menurut Aulia adalah soal kemampuan petani untuk memiliki, mencukupi dan menentukan sendiri varietas bibit dan pupuk sendiri atau bisa dikatakan sebagai kemandirian petani.
“Untuk ketersediaan bibit dan pupuk, saat ini petani sudah sangat tergantung dengan pabrik. Bibit jagung atau padi misalnya, kita sudah jarang memiliki benih lokal lagi. Yang ada ya bibit unggul, petani harus membeli produk pabrik. Celakanya, hasil panen bibit ini tidak bisa ditanam kembali, jadi setiap musim tanam, petani harus membeli lagi, akhirnya ini menjadi salah satu penyebab biaya produksi pertanian menjadi tinggi, selain tentunya pupuk kimia yang semakin mahal dan hama mutan pertanian akibat penggunaan pestisida yang sudah di ambang batas,” kata Aulia panjang lebar.

Apa yang disampaikan Aulia memang realitas dunia pertanian kita sekarang. Dulu, petani Gunungkidul menanam jagung dengan bibit varietas lokal. Saya masih sangat ingat, Bapak dan Simbok menanam jagung yang bijinya berwarna putih. Untuk nama jenis jagungnya saya lupa, hanya sering disebut ‘jagung putih‘. Hasil panen jagung kemudian ‘diklebeti‘ tongkolnya (dikupas kulitnya/klobot bagian luar, biji/tongkol jagung masih terlindungi kulit dalam). Setelah ‘diklebeti‘ kemudian diikat dalam ‘ombyokan-ombyokan‘ lalu diawetkan dengan cara ‘ditarang‘.
Cara pengawetan tradisional ini yakni disimpan di ‘tandon‘ (para-para) yang dibuat diatas tungku ‘pawon‘ (dapur). Teknik penyimpanan ini bertujuan untuk pengawetan jagung. Saat memasak, asap dari kayu bakar akan memenuhi ‘tandon‘, sehingga biji jagung awet tidak dimakan ‘bubuk‘ (serangga kecil pemakan biji-bijian). Hasil panen jagung tidak dijual, akan tetapi dikonsumsi dalam wujud nasi jagung (bledhak). Tongkol yang mempunyai biji-biji sempurna kemudian digunakan untuk benih dan ditanam pada musim hujan berikutnya.
Saat ini, bisa dikatakan hampir tidak ada petani Gunungkidul yang menanam jagung biji putih. Semuanya menanam varietas jagung unggulan berwarna kuning dengan membeli dari toko pertanian. Orientasi petani menanam jagung memang sudah beda, kalau dulu untuk dikonsumsi sendiri, tapi sekarang untuk dijual. Tongkol jagung bibit unggul memang lebih besar dan panjang, sehingga hasil panen bisa lebih banyak. Namun, agar bisa panen, petani harus memenuhi kebutuhan pupuk pabrik untuk jenis jagung ini dalam jumlah yang cukup, benihnya juga mahal dan hasil panennya tidak bisa dijadikan benih lagi.

Untuk soal bakar membakar jagung muda, kalau boleh memilih, jagung putih meski tongkolnya lebih kecil, namun rasanya lebih manis dan enak. Jagung biji kuning rasanya tentu kalah, apalagi jika saat dipetik tongkol jagung tidak langsung dibakar, saat dimakan akan terasa ‘sepah‘ (hambar)
Tutorial Cara ‘Mbakar Jagung‘ Agar Hasilnya Enak dan ‘Mringin‘
Beberapa waktu lalu, saya diajak ‘mbakar jagung‘ oleh seorang teman, sebut saja namanya Cholis. Ia sibuk menyiapkan arang, beberapa tongkol jagung biji kuning dan sebungkus margarin. Si Cholis ini memang anak muda zaman sekarang, saat arang apinya menyala-nyala, ia dengan semangat langsung membakar jagung yang penuh lumuran margarin, dan hasilnya biji jagung tampak hitam karena gosong.

“Kok ireng ya, ra enak, rasane gur asin ro pait (kok hitam ya, tidak enak, rasanya cuma asin dan pahit),” kata Cholis sambil ‘gebres-gebres‘.
Saat itu, saya langsung teringat masa-masa ‘mbakar jagung‘ penuh kenangan dulu. Dengan berbekal pengalaman masa kecil, saya kemudian sok menjadi tutor tentang seluk beluk ‘mbakar jagung‘. Cholis tampak manggut-manggut, entah karena memang paham, atau hanya sekedar membuat saya senang, karena saya lebih tua (hehe). Berikut beberapa tips agar hasil bakaran jagung bisa matang sempurna, rasanya enak dan bahasa orang dulu lebih ‘mringin‘ (berwarna menarik)
- Pertama adalah pemilihan jagung muda. Ini rahasia memilih tongkol jagung yang pas untuk dibakar. Jangan sampai tongkol yang kita pilih, bijinya masih terlalu muda, belum berisi penuh (isih gemarit), atau justru malah terlalu tua dan keras. Beberapa tanda yang bisa kita perhatikan adalah ‘jambul‘ (bulu jagung bagian atas) sudah kering dan mulai rontok. Jika ‘jambul‘ jagung belum kering, maka itu tandanya jagung masih ‘gemarit‘. Tanda kedua, tentu saja kulit tongkol (klobot) masih berwarna hijau cerah (jangan yang sudah semburat coklat, karena biji jagung sudah tua dan keras).
- Kedua, setelah jagung dipetik dari batang, harus segera dibakar, jangan sampai menunggu satu atau dua hari, karena jagung biji kuning akan cepat sekali ‘kisut‘ (kempes) dan rasanya ‘sepah‘ (hambar), “Tak ada manis-manisnya‘ (mirip iklan, hehe).
- Ketiga adalah tekhnik membakar. ‘Mbakar jagung‘ kelihatannya mudah, namun jika tidak pengalaman maka hasilnya akan menipu (kelihatan mateng luarnya, tapi dalamnya masih mentah), atau yang lebih parah ya gosong, seperti hasil bakaran si Cholis. Yang paling penting diperhatikan adalah, jangan membakar jagung diatas api yang sedang menyala-nyala. ‘Mbakar jagung‘ terbaik adalah dengan ‘mawa‘ atau arang membara yang berwarna merah tapi tidak menimbulkan api. Jarak jagung dengan ‘mawa‘ harus pas, jangan terlalu dekat, dan jangan terlalu jauh. Ini sangat menentukan hasil kematangan yang sempurna.
- Keempat adalah bahan lain yang disertakan. Kalau dulu, saya kadangkala mengoleskan sedikit ‘jlantah‘ (minyak goreng bekas) pada tongkol jagung sebelum dibakar. Untuk selera sekarang, ‘jlantah‘ diganti margarin dengan beberapa pilihan rasa dan aroma. Harus diingat, penambahan margarin ini jangan terlalu banyak, karena rasa jagung akan berubah, disamping kadang jagung tidak matang sempurna. Kalau saya pribadi lebih suka rasa original jagung bakar, rasa dan aromanya lebih khas (kalau soal tambahan margarin ini terserah selera lidah masing-masing).

Dengan bahasa lebih keren dan kekinian, sebetulnya ‘mbakar jagung‘ adalah salah satu praktek ‘Farm to table‘ masyarakat petani yang sangat faktual. Apa yang ditanam dan dimiliki petani disekitarnya itulah yang dimakan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Namun, sekali lagi, zaman memang terus berubah, praktek-praktek ketahanan bahkan kedaulatan pangan yang telah terbukti ampuh ini sekarang telah berganti.
Petani lebih memilih menjual hasil panennya dengan harga selalu kalah, karena urusan dengan rantai tengkulak yang berlapis-lapis. Skema pasar kita saat ini memang menjauhkan petani dengan pabrik pengolahan hasil pertanian, akibatnya petani sebagi produsen sangat sulit menjual hasil panennya dengan harga lebih pantas. Ironisnya lagi, petani kemudian harus menjadi masyarakat komsumtif dengan membeli produk makanan hasil olahan pabrik yang sebetulnya berbahan baku dari hasil panen mereka sendiri. Ironi setali tiga uang dengan perumpamaan tentang sebuah negara yang bertanah subur, air berlimpah, mayoritas rakyatnya petani hingga berpredikat sebagai negara agraris, tapi kebijakan pemerintahnya malah mengimpor bahan pangan.