Upacara adat(rebowagen.com)– Rasul atau Rasulan adalah sebuah tradisi adat yang hanya ada di Kabupaten Gunungkidul. Di daerah lain, upacara ini sering disebut sebagai adat Bersih Desa atau Merti Desa yang hakekatnya hampir sama. Upacara dilaksanakan setahun sekali oleh para petani, sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Juga bertujuan untuk ‘reresik’ atau ‘merti’ diri dan wilayah atau ruang hidup sehingga selalu diberi keselamatan dan dijauhkan dari segala mara-bahaya.
Sampai sekarang upacara Rasulan masih terus dilestarikan. Walau memang dengan perkembangan jaman sudah mulai ada beberapa kepala keluarga, dusun atau desa yang mulai tidak melaksanakannya lagi.
Bagi masyarakat Gunungkidul, upacara adat Rasulan merupakan sebuah tradisi pokok yang dilaksanakan dengan sangat meriah. Bagi banyak desa, Rasul merupakan puncak dari berbagai ritual yang menyertainya, sepeti Nyadran, Besik telaga atau sumber air atau Besik petilasan yang ada di setiap desa masing- masing.
Rasul adalah sebuah pesta rakyat. Mereka memasak makanan yang beraneka warna, mementaskan berbagai hiburan yang meriah dan dengan senang hati memberikan makanan yang mereka punya bagi setiap orang yang datang ke rumahnya. Beberapa warga bahkan ada yang khusus mengantar makanan yang disebut ‘weweh’ untuk para saudara, kerabat, teman dan para tokoh masyarakat atau perangkat desa.
Hari yang dipilih untuk melaksanakan Rasul sudah ditentukan secara turun temurun. Penentuan hari H ini, erat kaitannya dengan cerita sejarah atau asal-muasal setiap tempat/desa. Masing-masing mempunyai hari sendiri, misal Senin Pahing, Rabu Legi, Selasa Pon, Sabtu Wage dan lain-lain.
Terkait asal-usul, atau cikal-bakal wilayah ada banyak cerita unik, dimana kejadian desa tertentu belum berani melaksanakan Rasulan sebelum desa tetangganya melaksanakan. Hal ini terkait kepercayaan bahwa leluhur mereka kalah ‘awu’ atau kalah tua. Misal Kalurahan Playen, Ngunut, Plembutan, dan Padukuhan Nagasari Kalurahan Bandung. Mereka akan melaksanakan Rasulan setelah Kalurahan Ngawu melaksanakannya. Ini terkait kepercayaan bahwa leluhur atau cikal bakal mereka bersaudara. Dimana Wangsa Derma atau Ki Pertinggi yang dipercaya sebagai cikal bakal Kalurahan Ngawu adalah yang tertua diantara yang lain.
Posesi puncak acara Rasulan dilaksanakan dengan kenduri bersama di balai padukuhan atau kalurahan. Warga berduyun-duyun datang sambil membawa berbagai ‘ubarampe’ berupa makanan. Semuanya dikumpulkan menjadi satu untuk didoakan dan dibagi kepada semua tamu yang datang.
Semiotika
Sebagai salah satu warga Padukuhan Glidag, Kalurahan Logandeng, Kapanewon Playen, saya berkesempatan untuk mengikuti upacara Rasulan di balai padukuhan. Melihat ‘ubarampe’ yang begitu beragam, sebagai orang muda saya merasa sangat penasaran. Setelah kenduri saya kemudian menyempatkan diri untuk ‘sowan’ ke rumah Mbah Mardi. Sesepuh yang tadi begitu fasih ‘membaca’ satu persatu ‘ubarampe’ beserta artinya.
Sebagai ‘mantan’ mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) jurusan Sastra Nusantara saya kemudian tergelitik untuk menulis arti dan makna ‘ubarampe’ Rasulan dari sudut pandang ilmu Semiotika.
Semiotika adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tanda. Dengan metode analisis yang dapat mengkaji tanda-tanda suatu obyek, untuk mengetahui makna dari obyek tersebut. Teori Semiotik ini dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure.
Secara umum ‘ubarampe’ sesaji mengandung doa permohonan keselamatan dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Juga mengandung arti penghormatan kepada para leluhur dan ‘cikal bakal’ yang telah berjuang untuk ‘babad alas’. Dalam tulisan ini saya berusaha semampunya untuk mengungkapkan makna yang terkandung dibalik unsur sesaji. Mencoba mengotak-atik obrolan dengan Mbah Mardi dengan beberapa referensi Semiotika.
Meski banyak kekurangan dan kurang detail dalam analisa, namun harapannya bisa sedikit memberi referensi masyarakat untuk berusaha memahami secara utuh dan obyektif tentang upacara adat Rasulan.
Adapun unsur-unsur data yang dianalisis secara Semiotik dengan adanya tanda, petanda, dan penanda. Ketiga hal itu, akan dijadikan acuan sebagai dasar untuk menganalisis semua data. Misalnya ‘měnyan’ sejenis getah yang dipakai sebagai dupa, baunya harum dan wangi. Tanda dari ‘měnyan’ mengacu pada ‘měnyan’ itu sendiri, adapun penandanya ialah gambar ‘měnyan’ dan tulisan ‘měnyan’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis. Sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘měnyan’ itu sendiri. Dari analisis dapat diketahui bahwa makna měnyan itu adalah agar doa yang diucapkan oleh kaum beriringan dengan keluarnya asap měnyan sehingga doa diharapkan terkabul.
Analisis Semiotis nama-nama unsur Sesaji dalam Upacara Rasulan
Sekali lagi, analisis yang saya sampaikan ini hasil obrolan saya dengan Mbah Mardi dan coba saya gabungkan dengan ilmu Semiotika yang saya dapat di meja kampus.
a. Apěm
Apěm terbuat dari tepung beras, tapai (sejenis ragi), gula merah, air, santan, minyak goreng, dan garam. Cara membuat apěm yaitu semua bahan dicampur menjadi adonan, didiamkan semalam, kemudian digoreng dengan sedikit minyak. Apem berbentuk bulatan-bulatan pipih. Apěm mempunyai rasa manis, berwarna coklat keputihan.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa apěm yakni, tanda dari apěm terdiri atas penanda tulisan apěm yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /a-p-ǝ-m/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam apěm itu sendiri. Atas konsep gambar apěm dapat diketahui bahwa makna apěm itu adalah agar permohonan yang dilakukan oleh orang yang masih hidup untuk memohonkan ampun arwah leluhur yang sudah meninggal supaya arwahnya diterima di sisi Tuhan. Hal ini berkaitan dengan kata apӗm yang berasal dari bahasa Arab anfun berarti ‘ampunan’ (Jandra dkk, 1991:147).
b. Kětan
‘Kětan’ merupakan jenis beras atau kudapan yang terbuat dari beras kětan. terbuat dari beras kětan, air, garam dan santan. Cara membuatnya beras ‘kětan’ dimasak setengah matang, diberi bumbu-bumbu seperti salam, garam kemudian diarun ‘karu’ dengan santan, lalu dikukus sampai matang. Kětan berwarna putih. ‘Kětan’ disajikan sebagai sesaji dan diletakkan dalam ‘sudhi’.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘kětan’. Tanda dari kětan terdiri atas penanda tulisan kětan yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis / k-ǝ-t-a-n /, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘kětan’ itu sendiri. Atas konsep gambar ‘kětan’ dapat diketahui bahwa makna ‘kětan’ itu adalah pengiriman doa kepada arwah leluhurnya agar selalu dekat dengan Tuhan dan diampuni segala dosa dan kesalahannya. Kata ketan berasal dari bahasa Arab ‘khatha-an’ yang berarti ‘kesalahan’.
c. Kolak
‘Kolak’ terbuat dari ketela rambat, pisang, santan kental, dan air. Bumbunya berupa garam, gula merah, pandan wangi. Cara membuat yaitu semua bahan kecuali santan dicampur bumbu, dimasak sampai mendidih, ditambah santan, kemudian dimasak sampai kering. Kolak mempunyai rasa manis, berwarna coklat kehitaman, dan disajikan dalam ‘sudhi’ kemudian diletakkan diatas daun pisang.
Analisis Semiotis unsur sesaji berupa kolak. Tanda dari kolak terdiri atas penanda tulisan kolak yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /k-o-l-a-k/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam kolak itu sendiri. Atas konsep gambar kolak dapat diketahui bahwa makna kolak itu adalah yakin dan percaya akan kebesaran Tuhan. Kolak berasal dari bahasa Arab ‘Kulhuwallah’ yang berarti katakanlah ‘Dialah Allah’.
d. Gědhang raja
‘Gědhang raja’ terbentuk dari kata ‘gedhang’ yang berarti pisang, dan kata raja yang berarti raja. ‘Gědhang’ raja dapat diartikan pisang raja. Gědhang raja sering juga disebut dengan pisang ayu. Gědhang raja berwarna kuning cerah, berbentuk segitiga panjang, mempuyai rasa manis, dan berbau harum.
Analisis Semiotis unsur sesaji berupa ‘gědhang raja’. Tanda dari gědhang raja terdiri atas penanda tulisan yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /g-ǝ-d-a-ŋ-r-a-j-a/. Sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam gědhang raja itu sendiri. Atas konsep gambar gědhang raja dapat diketahui bahwa makna ‘gědhang raja’ adalah suatu kekuasaan yang tinggi, kewibawaan, keluhuran, dan kemuliaan. Analogi raja dengan pisang raja karena sifat yang dimilikinya, seperti rasanya enak dan warnanya indah. Warna pisang raja yang kuning cerah menggambarkan kemuliaan dan keceriaan.
e. Sěkul suci/ Sӗga wuduk
‘Sěkul’ berarti ‘nasi’, suci berarti ‘bersih’. Sěkul suci dapat diartikan ‘nasi yang bersih/suci’. Sěkul suci sering disebut :sěkul gurih/sěga gurih’. Sěkul suci berupa nasi yang terbuat dari beras, air, santan, daun salam, dan garam. Cara membuatnya beras ditanak setengah matang, kemudian diarun (dikaru) dengan santan, daun salam, dan garam. Setelah dikaru kemudian dikukus hingga matang. ‘Sěkul suci’ berwarna putih, mempunyai rasa gurih dan tidak lengket.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘sěkul suci’. Tanda dari ‘sěkul suci’ terdiri atas penanda tulisan ‘sěkul suci’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /s-ǝ-k-u-l-s-u-c-i. Sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘sěkul suci’ itu sendiri. Atas konsep gambar ‘sěkul suci’ dapat diketahui bahwa makna ‘sěkul suci’ adalah manusia ingin membersihkan diri lahir dan batin. Sekul suci sering juga disebut ‘sega wuduk’. Wuduk berasal dari kata wudlu yang berarti ‘bersuci’.
f. Jӗnang putih
‘Jěnang’ berarti ‘bubur’, sedangkan putih berarti ‘putih’. Jěnang putih dapat diartikan bubur yang berwarna putih. ‘Jěnang putih’ merupakan bubur yang berbentuk kental, berwarna putih, dan mempunyai rasa gurih. ‘Jěnang putih’ terbuat dari beras, dan garam.
Analisis Semiotis unsur sesaji berupa ‘jěnang putih’. Tanda dari jěnang putih terdiri atas penanda tulisan ‘Jěnang putih’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /j-ǝ-n-a-ŋ-p-u-t-i-h/.
Sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘jěnang putih’ itu sendiri. Atas konsep gambar ‘jěnang putih’ dapat diketahui bahwa makna ‘jěnang putih’ adalah lambang bibit ayah dan lambang dari suatu permohonan kepada ayahnya agar direstui dalam melakukan suatu pekerjaan sehingga menjadi lancar. Hal ini berkaitan dengan bibit ayah (sperma) yang berwarna putih.
g. Jӗnang abang
‘Jěnang’ berarti bubur, sedangkan ‘abang’ berarti merah. ‘Jěnang abang’ dapat diartikan bubur yang berwarna merah. ‘Jěnang abang’ merupakan bubur yang berbentuk kental, berwarna merah, dan mempunyai rasa manis. ‘Jěnang abang’ terbuat dari beras, santan, dan gula merah.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘jěnang abang’. Tanda dari ‘jěnang abang’ terdiri atas penanda tulisan ‘jěnang abang’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /j-ǝ-n-a-ŋ-a-b-a-ŋ/.
Sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘jěnang abang’ itu sendiri. Atas konsep gambar jěnang abang dapat diketahui bahwa makna jěnang abang adalah lambang bibit ibu dan lambang dari suatu permohonan kepada ibunya agar direstui dalam melakukan suatu pekerjaan sehingga menjadi lancar.
h. Ambӗng sӗga golong
‘Sěga’ berarti nasi, ‘golong’ berarti sudah menjadi satu, bulat. ‘Sěga golong’ dapat diartikan nasi yang sudah menjadi satu atau nasi bulat. ‘Sěga golong’ berupa nasi yang dibentuk, berwarna putih, mempunyai rasa tawar, empuk, dan lengket. ‘Sěga golong’ terbuat dari beras dan air yang ditanak hingga matang kemudian dibentuk bulat.
Analisis Semiotis unsur sesaji berupa ‘ambӗng sӗga golong’. Tanda dari ‘ambӗng sӗga golong’ terdiri atas penanda tulisan yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis, /a-m-b-ǝ-ŋ-s-ǝ-g-a-g-o-l-o-ŋ/. Sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘ambӗng sӗga golong’ itu sendiri.
Atas konsep gambar ‘ambӗng sӗga golong’ dapat diketahui makna ‘ambӗng sӗga golong’ adalah melambangkan tekad yang bulat, tekad tersebut harus dimiliki semua pelaksana upacara sehingga yang dicita-citakan akan berhasil. Hal ini berkaitan dengan bentuk ‘ambӗng sӗga golong’ yang bulat.
i. Sanggan Jajan pasar
‘Sanggan’ jajan pasar dapat diartikan ‘sesuatu yang disangga yang berupa jajan pasar’. Sanggan jajan pasar berupa pisang raja sesisir, kembang among, sawo, jambu, salak, mentimun, jadah, wajik, wajib ‘uang tindih’, kinang, menyan, dan boreh.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa sanggan jajan pasar. Tanda dari sanggan jajan pasar terdiri atas penanda tulisan Sanggan jajan pasar yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis, /s-a-ŋ-g-a-n-j-a-j-a-n-p-a-s-a-r/ sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam Sanggan jajan pasar itu sendiri.
Atas konsep gambar sanggan jajan pasar dapat diketahui bahwa makna sanggan jajan pasar adalah melambangkan kedinamisan di dunia, seperti yang tergambar di dalam pasar yang penuh dengan aktivitas (Haryono, 2000:44-45).
j. Kěmbang sětaman
‘Kӗmbang sӗtaman’ terdiri dari kembang mawar, kembang mlati, kembang kanthil. Kembang mawar berbentuk bulat besar, daun berbentuk oval, warna bunga merah, merah muda, putih, dan kuning, serta berbau harum. Kembang mlati berbentuk bulat kecil, warna bunga putih, dan bunga berbau harum. Kembang kanthil berbentuk oval, panjang, dan lancip. Warna bunga putih/merah muda.
Bunga kanthil berbau harum.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘kӗmbang sӗtaman’. Tanda dari ‘kӗmbang sӗtaman’ terdiri atas penanda tulisan ‘kӗmbang sӗtaman’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /k-ǝ-m-b-a-ŋ-s-ǝ-t-a-m-a-n/.
Sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘kӗmbang sӗtaman’ itu sendiri. Atas konsep gambar ‘kӗmbang sӗtaman’ dapat diketahui maknanya adalah melambangkan manusia harus dapat menjaga nama baik dan mengharumkan nama kedua orang tua. Hal ini berkaitan dengan bau kembang mawar, kembang mlati, kembang kanthil yang harum.
k. Kacang lanjaran
‘Kacang lanjaran’ berupa sayuran dari rumput menjalar yang mempunyai daun membentuk bulat tidak rata dan besar, yang diambil adalah buahnya yang berwarna buah muda berbentuk bulat kecil, panjang lancip, disajikan dalam sesaji mentah atau direbus.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘kacang lanjaran’. Tanda dari ‘kacang lanjaran’ terdiri atas penanda tulisan kacang lanjaran yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /k-a-c-a-ŋ-l-a-n-j-a-r-a-n/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam Kacang lanjaran itu sendiri. Atas konsep gambar kacang lanjaran dapat diketahui makna ‘kacang lanjaran’ adalah melambangkan dalam kehidupan semestinya manusia berfikiran panjang (nalar kang mulur) dan jangan memiliki pemikiran yang picik (mulur mungkrete nalar pating saluwir), sehingga dapat menanggapi segala hal dengan kesadaran (Endraswara, 2006:254). Hal ini berkaitan dengan bentuk kacang lanjaran yang panjang.
l. Jěnang baro-baro
‘Jěnang baro-baro’ berupa bubur kental, berwarna merah atau coklat, mempunyai rasa manis terbuat dari beras, santan garam, gula merah, bekatul. Cara menyajikan yaitu tengah bubur putih diberi bubur merah kemudian dicampuri bekatul yang sudah dimasak atau dicampuri irisan gula merah dan kelapa parut. ‘Jěnang baro-baro’ diletakkan dalam ‘takir’.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa &jěnang baro-baro’. Tanda dari ‘jěnang baro-baro’ terdiri atas penanda tulisan ‘jěnang baro-baro’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /j-ǝ-n-a-ŋ-b-a-r-o-b-a-r-o/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘jěnang baro-baro’ itu sendiri.
Atas dapat diketahui makna ‘jěnang baro-baro’ adalah melambangkan asal-usul manusia yaitu berasal dari percampuran warna merah dan putih. Hal ini berkaitan dengan warna merah yang melambangkan bibit ibu dan warna putih melambangkan bibit ayah.
m. Jangan kluwih
‘Jangan kluwih’ terbuat dari kluwih yang dicampur dengan santan, tempe, dibumbui cabai, bawang merah, bawang putih, kencur, gula merah, garam, mempunyai rasa pedas, dan gurih. Cara membuat yaitu bumbu ditumbuk halus dan dicampur dengan santan, bumbu dan santan yang telah dicampur dimasak, kemudian ditambah tempe yang diiris, dimasak kembali sampai mendidih.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘jangan kluwih’. Tanda dari ‘jangan kluwih’ terdiri atas penanda tulisan ‘jangan kluwih’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /j-a-ŋ-a-n-k-l-u-w-i-h/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam jangan kluwih itu sendiri.
Atas dasar konsep gambar ‘jangan kluwih’ dapat diketahui makna ‘jangan kluwih’ adalah harapan agar manusia menjadi orang yang lebih agamanya, lebih iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Esa dan lebih dalam ekonominya. Hal ini berkaitan dengan kata kluwih dianalogikan ‘linuwih’ artinya lebih.
n. Gudhangan
‘Gudhangan’ berupa sayur yang tidak berkuah, terbuat dari bayam, kacang panjang, taoge yang direbus serta dicampur dengan bumbu. Bumbu yaitu kelapa muda yang diparut dibumbui garam, gula merah, dan daun salam, dan sedikit air kemudian dimasak sampai airnya kering. ‘Gudhangan’ mempunyai rasa manis dan segar.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘gudhangan’. Tanda dari ‘gudhangan’ terdiri atas penanda tulisan gudhangan yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /g-u-ḍ-a-ŋ-a-n/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘gudhangan’ itu sendiri.
Atas konsep gambar ‘gudhangan’ dapat diketahui bahwa makna ‘gudhangan’ adalah melambangkan masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, ekonomi, dan sosial berkumpul membaur menjadi satu mengikuti upacara Rasulan. Hal ini berkaitan dengan ‘gudhangan’ yang terbuat dari percampuran berbagai sayuran.
o. Mӗnyan
‘Mӗnyan’ berarti sejenis getah yang dipakai sebagai dupa. ‘Mӗnyan’ terbuat dari getah pohon kemenyan yang dipadatkan. Cara penyajian ‘menyan’ ditaruh di cawan kemudian ‘měnyan’ dibakar.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘měnyan’. Tanda dari ‘měnyan’ terdiri atas penanda tulisan ‘měnyan’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /m-ǝ-ñ-a-n/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘měnyan’ itu sendiri. Atas konsep gambar ‘měnyan’ dapat diketahui bahwa makna ‘měnyan’ adalah sebagai sarana pengharum pada waktu upacara berlangsung dan sebagai sarana permohonan pada waktu orang mengucapkan permintaan berupa doa atau mantra diharapkan terkabul.
p. Ingkung
‘Ingkung’ berarti ayam yang dimasak utuh dengan leher dan kakinya diikat dengan tali. ‘Ingkung’ berupa ayam jantan utuh yang direbus dengan air ditambah dengan bumbu bawang merah, bawang putih, garam, daun salam, ketumbar, dan gula. Lauk ini sebagai pelengkap ‘ambeng sekul suci’. Lauk ini disajikan utuh.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘ingkung’. Tanda dari ‘ingkung’ terdiri atas penanda tulisan ‘ingkung’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /i-ŋ-k-u-ŋ/.
Sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘ingkung’ itu sendiri. Atas konsep gambar ‘ingkung’ dapat diketahui bahwa makna ‘ingkung’ adalah melambangkan cita-cita manusia untuk manunggal dengan Tuhan itu dilakukan melalui ‘manekung’. Hal ini berkaitan dengan kata manekung yang artinya keinginan yang sangat kuat untuk manunggal dilakukan dengan cara sujud dan beribadah pada Tuhan.
q. Bayӗm
‘Bayӗm’ berupa sayuran dan tumbuhan perdu yang mempunyai daun berbentuk bulat tidak rata dan besar, berwarna hijau cerah, disajikan dalam sesaji dengan direbus.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘bayӗm’. Tanda dari ‘bayӗm’ terdiri atas penanda ‘bayӗm’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /b-a-y-ǝ-m/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘bayӗm’ itu sendiri.
Atas konsep gambar ‘bayӗm: dapat disimpulkan bahwa makna ‘bayӗm’ adalah simbol dari doa agar menjadi manusia yang hidupnya tentram. Hal ini berkaitan dengan kata bayӗm dianalogikan ayӗm tӗntrӗm yang artinya ketentraman.
r. Takir
‘Takir’ berarti tempat makanan dan sebagainya yang dibuat dari daun pisang yang dibuat cekung dan disemat dengan lidi pada kedua ujungnya. ‘Takir’ berbentuk oval pada bagian atas, bagian bawah berbentuk persegi panjang. Pada kanan kiri ‘takir’ disemat dengan lidi. Pada mulanya, ‘takir’ dibuat dari daun pisang, pada perkembangannya ‘takir’ dibuat dari kertas dan dilapisi dengan plastik.
Analisis semiotis unsur sesaji berupa ‘takir’. Tanda dari ‘takir’ terdiri atas penanda ‘takir’ yang diwujudkan sebagai tulisan fonemis /t-a-k-i-r/, sedangkan petandanya ialah makna yang terkandung di dalam ‘takir’ itu sendiri.
Atas konsep gambar ‘takir’ dapat diketahui bahwa makna ‘takir’ adalah melambangkan adanya pikiran yang suci dan bersih untuk memohon pada Tuhan agar upacara Rasulan dapat berjalan dengan lancar.