Catatan perjalanan (rebowagen.com)– Mataku terbelalak melihat keindahan sebuah sungai yang diapit dua tebing tinggi di kanan-kirinya. Lelah seakan hilang setelah berjalan menuruni ratusan anak tangga selebar jalan setapak. Arus air terlihat tenang, menandakan sungai itu cukup dalam. Tak jauh dari tempat itu, terlihat permukaan sungai yang penuh dengan batu kali sehingga terdengar gemericik air, suaranya sungguh sangat menenangkan.
Air terlihat bening berwarna hijau. Mungkin karena biasan cahaya dari vegetasi baik di dalam air maupun di sekitar sungai. Terik matahari membuat pemandangan terlihat lebih indah, rimbunnya pepohonan memancarkan pesonanya, tebing-tebing karst yang berkilau, serta semilirnya angin melengkapi momen kala itu.
Saat sampai anak tangga terakhir, kulihat dua bapak-bapak sedang menunggui satu perahu boat dan satu rakit yang biasa disebut ‘gethek‘. Siang menjelang sore itu, aku dan temanku mengunjungi wisata alam air terjun Sri Gethuk, yang terletak di Padukuhan Menggoran, Kalurahan Bleberan, Kapanewon Playen, Gunungkidul.
Sri Gethuk Waterfall, salah satu wisata alam di Gunungkidul yang memiliki keindahan seperti sungai Verdon Gorge di Perancis. Aku memang belum pernah ke Prancis, tapi melihat foto-foto di internet, aku kok jadi ingin menyamakan air terjun Sri Gethuk dengan salah satu destinasi wisata alam di Eropa itu.
Melansir dari en.birmiss.com, Verdon Gorge merupakan tempat harmonis yang memadukan pemandangan indah. Mata wisatawan dimanjakan dengan tanaman hijau nan cerah dan segar, serta air jernih dengan tebing curam. Ngarai ini membentang sepanjang 19 km, kedalamannya 701 m, lebarnya bervariasi antara 200-1500 m. Lereng-lereng terlihat lebih indah dengan hiasan rerumputan segar dan lebat. Sungai dengan pancaran warna biru zamrud menakjubkan. Pemandangan menyenangkan, dan hampir didominasi oleh tebing kapur curam.
Air terjun Sri Gethuk mungkin memang tak seluas Verdon Gorge, air terjun ini terletak di tepi Sungai Oya. Meskipun tidak sedalam Verdon Gorge, pemandangan sepanjang Sungai Oya sungguh mengagumkan. Aliran sungai jernih kehijauan, tebing-tebing di sisinya, serta rimbunnya pohon menjadikan tempat ini menjadi sebuah lukisan alam yang sungguh indah.
Air terjun Sri Gethuk menjadi salah satu rekomendasi destinasi wisata keluarga di Gunungkidul. Jarak dari Kota Yogyakarta ke tempat ini sekitar 45 km dan memerlukan waktu kurang lebih 1 jam 30 menit. Akses menuju lokasi cukup mudah karena jalanan sudah beraspal. Alangkah baiknya jika berkunjung ke tempat ini saat cuaca cerah agar bisa menikmati keindahan alam yang natural dan memanjakan mata. Aliran air akan terlihat jernih berwarna kehijauan. Dalam jernihnya air, beberapa ikan berlalu-lalang berenang di dalam sungai sehingga suasana semakin tenang. Lain halnya jika berkunjung ketika cuaca tidak mendukung, misalnya saat musim hujan dan Sungai Oya banjir. Air akan terlihat keruh dan arusnya bertambah, sehingga saat momen menyusuri sungai, wisatawan kurang menikmati keindahan alam Sri Gethuk Waterfall.
Untuk sampai ke lokasi air terjun Sri Gethuk, kami memang harus menaiki rakit atau ‘gethek‘ bermesin menyusuri Sungai Oya. Jika boleh jujur, ini pertama kalinya aku naik rakit menyusuri sungai. Imajinasiku seperti Farrel dan Luna di My Heart series yang naik kapal di sebuah danau, sungguh romantis. Tetapi, rakit di sungai ini berbeda dengan rakit di series itu. Meskipun demikian, kesannya juga tak kalah, karena Sungai Oya menyimpan keindahan tersendiri.
“Luar biasa..!!!”, ujarku kepada temanku ketika dalam perjalanan disambut indahnya tebing-tebing karst dan rimbunnya vegetasi yang menghiasi di kanan kiri sungai. Semilir angin menyejukkan, kurentangkan kedua tangan, sesekali berusaha menyentuh air, melihat sisi kanan kiri, semuanya indah. Ditambah feel birunya langit yang megah, semakin syahdu alam ini. Tidak menyesal aku jauh-jauh datang dari Temanggung sampai ke tempat ini.
Sesampainya di lokasi air terjun Sri Gethuk, tersaji pemandangan yang tak kalah memukau. Aku menganga melihat tiga aliran air terjun yang megah. Ketinggiannya sekitar 25 meter dan alirannya deras namun jernih. Di bawah aliran air terjun itu terdapat sebuah kolam yang terbentuk secara alami. Di tepian kolam terdapat bebatuan kapur tersusun rapi.
Keindahan alam ini membuat siapapun tidak tahan untuk segera ‘nyemplung‘ dan bermain air sepuasnya. Dan benar saja, selain pemandangan indah itu, aku melihat beberapa orang bermain di bawah air terjun, sekitar kolam alami, dan berenang di aliran Sungai Oya. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan, batinku mengingat ayat dari Surah Ar-Rahman ketika melihat karya Tuhan yang megah ini.
Budaya masyarakat
Keindahan alam air terjun Sri Gethuk membuatku berpikir, apakah di balik semua ini juga tersimpan cerita yang indah? Rasa keingintahuanku bergejolak tentang beberapa hal seperti kondisi sebelum dan sesudah tempat ini dijadikan obyek wisata. Perjalananku kali ini akan merangkum jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu melalui beberapa segi seperti budaya, kondisi alam, dan kondisi sosial. Kebetulan aku berkesempatan mengobrol dengan warga Menggoran yang kupanggil Mas Hanis dan Pak Untung Basuki.
“Menurut cerita rakyat, kawasan air terjun Sri Gethuk adalah kerajaan makhluk halus,”
kata Mas Hanis memulai ceritanya.
Air terjun Sri Gethuk memang tidak lepas dari adanya folklore seperti dongeng dan mitos. Mau percaya atau tidak, cerita ini diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat. Berdasarkan cerita rakyat, dulu di kawasan air terjun Sri Gethuk merupakan kerajaan ghaib atau lelembut. Warga lokal di sana ada yang menyebut bahwa kawasan air terjun itu adalah keraton Jin. Menurut Mas Hanis, pemimpin para jin ini dipercayai bernama Anggo Menduro. Di tempat mistis ini dipercayai terdapat seperangkat alat musik gamelan. Gamelan ini bukanlah gamelan biasa, melainkan gamelan gaib. Untuk meminjamnya, diperlukan sebuah ritual adat khusus.
“Cerita Simbah, dulu ketika ada acara kesenian, warga desa-desa sekitar seringkali meminjam gamelan dari Sri Gethuk. Namun, semenjak ada yang meminjam dan salah satu bagian gamelan tidak dikembalikan, kini sudah tidak bisa lagi untuk dipinjam. Namun, suara gamelan itu masih sering terdengar jelas terutama saat hujan atau sungai Oya banjir,” lanjutnya
Menurut Pak Untung Basuki, salah satu anggota Tim Pengawas Wisata Sri Gethuk, suara gamelan yang dominan terdengar adalah ‘kethuk‘ dan slompret. Maka dari itu, nama Sri Gethuk adalah plesetan dari kata Sri Kethuk. Akan tetapi, masyarakat setempat lebih mengenal tempat ini dengan sebutan “Slempret” dari alat musik slompret tadi. Sebenarnya, nama Slempret sudah ada lebih dulu daripada nama Sri Gethuk. Karena nenek moyang di tempat ini sejak dulu menyebut tempat ini dengan nama Slempret. Memang banyak versi cerita mengenai asal muasal nama air terjun ini.
“Saya tidak tahu kapan persisnya, karena saya hanya dengar cerita dari simbah saya. Namun, kalau soal suara gamalen itu benar adanya dan sampai sekarang masih sering terdengar. Masyarakat yakin suara datang dari arah air terjun Sri Gethuk”, tambah Mas Hanis lagi
Cerita mistis seperti itu menjadi alasan kuat dilakukannya upacara adat atau ritual saat awal pembukaan wisata alam Sri Gethuk. Tujuan ritual ini tak lain sebagai ungkapan rasa syukur dan berdoa bersama agar semua sistem dan kegiatan di tempat ini berjalan lancar serta kelak mendatangkan banyak rezeki bagi masyarakat. Selain folklore, ritual adat yang lain adalah ‘merti kali‘. ‘Merti kali‘ merupakan sebuah upacara adat sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan, khususnya sungai (kali) yang telah memberikan kehidupan kepada semua warga desa. Upacara adat ini menjadi agenda tahunan desa, namun seiring pergeseran zaman, upacara ini jarang dilakukan.
Kemudian, setelah kawasan Sri Gethuk dibuka sebagai tempat wisata, barulah upacara adat ini lahir kembali. Merti kali terbesar adalah pada saat tepat sewindu air terjun Sri Gethuk dibuka sebagai tempat wisata. Acara ini merupakan salah satu giat dari Keraton Yogyakarta yang bertujuan untuk membangkitkan budaya dan ungkapan rasa syukur karena alam telah memberi rezeki kepada lingkungan dan masyarakat.
Kondisi alam
“Air terjun ini tidak pernah mengering mbak, saat musim kemarau sekalipun. Karena di atasnya terdapat tiga sumber mata air, yaitu Ngandong, Dung Poh, dan Ngumbul. Ketiga mata air itu mengalir dan bertemu menjadi air terjun Sri Gethuk. Sebenarnya, dulu air terjunnya berada di sebelah utara dari posisi sekarang. Karena gempa tahun 2006, banyak tebing longsor sehingga akses menuju ke sana jadi terhambat. Tapi, air terjun yang asli pun masih aktif, hanya saja susah diakses. Semenjak banjir 2017 dan bulan Desember lalu, aksesnya mulai terbuka kembali”,
lanjut Pak Untung Basuki
Kondisi alam di lingkungan ini memang sangat mendukung untuk dijadikan sebagai tempat wisata. Selain airnya yang mengalir sepanjang tahun, bentang alam karst dan vegetasi yang menyelimutinya menambah kesan estetika dan ciri khas wisata alam ini. Semua terasa sangat natural dan syahdu. Air terjun alami disertai keindahan Sungai Oya memang pantas menjadi Verdon Gorge van Java.
Menurut Pak Untung air terjun asli yang sejak dulu telah ada adalah air terjun Slempret yang letaknya kurang lebih 15 meter di sebelah utara air terjun saat ini. Karena tragedi gempa sekitar 17 tahun silam, banyak tebing longsor sehingga aliran air dari ketiga sumber mata air, yaitu Ngandong, Dung Poh, dan Ngumbul menjadi berbelok ke arah lain tepatnya di sebelah selatan yang kini menjadi air terjun Sri Gethuk. Potensi ini mendukung eksistensi wisata alam Sri Gethuk hingga saat ini. Apalagi bila dikelola sehingga menciptakan keseimbangan antara alam dan lingkungan sosial, sehingga melahirkan wisata alam dengan prinsip ekoefisiensi.
Kondisi sosial
Terkait proses awal pembukaan Sri Gethuk sebagai tempat wisata, Pak Untung menceritakan, pada tahun 2009 terdapat KKN-PPM UGM di desa ini. Ketika mereka berjalan menyusuri desa, mereka sampai ke air terjun Slempret. Terpukau dengan keindahannya, kemudian, mereka melakukan sebuah program untuk merintis wisata alam dengan memanfaatkan potensi alam Slempret. Lalu, anak-anak KKN ini bekerja sama dengan warga setempat, pemerintah desa serta organisasi-organisasi sosial seperti Pokdarwis dan Karang Taruna untuk mengembangkan wisata alam Sri Gethuk.
Akhirnya, pada tahun 2010 wisata alam air terjun Sri Gethuk resmi dibuka sebagai paket terusan dari Goa Rancang Kencana, sebuah gua alami yang telah dibuka sebagai tempat wisata sebelumnya. Sebelum wisata alam ini booming, pengelolaanya merupakan kerja sama antara warga dan Yayasan Gua Rancang Kencana. Pada proses selanjutnya, warga kemudian banyak dilibatkan secara langsung untuk pengelolaan dan pengembangan wisata dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, wisata semakin ramai dan mengalami pergeseran dari segi pengelolanya. Kini pemangku utama wisata adalah Bapak Dukuh Menggoran I dan Menggoran II. Secara sistematis, pengelolaan dan pengurusan wisata ini sebetulnya sudah terstruktur dengan baik. Bahkan program-program di wisata ini juga telah tersusun secara sistematis. Di dalamnya melibatkan peran warga lokal, seperti pada bagian bidang keamanan, ketua dagang, dan operasional tempat wisata. Wisata Sri Gethuk juga menjadi salah satu aset potensi desa, sehingga masuk dalam usaha wisata Bumdes Bleberan. Dengan demikian, wisata alam Goa Rancang Kencana dan Air Terjun Sri Gethuk menjadi potensi andalan Desa Wisata Bleberan.
Seiring booming wisata Gunungkidul, wisata alam Sri Gethuk menjadi ramai pengunjung terutama pada tahun 2013-2014. Cerita Pak Untung, dulu rata-rata pengunjung tiap akhir pekan mencapai lebih dari 1000 orang. Kondisi ini jelas membawa dampak positif peningkatan ekonomi bagi masyarakat setempat.
Pembukaan wisata alam ini jelas menjadi lapangan pekerjaan baru sehingga mengurangi tingkat pengangguran. Jika berkunjung ke wisata air terjun Sri Gethuk, sepanjang perjalanan dari pintu masuk sampai ke pinggir sungai, memang penuh dengan warung-warung yang menjajakan beraneka ragam jenis dagangan. Mulai dari souvenir, makanan, minuman ringan, makanan tradisional dan masih banyak lagi.
Omset dari wisata alam ini sebagian disetorkan ke desa melalui Bumdes, kemudian dikelola untuk pembangunan. Sebagian lagi dikelola pengurus sebagai gaji untuk para pekerja di sana dan pengembangan serta pemeliharaan kawasan.
Keadaan Obyek Wisata Sri Gethuk sekarang
Pandemi Covid19 yang melanda Indonesia sejak tahun 2019 memang membawa berbagai dampak di segala sendi kehidupan masyarakat. Termasuk juga sektor pariwisata. Pembatasan kegiatan masyarakat dengan PPKM, akhirnya menjadikan semua destinasi wisata menjadi sepi. Dua tahun kondisi ini terjadi, membuat banyak tempat wisata menjadi mati suri, begitupun di Gunungkidul (baca: Analisis Sosial Obyek Wisata di Gunungkidul Yang Saat Ini Sekarat).
Pun demikian dengan Obwis Sri Gethuk, kondisi awal yang sudah berjalan menjadi berantakan. Pengelola dan warga mungkin kurang siap untuk menghadapi sebuah perubahan yang mendadak. Termasuk dampak sosial akibat Booming wisata Sri Gethuk, mendorong terjadinya perubahan serta pergeseran pada pola-pola yang telah terbentuk dan terstruktur. Pandemi Covid-19 menjadi puncaknya. Sempat off beberapa waktu, pengunjung yang datang pun menurun drastis, wisata menjadi sepi. Kondisi ini merupakan tantangan besar bagi ketahanan wisata Sri Gethuk. Pasca pandemi ini banyak orang yang beralih ke pekerjaan lain. Sekarang tak hanya tempat wisatanya yang sepi, namun pengelola dan pengurusnya pun turut sepi pula.
Kondisi seperti ini sangat disayangkan terjadi di wisata alam Sri Gethuk yang sejatinya mempunyai potensi yang luar biasa. Namun, jika ditelisik lebih dalam, kondisi ini rupanya juga berakar dari sumber daya manusia sebagai tokoh utama di dalamnya. Masyarakat, khususnya warga lokal memiliki tingkat kesadaran yang rendah untuk membangkitkan eksistensi Sri Gethuk kembali. Kejayaan Sri Gethuk sepertinya sempat membuat lupa, bahwa butuh pengelolaan yang baik agar suatu destinasi wisata bisa bertahan (sustainable) terhadap suatu perubahan.
“Saya prihatin dengan kondisi yang sekarang terjadi, terutama pada masyarakat sebagai tokoh utama. Namanya tempat wisata yang baru dibuka, wajar saja jika ada pengunjung yang kangen, bosan, atau kecewa. Hal-hal itu ,menjadi faktor yang mendorong datangnya wisatawan. Tugasnya tokoh utama adalah bagaimana untuk menyikapi ketertarikan pengunjung, dimulai dari tutur yang stabil. Di samping itu, seharusnya di antara warga masyarakat sendiri juga ada rasa saling memiliki sehingga semuanya bisa berjalan mulus”, tutur Mas Hanis menyampaikan kegundahannya atas apa yang terjadi di wisata Sri Gethuk saat ini.
Keprihatinan karena tidak adanya kesadaran untuk bangkit bersama menjadi masalah sosial utama. Pembukaan suatu tempat baru, apalagi alam dijadikan tempat wisata, harus siap dengan segala tantangan yang mungkin menghadang di depan. Contohnya di Sri Gethuk ini, sumber daya manusia sebagai tokoh utama justru loyo dengan kondisi merosotnya omset wisata itu sendiri. Yang seharusnya terjadi adalah bersama bangkit, menyikapi masalah dengan bijaksana, dan belajar dari wisata lain yang tetap bertahan meskipun terkena dampak yang sama, yaitu karena Pandemi.
“Untuk saat ini kita harus flashback di tahun 2009 untuk mengawali lagi eksistensi wisata. Misalnya dengan mengadakan event dan menghidupkan upacara adat ‘merti kali’ yang sempat off juga karena Pandemi. Nilai-nilai itu yang seharusnya menjadi kekuatan jati diri tempat ini dan masyarakat,” lanjut Mas Hanis menuturkan pendapatnya.
Selain masalah sosial terkait rendahnya kesadaran untuk membangkitkan wisata kembali, rupanya juga terdapat masalah sosial lain terkait dengan lingkungan. Masyarakat juga kurang peduli dengan kondisi lingkungan. Jika diingat kembali mengenai sumber mata air yang menjadi sumber utama air terjun Sri Gethuk, yaitu Ngandong, Dung Poh, dan Ngumbul, kondisi saat ini belum banyak berubah sejak terkena longsor dan banjir. Hal ini memperlihatkan ketidaksadaran warga untuk merawat lingkungan. Sumber mata air yang telah memberikan kehidupan kepada masyarakat tidak dipedulikan. Padahal sejumlah mata air ini tidak pernah mengering dan tidak butuh perlakukan khusus.
“Demi mencapai keseimbangan antara lingkungan sosial dan alam, sudah seharusnya sadar akan kewajiban merawat dan menjaga alam. Minimal dengan melakukan perawatan rutin terhadap sumber mata air, pembersihan, penanaman dan penyulaman pohon di sekitar sumber dan upacara adat dilakukan bukan sebatas atraksi wisata, tapi makna dan esensinya juga harus dimengerti dan dilakukan,”
pungkas Mas Hanis penuh harap
Begitulah jawaban-jawaban yang aku temukan dalam perjalanan ini. Verdon Gorge van Java alias air terjun Sri Gethuk sebagai wisata alam yang menyimpan banyak potensi, ternyata memiliki kisah kompleks baik dari segi budaya, lingkungan, dan sosial masyarakat. Dari hal ini kita dapat belajar bahwa setiap ada kemauan mesti ada jalan, lantas jika sudah terbuka jalan sudah seharusnya kita konsisten dan menghadapi segala tantangan yang menghadang. Obrolan dengan Mas Hanis membuka cakrawala pemahaman baru bagi saya, bahwa kita sebagai manusia harus mempunyai kesadaran bersama untuk menyelaraskan elemen-elemen kehidupan agar tercipta lingkungan hidup yang sejahtera.