Upacara Adat(rebowagen.com)– Mendengar kata ‘ogoh-ogoh‘, yang terbesit dalam benak saya pertama kali adalah Pulau Bali. Setiap tahun pawai ‘ogoh-ogoh‘ di Pulau Dewata selalu menarik perhatian banyak orang, baik warga lokal maupun turis. Bagaimana tidak, puluhan patung raksasa dengan bentuk yang unik selalu ditampilkan dalam acara upacara Pangrupukan di sana.
Upacara adat Pangrupukan ternyata juga dilakukan oleh umat Hindu di Padukuhan Kaliwaru, Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul. Sepertinya saya yang kebangetan, sebagai warga Kapanewon Nglipar yang bertetangga dengan Kapanewon Ngawen, saya sampai baru tahu kalau mau melihat pawai ‘ogoh-ogoh‘ tak harus jauh-jauh ke Bali. Di sebuah Pura yang letaknya tak sampai 10 km dari rumah saya ternyata juga melaksanakannya.
Berbekal informasi dari media sosial, sore itu (23/03/2023) saya memacu kendaraan menuju Padukuhan Kaliwaru. Sepanjang jalan yang tak jauh dari lokasi acara banyak terpasang ‘umbul-umbul podhang ngisep sari‘ sebagai lambang identitas Gunungkidul. Juga sudah tampak puluhan pedagang yang sedang menyiapkan dagangannya. Sekitar pukul 15.30 saya tiba disana, sedangkan dari informasi pada pamflet, acara dimulai pukul 15.00. Saya pikir saya sudah terlambat, ternyata sampai di Pura Podo Wenang titik kumpul upacara Pangrupukan masih tak begitu ramai.
Tampak sebuah ogoh-ogoh besar berwujud ‘Bhuta’ (raksasa) berdiri di depan pura dikerumuni beberapa orang. Rupanya mereka sedang mempersiapkan ogoh-ogoh dengan memasang hiasan. dan memasang tali pada pikulan. Tak berselang lama, dua ogoh-ogoh berikutnya datang. Satu berwujud tikus dengan ukuran yang hampir sama dengan yang paling besar, sedangkan satu lagi berwujud ‘Bhuta‘ namun ukurannya relatif lebih kecil.
Alur Upacara Pangrupukan
Waktu kian sore, orang-orang berdatangan, dan Pura Podo Wenang mulai ramai. Ogoh-ogoh diletakkan di perempatan jalan, pada tiga sisi yang berbeda, lalu ubarampé sesaji diletakkan pada tengahnya. Panitia mempersilahkan jemaat Hindu untuk masuk ke dalam pura, lalu pemuka agama (sêsêpuh) memimpin sêmbahyang.
Selesai sêmbahyang, pemuka agama keluar dari pura membawa cawan yang berisi air kemudian dipercikan kepada ogoh-ogoh beserta kerumunan orang yang akan mengaraknya. Selanjutnya gamelan mulai ditabuh dan perapian dinyalakan. Salah satu ibu-ibu pemuka agama membawa garuk kayu memutari ubarampé sesaji ke kiri sebanyak lima kali, diikuti oleh para pemuda yang membawa sapu, dan membunyikan kênthongan. Berputar ke kiri sebanyak lima kali (kelima arah mata angin), memiliki arti menuju ke bawah, mengingat derajat ‘bhuta kala‘ itu lebih rendah dari manusia.
Beriringan dengan itu, ogoh-ogoh mulai digerakkan oleh para pengusungnya secara naik turun seolah sedang menari-nari.
Setelah perapian mulai padam, lalu dibersihkan beserta ubarampé sesaji. Selanjutnya arak-arakan mulai berjalan. Ibu-ibu dan pemimpin upacara berada pada barisan terdepan, diikuti penari, gamelan, beserta rombongan pembawa ogoh-ogoh. Pemuka agama yang berada di depan tampak menyebar beras dan jagung, rupanya piranti tersebut disebut ‘caru‘.
“Caru berupa beras dan jagung yang merupakan hasil bumi masyarakat Kaliwaru disebar sepanjang jalan, itu tujuannya untuk membersihkan hal-hal negatif yang ada di padukuhan ini”
kata Danu salah satu pemuda Kaliwaru saat saya tanyai perihal beras dan jagung yang disebar sepanjang jalan itu.
Ogoh-ogoh kemudian diarak berputar keliling kampung melewati gang dan berhenti di pertigaan Kaliwaru. Sepanjang jalan ogoh-ogoh dipikul sembari digerak-gerakan. Cuaca yang cukup terik dan beban yang dipikul berat rupanya tersamarkan dengan perasaan gembira mereka.
Rupanya ogoh-ogoh yang berukuran paling kecil tadi dipikul oleh anak-anak. Seakan tak mau kalah dengan orang dewasa, mereka pun juga sangat semangat menggoyang-goyangkan patung raksasa itu. Semua terlihat menikmati kirab ini, baik rombongan pengarak maupun penonton.
Masyarakat tampak sangat antusias menyaksikan kirab ogoh-ogoh, mereka memenuhi kanan-kiri jalan sambil beberapa mengabadikan momen itu. Rupanya upacara Pangrupukan tahun ini adalah yang paling ramai jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Upacara Pangrupukan tahun ini yang paling meriah antusiasnya mas, baik warga lokal maupun luar Kaliwaru. Soalnya tahun sebelumnya kan masih dalam suasana Covid sehingga tidak seramai ini”, ungkap Andi selaku koordinator panitia.
Tak terasa hari sudah mulai gelap, namun masyarakat tetap masih bersemangat mengikuti prosesi upacara hingga tuntas. Ogoh-ogoh kemudian dibawa menuju tujuan terakhir, yaitu pinggir sungai yang terletak di ujung barat padukuhan. Ketiganya diletakkan berjajar dikelilingi lilin dengan posisi raksasa terbesar di tengah. Umat Hindu dan masyarakat umum berdiri mengelilingi ogoh-ogoh itu.
Tak berselang lama seorang sêsêpuh mengenakan baju serba putih berdiri didepan ogoh-ogoh. Rupanya pria paruh baya itu adalah Mbah Triman, pemimpin upacara Pangrupukan. Beliau kemudian memimpin doa para jemaat dan juga masyarakat lain yang turut menyaksikan.
“Mugi-mugi sedaya masyarakat Kaliwaru ingkang badhe nindakaken ibadah suci wonten ing mbenjang-enjang ngantos sak paripurnanipun tansah manggih rahayu wilujeng sak lami-laminipun, mboten wonten alangan setunggal bab punapa. Pramila sumangga wonten ing wekdal punika kita tansah nyenyuwun dhumateng ngarsanipun Gusti mliginipun para umat Hindu lan para umat ingkang sanesipun Hindu. Nyuwun karahayu karahayunipun, rahayu jagad manungsa, lan rahayu jagading bumi ingkang gumelar menika.”
(Semoga semua masyarakat Kaliwaru yang akan menjalankan ibadah suci yang akan dimulai besok pagi hingga selesai senantiasa selamat dan tenteram selama-lamanya tanpa ada halangan satu apapun. Maka dari itu mari dalam suasana waktu ini berdoa memohon kepada Gusti khususnya umat Hindu dan umat selain Hindu, memohon keselamatan dan ketenteraman, selamat kehidupan manusia, selamat kehidupan bumi yang tergelar ini).
potongan doa yang disampaikan oleh Mbah Triman.
Sesaat setelah prosesi doa bersama selesai dilakukan, panitia menyalakan kembang api di samping ogoh-ogoh. Kemudian tak berselang lama api dinyalakan untuk membakar patung raksasa-raksasa itu. Merambat dari bawah ke atas, melumat seluruh bagian ogoh-ogoh. Pembakaran ogoh-ogoh melambangkan pemusnahan ‘bhuta kala‘, sifat angkara murka, dan hal-hal buruk lainnya.
“Menurut Agama Hindu api itu adalah sumber utama kehidupan, maka pembakaran ogoh-ogoh ini adalah upaya untuk menetralisir hal-hal yang negatif” terang Danu yang berdiri di samping saya, saat saya tanyai perihal fragmen terakhir dalam upacara ini.
Kerukunan sebagai Wujud Toleransi Beragama
Serangkaian upacara Pangrupukan berjalan dengan lancar dan tertib. Umat Hindu beribadah dengan khidmat, masyarakat umum terhibur, dan para pedagang memperoleh berkah rejeki dari upacara ini. Kerukunan dalam beragama sangat kental saya rasakan selama proses upacara.
Sepanjang acara beberapa kali saya temui warga muslim juga membantu kelancaran acara. Beberapa masyarakat muslim yang rumahnya dilalui rombongan arak-arakan, mereka membagikan air mineral di depan rumah. Siapapun boleh mengambil, terutama pasukan ‘pengarak‘ yang sudah tentu merasa haus setelah memikul ogoh-ogoh dari sore hingga malam. Bentuk bantuan lainnya tentu masih banyak lagi.
Pada akhir acara Pak Hartato selaku panitia menyampaikan ucapan terima kasih, bahwa upacara Pangrupukan tahun ini dapat terlaksana dengan lancar berkat partisipasi berbagai pihak, baik warga Hindu maupun non Hindu, baik warga Kaliwaru maupun masyarakat umum.
“Selamat menjalankan Ibadah Nyepi Tahun Saka 1945 dan juga selamat menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan bagi saudara-saudara muslim. Semoga semua berjalan dengan rahayu, saling menghargai, toleransi, dan tentunya berjalan bersama demi kemajuan Padukuhan Kaliwaru khususnya”, pungkas beliau.
Acara ditutup, lalu peserta upacara Pangrupukan dan masyarakat umum meninggalkan tempat itu. Kegiatan pada sore hingga malam itu menjadi sangat istimewa dan berkesan bagi saya yang menghadirinya. Mengingat tahun ini sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya, Hari Raya Nyepi dan awal Puasa Ramadhan hanya berselang satu hari saja. Seakan menjadi pralambang, bahwa meskipun agama dan kepercayaan kita berbeda namun tetap bisa berjalan beriringan di dalam urusan kemasyarakatan.
Hari itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi saya. Ada dua hal menarik yang saya dapat dalam upacara Pangrupukan tahun ini. Pertama, pawai ogoh-ogoh yang luar biasa meriah ternyata tak hanya ada di Bali, namun di sisi utara Gunungkidul tepatnya di Kalurahan Kaliwaru juga ada. Kedua, kerukunan yang ditunjukan oleh masyarakat Kaliwaru sebagai toleransi beragama juga tak kalah pentingnya untuk saya teladani.