Sosial(rebowagen.com)– Orang Jawa sangat memperhitungkan faktor keseimbangan dalam pemaknaan terhadap setiap unsur kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari budaya, pemikiran atau filsafat ‘kejawen‘ yang mengandung nilai-nilai spritual tinggi. Bisa dikatakan, proses penciptaan dan laku kehidupan manusia dari pembentukan janin, lahir, hidup hingga mati dirumuskan dengan sangat rinci oleh filsafat Jawa. ‘Sangkan paraning dumadi‘ (darimana manusia berasal dan kemana akan kembali), memuat pemahaman terhadap tujuan penciptaan manusia sebagai makhlukNya. Tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dan pertanggungjawabannya nanti ketika tiba saatnya kembali kepada Sang Maha Pencipta.
Sejak manusia dilahirkan, orang Jawa percaya bahwa ia tidak lahir sendiri, melainkan ada pendamping yang selalu menjaganya. Pengertian ini muncul dalam rumusan ‘sedulur/kiblat papat lima pancer‘. Konsep ini tidak sekedar dimaknai sebagai empat arah mata angin, ‘lor‘ (utara), ‘kidul‘ (selatan), ‘wetan‘ (barat), ‘kulon‘ (timur) dan diri manusia sebagai ‘pancer‘ (pusat). Secara agak spesifik dapat dipahami bahwa, setiap manusia yang lahir memiliki empat pendamping yang tak kasat mata. Para pendamping ini diartikan sebagai ghaib, berupa sifat atau unsur. Pemaknaan ‘kiblat papat lima pancer‘ dimulai dari proses kelahiran manusia ke dunia. Saat janin hidup dalam kandungan hingga lahir ke dunia, ada 4 unsur yang menyertai (sedulur papat), sementara yang dimaksud ‘pancer‘ (pusat) yakni jiwa sang bayi itu sendiri yang sejatinya adalah fitrah (suci).
Empat unsur itu yang pertama adalah ‘kakang kawah‘, (air ketuban, sebagai kakak, karena setiap proses kelahiran diawali dengan keluarnya air ketuban). ‘Ketuban’ juga dimaknai sebagai penjaga janin selama kehidupannya di ‘gua garba‘ (rahim ibu). Unsur kedua adalah ‘adi ari-ari‘ (plasenta yang mengikuti sang jabang bayi ketika lahir, dan menempel di tubuh sampai ajal menjemput sebagai ‘udel‘/pusar). Unsur ini dianggap sebagai ‘adi‘ (adik). Fungsi plasenta, selama janin dalam kandungan adalah sebagai penyalur sari-sari makanan dari sang ibu untuk tumbuh kembang janin hingga siap lahir ke dunia.
Unsur ke tiga adalah ‘marmati‘ (rasa takut/was-was terhadap kematian). Saat proses melahirkan, seorang ibu akan mempertaruhkan nyawanya. Sebuah proses perjuangan dimana seorang ibu bisa dikatakan dalam keadaan antara hidup atau mati (marmati). Sementara untuk unsur ke empat adalah ‘wewayangan‘ (bayangan), yang diartikan sebagai bayang-bayang dari badan wadhag/fisik yang selalu menyertai kemana dan dimana manusia berada. ‘Wewayangan‘ juga bisa dimaknai sebagai pengingat dimanapun dan kapanpun, sejatinya kita tidak pernah sendiri. Ada unsur-unsur lain (ghaib/wewayangan) yang mendampingi atau mengikuti kita.
Jika para pendamping ini sering kita ‘aruhke‘ (komunikasi) maka selalu ada yang mendampingi jiwa manusia. Keseimbangan dari sifat fitrah (suci) sang ‘pancer‘ (manusia) akan terjaga. Kondisi kejiwaan/mental akan stabil atau mapan, tidak gampang bingung atau tersesat menuruti godaan dalam menempuh perjalanan kehidupan di dunia.
‘Kiblat papat lima pancer‘ juga sering diartikan sebagi empat unsur nafsu, yaitu ‘muthmainah‘ (nafsu kebaikan), ‘supiyah‘ (nafsu terhadap kemewahan dunia), ‘aluamah‘ (nafsu keserakahan) dan ‘amarah‘ (nafsu emosi dan sifat egoisme). Ke empat unsur nafsu ini, dalam pengertian filsafat Jawa disebut sebagai ‘unsur-unsur pembangun diri‘. Keempatnya bersifat saling melengkapi dan sama-sama penting, artinya antara satu dan yang lainnya tidak harus dihilangkan atau dimenangkan salah satunya. Idealnya memang, manusia akan mempunyai jiwa dan raga yang sehat jika unsur-unsur pembangun diri itu bisa selaras dan seimbang. Jika salah satu unsur nafsu lebih dominan, maka akan terjadi ketidakseimbangan, sehingga secara mental/jiwa seseorang akan terganggu. Hal ini bisa tercermin dari sikap, tindakan ataupun moral yang berpotensi merugikan diri sendiri ataupun orang lain dan lingkungannya.
Rebowagen Forum #13
“Kami baru saja kehilangan teman yang sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan ‘suicide’, tanpa pernah kami menduga sama sekali,” begitu ujar Farid Stevy. Pernyataan ini ia sampaikan pada diskusi lintas komunitas RebowagenForum#13 yang diselenggarakan di Libstud (Liberates Creative Colony). Forum diskusi selapanan (35 hari) yang sudah diselenggarakan kali ke 13 ini mengambil tema ‘Maknani Semeleh‘, Sehat Jiwa Dalam Konteks Budaya Indigoneus (Khususnya Jawa).
Rebowagen Forum biasanya diselenggarakan berkeliling di Gunungkidul, dengan mengambil waktu hari Rabu, ‘pasaran wage‘. Diskusi ini terbuka untuk umum dan diikuti oleh lintas komunitas. Penggagasnya adalah Sirin Farid Stevi, seniman dan musisi yang berasal dari Kapanewon Playen, Gunungkidul. Farid meniti kariernya di Yogyakarta dan mendirikan Libstud sebagai sebuah studio kreatif untuk banyak anak-anak muda dari berbagai macam kharakter dan latar belakang yang berbeda.
“Masalah kesehatan mental sebagai faktor penyebab depresi dominan dialami oleh orang zaman sekarang, terutama masyarakat kota, dimana beban, tuntutan, persaingan hidup dan permasalahannya lebih kompleks,” lanjut Farid.
Segala kebisingan dan kesibukan kehidupan perkotaan menurut Farid menjadikan jiwa manusianya tidak lagi cukup beristirahat dan punya jeda waktu untuk bernafas. Tuntutan kerja full time membuat seakan putaran waktu begitu cepat berganti. Persaingan dan gaya hidup individualisme membentuk seseorang kehilangan sifat sosialnya. Banyak hal ini akhirnya mempengaruhi pola kesehatan pikiran manusia. Orang akan gampang stres dan mudah mengalami depresi, apalagi jika merasa menemui kegagalan dari keinginan yang tak tercapai. Hilangnya sifat sosial membuat banyak orang merasa hidupnya sendiri, sepi dan hampa, seakan tidak ada orang lain lagi yang mau peduli dan putus asa menjadi suatu hal yang tak dapat dihindari.
‘Semeleh‘ (meletakkan/menaruh/menyerahkan) berakar dari kata bahasa Jawa ‘seleh‘ (taruh). Secara filosofi dapat dimaknai sebagai sebuah sikap berserah diri, menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa.
“‘Maknani Semeleh’, adalah sebuah upaya untuk kembali mengingat asal, dalam pengartian mencoba memahami kembali kajian makna hidup dari leluhur sebagai upaya penyeimbangan jiwa. Salah satunya yakni istilah ‘semeleh’ atau bentuk kepasrahan sebagai sikap pengendalian diri,”
lanjutnya.
Keadaan jiwa yang ‘semeleh‘ ini, lanjut Farid dimaknai sebagai sebuah sikap dalam upaya mencapai keselarasan dan keharmonisan kehidupan. Hiruk-pikuk gempuran dan tuntutan zaman yang serba cepat ini akan dengan mudah mendangkalkan makna hidup yang hakiki.
“Kita telah banyak lupa dan kehilangan ‘root’, akar serta awal ‘mulanira’ kehidupan. Bahkan sering kali kita kehilangan kendali diri demi berusaha keras mencapai suatu hal yang sesungguhnya semu. ‘Semeleh’ juga bisa kita maknai sebagai istirahat sejenak, mengambil nafas, memeriksa ulang, dan menata kembali energi dan tujuan,” ungkap Farid lagi.
Paksi Raras Alit, salah satu pemantik diskusi menekankan tentang memaknai keselarasan dan keseimbangan yang sangat penting bagi filsafat Jawa. Konsepsi ‘kejawen‘ menurut Paksi bukan sekedar pembahasan salah dan benar atau surga dan neraka, akan tetapi lebih dari itu. Membahas filsafat kehidupan Jawa, menurut Paksi, harus melibatkan rasa secara utuh. Mau tidak mau juga harus membahas tentang visi umum kehidupan orang Jawa yakni ‘Manunggaling Kawula Gusti‘.
‘Itu adalah konsepsi umum, gol dari tujuan hidup,” kata lulusan Sastra Jawa, Universitas Ilmu Budaya UGM yang saat ini sedang menempuh pascasarjana tentang studi literasi filsafat ‘kejawen‘
“Tuhan atau keilahian atau jagat batin ada dalam diri kita sendiri. Salah satu dasar untuk mencapai itu adalah menyatukan lahir dan batin menjadi satu kesatuan yang utuh,” lanjutnya.
Menurutnya, konsepsi tentang mikrokosmos dan makrokosmos oleh orang Jawa dimaknai dengan lebih spesifik, bukan sekedar manusia dan alam semesta. Makro adalah fisik (tubuh), dan mikro adalah batin kita. Keselarasan terjadi jika kita bisa mengelola keduanya agar bisa harmonis (nyawiji/manunggal) sehingga kita bisa bertemu Tuhan dalam kesejatian diri.
Ketika rasa sudah berhasil diolah, maka tujuannya adalah bersatunya rasa kita dengan rasa orang lain. Dalam arti kita akan lebih peduli dengan orang lain, kita telah berhasil meng-Ilahikan diri kita dalam rasa yang manunggal yang akan tercermin dari sikap, cara bicara dan perilaku yang sesuai norma.
“Pada titik ini, ketika kita berhadapan dengan orang lain maka akan tercipta keselarasan dan keharmonisan,” lanjutnya.
Proses penyelarasan ini, lanjut Paksi tidak pernah selesai dan terus berlanjut selama proses hidup berlangsung. Dalam proses penyelarasan untuk mencapai keharmonisan, hal lain yang tak kalah penting adalah manajemen energi. Manajemen energi ini akan sangat berpengaruh terhadap ‘srawung‘ dan kehidupan sosial secara umum. Setiap orang mempunyai energi masing-masing, secara sederhana bisa kita lihat bentuk energi ini bisa dari kekuatan pikiran/kecerdasan, status sosial, harta atau pengaruh seseorang terhadap kelompok masyarakat. Manajemen energi masing-masing personal jika terkelola dengan baik akan timbul keselarasan sehingga akan terbentuk sistem kemasyarakatan yang baik. Setiap orang bisa menerapkan ‘empan papan‘, ‘andap asor‘, tahu kapan waktu yang pas untuk mendifusi (melepaskan) energi dan kapan harus diam menerima difusi energi dari personal yang lain.
“Banyak petuah Jawa tentang hal ini, salah satunya adalah ‘Wong ngalah gede wekasane’. Adakalanya kita harus diam, ‘down’, ‘andap asor’. Ini adalah sebuah proses pengelolaan batin masyarakat Jawa,”
lanjut Paksi Raras Alit.
Falsafah ‘nrima ing pandhum‘, adalah bentuk dari sebuah keutuhan rasa. Kapan harus menderita, mengalah, demi untuk mencapai keselarasan dan menghargai orang lain. Konsep ‘cakra manggilingan‘ menegaskan hal ini. Orang Jawa percaya bahwa perjalanan hidup tidaklah lurus atau linear, melainkan berbentuk lingkaran (cakra) yang terus berputar (manggilingan). Ini diartikan bahwa tidak ada yang abadi dalam kehidupan, kaya, miskin, susah, senang, bahagia, menderita, sukses, gagal adalah keadaan yang tidak abadi, semua dapat dengan cepat berubah oleh putaran waktu. Hal ini dapat dimaknai bahwa kita tidak boleh berlarut atau lupa dalam suatu keadaan apapun. Rasa sengsara atau menderita berlebih akan hilang jika kita bisa memanajemen perasaan kalah/atau kehilangan. Demikian juga sebaliknya, kita tidak akan ‘jumawa‘ dan lupa saat kita berada dalam puncak kesuksesan.
“Itu mekanisme manajemen bahwa dalam setiap penderitaan pasti ada kenikmatan dan harapan, bahwa kesuksesan, kekayaan juga bisa diartikan sebagai sebuah godaan dari tujuan hidup sesungguhnya. Dengan memahami hal ini secara utuh, seharusnya orang Jawa tidak boleh depresi,” pungkas Paksi.
Depresi sebagai faktor utama kasus bunuh diri juga diakui oleh Sukandar, salah seorang aktivis Yayasan Imaji (Inti Mata Jiwa), sebuah yayasan yang sangat ‘care‘ dalam upaya pencegahan kasus bunuh diri di Gunungkidul. Dalam diskusi ini, Sukandar lebih menyoroti kasus bunuh diri dari sisi medis, meski dia mengaku tidak punya disiplin ilmu kedokteran. Di Yayasan Imaji, Sukandar lebih intens dalam soal pengolahan data. Menurutnya, salah seorang punggawa Imaji adalah dokter jiwa yang bertugas di RSUD Wonosari, yakni Dokter Ida Rochmawati.
“Mengutip pernyataan Dokter Ida Rochmawati, ia menyebut, bunuh diri di-latarbelakangi oleh banyak faktor risiko, diantaranya biologi, psikologi, sosial, budaya dan faktor resiko lainnya. Hal ini dipicu oleh suatu peristiwa yang bermakna. Namun sesungguhnya tak ada orang yang benar-benar ingin mati,”
kata pria yang akrab disapa Kang Kandar.
Persoalan bunuh diri menurut Kang Kandar sudah menjadi persoalan kemanusiaan secara global. Peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia tiap 10 September telah ditetapkan oleh IASP (International Association for Suicide Prevention). Penetapan tersebut menjadi bukti persoalan bunuh diri merupakan masalah global yang harus menjadi perhatian penting. Melalui laman resmi IMAJI (Imaji.or.id), merilis, World Suicide Prevention Day (WSPD) menjadi pengingat sekaligus pesan agar kita menyatukan pandangan dan bergerak melangkah melakukan penanggulangan bunuh diri.
“Semua pihak sesuai kapasitas masing-masing bersedia ‘sangkul-sinangkul ing bot-repot’ (bahu membahu) mengambil bagian dalam upaya penanggulangan dan pencegahan bunuh diri,” lanjut Kang Kandar.
Menilik data yang diolah Yayasan Imaji, kasus bunuh diri di Gunungkidul dari tahun 2001 sampai bulan Oktober 2017, dalam kurun waktu 16 tahun, angka bunuh diri di Gunungkidul tak banyak berubah. Rata-ratanya antara 25 hingga 30 kejadian dalam setiap tahun.
“Jika diolah berdasar faktor risiko, depresi tercatat sebagai faktor risiko tertinggi,” kata Jurnalis Kabar Handayani ini melanjutkan.
Kang Kandar merinci, depresi menduduki peringkat pertama sebagai faktor risiko bunuh diri di Gunungkidul sebesar 43%. Kemudian diikuti sakit fisik menahun sebesar 26%. 16% diantaranya tidak ditemukan gejala atau keterangan, lantas 6% diantaranya tercatat karena faktor risiko gangguan jiwa berat, dan seterusnya.
Perlu diketahui, informasi mengenai berbagai faktor risiko tersebut secara umum didata oleh petugas kepolisian Polres Gunungkidul. Di Gunungkidul yang terkenal dengan angka kasus bunuh diri yang tinggi, sampai saat ini belum ada petugas khusus dari lembaga tertentu yang menggali secara mendalam perihal faktor risiko dari tiap kasus. Hal ini menggambarkan penanganan persoalan bunuh diri belum berjalan optimal. Payung hukum berupa Perbup Penanggulangan Bunuh Diri yang diterbitkan Pemkab Gunungkidul pada awal 2019 kiranya ditunggu-tunggu implementasinya oleh masyarakat.
Dengan mencermati fakta data yang ada, melihat statistik kejadian bunuh diri meliputi sebaran kejadian, pola geografis, dan pola kejadian semestinya dapat menjadi pemahaman bahwa kejadian bunuh diri adalah permasalahan sosial. Peristiwa bunuh diri adalah masalah kemanusiaan bersama, bukan masalah pribadi, dan juga bukan masalah yang perlu dipandang sebagai hal misterius.
“Bunuh diri adalah kasus ‘cry for help’, jeritan minta tolong yang tak terdengar. Butuh kepedulian banyak pihak untuk upaya pencegahannya,”
ungkap Kang Kandar
“Semestinya hasil riset sosial, ekonomi, antropologi, psikologi, psikiatri, serta penelitian-penelitian lain diantaranya dari WHO, serta bagaimana rekomendasi-rekomendasinya dapat jadi acuan. Harapannya banyak pihak juga membuka diri dengan pandangan ini, bahwa bunuh diri tidak serta merta terjadi dan bisa dicegah dengan menekan faktor risikonya,” tandasnya.
Depresi sebagai faktor utama penyebab kejadian bunuh diri memang sangat erat dengan kesehatan jiwa. Keselarasan dan keseimbangan dalam upaya mencapai harmoni yang telah banyak dibahas diatas adalah salah satu upaya untuk mencegahnya. Tak mudah memang dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi dapat kita garis bawahi disini bahwa ada satu kata kunci dalam persoalan ini, yaitu ‘hope‘ atau harapan. Saat harapan ini masih ada, kita akan lebih kuat untuk terus bertahan dan melanjutkan hidup. Dan harapan ini, bisa kita hadirkan dengan rasa kepedulian terhadap orang lain, meski hanya sekedar ‘ngaruhke‘, menyapa atau saling menyambangi.