Cerita Rakyat(rebowagen.com)– Cinta adalah misteri, kekuatannya kadang mampu membuat orang melakukan sesuatu yang mustahil. Banyak hal yang diilhami dan diciptakan dari kekuatan sebuah cinta. Perasaan cinta ini menyentuh hati, menginspirasi kisah dan karya-karya besar yang sampai saat ini masih terus diceritakan.
Wiliam Shakespeare menulis drama melankolis Romeo Juliet juga terinspirasi dari tragedi cinta sepasang kekasih. Banyak karya-karya seni legendaris lahir dari kisah-kisah cinta universal. Kekuatannya juga bisa mendorong seseorang untuk mengabadikannya dalam suatu karya monumental berbentuk bangunan megah sebagai sebuah maha karya.
Sebut saja Taj Mahal di India. Bangunan yang proses pembuatannya memakan waktu sekitar 22 tahun ini selain sebagai masjid, juga merupakan makam dari Mumtaz Mahal. Ia adalah istri dari Sultan Mughal Syah Jahan yang meninggal dunia saat melahirkan anak yang ke 14. Sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan pada istrinya, Syah Jahan kemudian membangun Taj Mahal yang akhirnya menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia
Di Indonesia sendiri, kisah legenda pembangunan Candi Prambanan juga berawal dari pembuktian cinta Bandung Bondhowoso kepada Putri Roro Jonggrang meski akhirnya sang putri menjadi arca batu ke-1000 yang menjadi pelengkap permintaannya sendiri. Dalam prasasti Cri Kaluhunan (852M), diceritakan bahwa pembangunan Candi Plaosan berawal dari kisah cinta Pramodyawardani dan Rakai Pikatan. Kisah cinta mereka terhalang karena perbedaan agama. Meski akhirnya, perbedaan itu tak mampu membendung kekuatan cinta keduanya. Mereka tetap menikah dengan memegang kepercayaan agama masing-masing.
Kisah kasih cinta tak sampai yang agak modern terjadi di Amerika pada tahun 1921. Edward leedskalnin yang batal menikah dengan tunangannya Agnes Scufs nekad membuat sebuah kastil yang terkenal dengan sebutan Coral Castle. Seorang diri selama 28 tahun Edward menghabiskan sisa hidupnya untuk menyusun dan memahat batu karang sehingga berdiri sebuah kastil megah. Saat ini, Coral Castle menjadi tempat wisata dan musium. Pengunjung yang datang mengagumi kemegahan kastil sekaligus mengenang kekuatan cinta yang mampu menggerakkan seorang manusia untuk membangun tempat seperti itu seorang diri.
Kesedihan Rangga Puspawilaga
Harum khas bunga Sritaman semerbak dibawah rimbunan daun dan akar gantung beringin besar di depan balai Padukuhan Seneng, Kalurahan Siraman, Kapanewon Wonosari. Daun pisang tempat bunga itu telah menguning, menandakan telah sementara waktu bunga Sritaman lengkap dengan perangkat ‘kinangan’ dan kemenyan tersaji disana. Bagi beberapa orang, Pasar Kawak Seneng masih dipercaya sebagai tempat bersejarah untuk wilayah Gunungkidul. ‘Ubo rampe sesajen’ sering tersaji diatas ‘padupan’ di bawah pohon beringin.
Cerita tutur yang disampaikan oleh sesepuh Padukuhan Seneng, Mbah Darsareja menuturkan bahwa terwujudnya Pasar Kawak Seneng erat kaitannya dengan kisah cinta Ki Rangga Puspawilaga dengan Nyi Rara Ireng.
“Wekdal niku, Ki Rangga Puspawilaga kapernah petinggi demang ing tlatah Gunungkidul (waktu itu, Ki Rangga Puspawilaga adalah petinggi demang di wilayah Gunungkidul), Kata Mbah Darsa mengawali ceritanya.
Konon cerita, Ki Rangga Puspawilaga sedang berduka. Istri tercinta yang selama ini mendampinginya memerintah di Kademangan Siraman pergi untuk selama-lamanya. Berbulan-bulan ia mengurung diri, larut dalam kesedihan tak berujung. Dengan keadaan itu, rakyat dan roda pemerintahan Kademangan Siraman akhirnya mulai ikut terganggu. Melihat hal itu, akhirnya Ki Rangga sadar, bahwa rakyatnya masih sangat membutuhkan kepemimpinannya. Ia memutuskan untuk segera mengakhiri kesedihan yang dialaminya. Ia kemudian mengembara, bertekad mencari wanita pendamping hidup yang mirip dengan mendiang istrinya.
Dalam pengembaraannya Ki Rangga sengaja melepas semua baju dan atribut pangkat kebangsawanan yang dimilikinya. Ia berharap, jika nanti menemukan jodoh maka sang wanita akan menerima apa adanya, bukan karena dia adalah seorang pemimpin para demang di wilayah Gunungkidul.
“Ki Rangga Puspawilaga lajeng laku prihatin, ngumbara namur kawula, mlampah ngilen, kanthi niat madosi wanodya ingkang mirip suwargi garwane (Ki Rangga Puspawilaga lalu memutuskan untuk melakukan perjalanan ke arah barat, mengembara menyamar menjadi rakyat biasa, ia ingin mencari wanita yang mirip dengan almarhum istrinya),” Mbah Darsa melanjutkan ceritanya.
Nyi Rara Ireng
Dalam pengembaraannya Ki Rangga Puspawilaga sampai ke ujung barat wilayah Gunungkidul. Sampailah ia di dusun Ireng Ireng (Ngireng Ireng) yang saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Bantul.
Di dusun Ngireng Ireng, Ki Rangga Puspawilaga menumpang hidup dan bertempat tinggal di rumah Ki Bayan Ngireng Ireng. Ki Bayan adalah seorang yang memiliki puluhan ternak dan sawah yang luas. Puspawilaga teramat rajin dan ulet, semua pekerjaan Ki Bayan selalu ia selesaikan tepat waktu. Puspawilaga juga sangat bisa membawa diri, ia dengan cepat bisa mendapat tempat di hati masyarakat Ngireng Ireng.
Melihat rajin dan uletnya Puspawilaga seorang saudagar besar di Dusun Ngireng Ireng memintanya untuk bersedia membantunya di pasar. Ki Bayan kemudian mengijinkan Puspawilaga untuk ikut bekerja di tempat sang saudagar.
Kisah cinta Puspawilaga dimulai disini. Ki saudagar memiliki seorang putri, Nyi Rara Ireng namanya. Pada pandangan pertama, ramah tutur kata dan senyum manis Nyi Rara Ireng berhasil memukau hati Puspawilaga. Dan yang membuat Puspawilaga menjadi yakin menemukan apa yang ia cari, Nyi Rara Ireng ini sangat mirip dengan mendiang istrinya.
Ki Rangga Puspawilaga tidak dapat menahan cintanya dalam diam. Lewat Ki Bayan ia meminta tolong untuk melamar Nyi Rara Ireng dengan mahar tulus dan niat bahagia bersama selamanya. Awalnya Ki Bayan merasa ragu memenuhi permintaan Puspawilaga karena yang akan dilamar adalah anak dari seorang saudagar kaya raya. Akan tetapi melihat kesungguhan dari Puspawilaga, Ki Bayan akhirnya menyanggupi permintaan itu. Dalam hati ia juga meyakini meski Puspawilaga adalah seorang pengembara, tapi ia bukan orang sembarangan.
Ki saudagar, orang tua Nyi Rara Ireng juga seorang yang bijaksana. Meski putri kesayangannya dilamar oleh seorang yang belum jelas asal usulnya, ia menyerahkan keputusan kepada putrinya. Dengan mata batin yang ‘lantip’ (tajam) sang saudagar tahu bahwa putrinya juga memiliki cinta yang sama besar kepada Puspawilaga.
“Rara Ireng ditari, mboten nolak ugi mboten nampi. Lajeng Ki Saudagar ningali jempol sikile putrine, lha jempole niku obah obah, niku artine Rara Ireng purun nampi lamaran Puspawilaga (Saat ditanya, Rara Ireng tidak menolak juga tidak menerima. Ki Saudagar hanya melihat jempol kaki putrinya bergerak-gerak, itu pertanda bahwa ia menerima lamaran Puspawilaga),” Lanjut Mbah Darsa.
Ki saudagar akhirnya menerima pinangan Puspawilaga, namun dengan syarat nikah berupa “rujak uni” atau hewan ‘rajakaya’ (semua hewan ternak berkaki empat) dan ‘raja iber-iberan’ (semua hewan ternak yang bersayap). Puspawilaga menyanggupi semua permintaan ini. Ia kemudian pulang ke Kademangan Siraman untuk mempersiapkan mahar di hari pernikahannya. Pada hari penyatuan cinta mereka, pesta dilangsungkan secara meriah, tamu tamu dan ‘penderek’ Ki Demang memenuhi tempat pesta pernikahan. “Gestalan” tempat mahar ‘rujakuni’ permintaan Ki Saudagar penuh sesak dengan mahar perkawinan.
Permintaan sebuah pasar
Setelah pesta pernikahan usai, Puspawilaga membawa istrinya pulang ke Kademangan Siraman. Mereka mulai membangun rumah tangga dengan bahagia. Namun, beriring waktu, Rara Ireng kedapatan sering melamun dan murung. Selama tinggal di Kademangan Siraman Ia merasa kesepian. Dusun Ngireng Ireng tempat ia berasal merupakan dusun strategis, dekat dengan kota kerajaan dan menjadi kawasan perdagangan. Berbanding terbalik dengan Kademangan Siraman yang masih sepi dan berada di pelosok pegunungan seribu. Sepinya suasana inilah yang membuat Rara Ireng menjadi sedih dan murung.
“Lajeng Rara Ireng nyuwun dumateng keng garwa dipun damelke pasar (lalu Rara Ireng minta kepada suaminya untuk dibuatkan sebuah pasar),” tutur Mbah Darsa lagi.
Karena cinta Ki Rangga Puspawilaga yang besar terhadap istrinya, maka permintaan itu segera disanggupi. Meski ia juga tahu bahwa hal itu tentu bukan pekerjaan mudah. Ki Rangga kemudian meminta petunjuk mertuanya yakni Ki Saudagar Ngireng Ireng.
“Bedholen ringin Iki lan uncalna, kanthi donga aja tiba yen ora tiba ing calon pasar (cabutlah beringin ini dan lemparkan, disertai doa jangan jatuh jika tidak di lokasi calon pasar),” Ucap Mbah Darsareja menggambarkan adegan mencabut beringin perintah dari Saudagar Ireng Ireng.
Beringin yang dilempar akhirnya jatuh di sebuah lokasi di wilayah Kademangan Siraman. Oleh Ki Rangga lokasi tersebut kemudian dibuka sebuah pasar dengan ditandai penanaman beringin. Namun pasar baru keadaanya tetap sepi, tidak banyak pedagang atau pembeli yang datang. Ki Rangga akhirnya ‘sowan’ lagi ke mertuanya. Masih dengan perintah yang sama, penanaman beringin dari Ngireng Ireng ini diulangi sampai enam kali. Akan tetapi keadaan pasar tak juga seperti yang diharapkan.
Ki Saudagar Ireng Ireng kemudian memerintahkan menantunya untuk menghadap Ki Ageng Sala guna meminta do’a restu dan syarat agar pasar menjadi ramai. Dari Ki Ageng Sala, Ki Rangga Juga diberikan pohon beringin untuk ditanam di lokasi pasar.
“Dados ringine jumlahe pitu, sedaya dipun tanem wonten ing sakubenge pasar (jadi beringinnya jumlahnya tujuh, semua ditanam di lokasi pasar),” tutur Mbah Darsa.
Seiring tumbuhnya beringin ‘pitu’ maka pasar mulai hidup. Aktivitas jual beli warga di lokasi pasar menjadi ramai. Setiap hari pasaran banyak pedagang dari luar daerah yang datang, mereka ‘ngencang’ (mengikat) kuda-kuda yang digunakan untuk mengangkut barang di sebuah sungai di dekat pasar.
“Pasar akhiripun saget regeng, Rara Ireng mboten sedih malih, atinipun ‘seneng’ sumringah, kalih Ki Rangga, papan menika lajeng diparingi tetenger Pasar Seneng (pasar akhirnya bisa jadi ramai, Rara Ireng kemudian tidak sedih lagi, hatinya ‘seneng’, oleh Ki Rangga pasar tersebut diberi nama Pasar Seneng),”
Dari tahun ke tahun, Pasar Seneng semakin ramai, Ki Rangga juga melengkapi fasilitas pasar. Ada akses jalan dari timur ke barat, dari Pasar Seneng menuju arah Imogiri. Sumur sebagai sarana mempermudah pedagang mendapat air bersih juga dibuat dan sampai saat ini masih bisa di temukan sisa sisanya.
Dari waktu ke waktu Pasar Seneng semakin besar, namanya ‘ngumandhang’ (kondang) di berbagai wilayah. Menurut cerita dari Mbah Darsa, konon inilah pasar pertama di Gunungkidul.
“Wong Agung Ingkang Kaping Pitu, lajeng mindah Pasar Seneng wonten Wanasari, sak sampunipun Babad Alas Nangka Doyong saget kasil (Raja Agung Yang Ketujuh kemudian memindah Pasar Seneng ke Wanasari, setelah Babad Alas Nangka Doyong Berhasil),” Mbah Darsa meneruskan ceritanya.
Babad Alas Nangka Doyong adalah cerita asal usul kota Wonosari. Keberhasilan pembukaan hutan untuk pemukiman baru yang diberi nama Wanasari, membuat jumlah penduduk yang bermukim semakin padat. Mereka membutuhkan pasar untuk perputaran roda ekonomi masyarakat. Untuk itulah, penguasa waktu itu yang disebut Mbah Darsa sebagai ‘Wong Agung Kaping Pitu’ memindah Pasar Seneng ke Wanasari yang sekarang kita kenal sebagai Pasar Argosari, Wonosari.
Pasar Seneng sekarang
Bekas Pasar Seneng, oleh masyarakat disebut sebagai Pasar Kawak (Pasar Lama). Tempat ini bagi sebagian orang masih dipercaya sebagai tempat bersejarah sebagai ‘mula nira’ awal berdirinya sebuah pasar di wilayah Gunungkidul.
Beringin ‘pitu’ (tujuh) yang dulu jadi penanda, dalam perkembangan jaman saat ini tinggal dua pohon. Beberapa waktu lalu, salah satu pohon yang terbesar layu dan mati akibat akar-akarnya diracun oleh tangan tangan tak bertanggung jawab.
Saat ini di lokasi Pasar Seneng sudah tidak terlihat lagi sebagai sebuah bekas pasar. Di atas tanah yang berstatus Sultan Ground (SG) ini berdiri bangunan balai padukuhan dan sebuah sekolah TK. Namun, cerita tutur Pasar Kawak Seneng masih dikenang sebagai sebuah kisah cinta yang romantis dari sepasang anak manusia. Besarnya rasa cinta Ki Rangga Puspawilaga kepada istrinya Nyi Rara Ireng adalah pondasi dasar terwujudnya Pasar Seneng. Memang tak semegah beberapa monumen cinta yang saya sebut di awal seperti Taj Mahal atau Candi Prambanan. Namun pada dasarnya cerita tutur terjadinya Pasar Kawak hakekatnya sama, yakni karena kekuatan sebuah rasa cinta.
Sepotong ranting kering beringin yang mati tiba-tiba terjatuh karena lapuk. Saya geragapan tersadar dari lamunan tentang cerita Mbah Darsa. Jam telah lewat tengah malam, kepakan sayap kelelawar terbang terdengar beberapa kali lalu hilang dalam kegelapan. Bayangan beringin raksasa yang mati tampak sedikit menakutkan dalam remang. Sepi dan hening menguasai malam, lamat-lamat saya seperti mendengar gumam dialog orang-orang seperti ramainya suasana sebuah pasar. Ah, itu hanya halusinasi saja, tepisku untuk mengusir perasaan yang tiba-tiba membuatku sedikit merinding.
Sae sanget matur nuwun mas ndadosna kawula angsal sesarepan