Seni(rebowagen.com)– Sering kita mendengar ungkapan ‘‘Wong Jawa ilang Jawane’’, artinya banyak orang Jawa kehilangan pengetahuan tentang kebudayaannya sendiri. Dengan kemajuan zaman saat ini, banyak orang Jawa tidak lagi mengenal kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan warisan para pendahulu yang sarat dengan ilmu filsafat. Padahal, ilmu-ilmu luhur ini, lahir dari ‘olah rasa’ yang melahirkan budi pekerti, pandangan hidup dan kepribadian manusia yang luhur.
Wayang adalah hasil budaya asli Indonesia. Keyakinan bahwa wayang merupakan produk asli budaya Indonesia juga telah banyak dijelaskan oleh para sarjana barat yang memiliki perhatian besar terhadap wayang. Mereka berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit Purwa (wayang kulit tertua) adalah hasil kebudayaan asli Indonesia, karena nama-nama yang dipakai dalam pergelaran wayang, seperti wayang, kelir (layar pertunjukan), kothak, keprak, bléncong (lampu panggung), dhalang dan lainnya adalah bahasa Jawa asli, bukan sadapan dari istilah asing tegasnya India.
“Pertunjukan wayang Jawa sangat erat kaitannya dengan upacara-upacara animisme, dinamisme, dan totemisme yang tumbuh sebelum orang Indonesia mendapat pengaruh kebudayaan India” (Museum Wayang 2010).
Meskipun cerita wayang (Ramayana dan Mahabharata) berasal dari India, tetapi telah diadaptasi oleh nenek moyang orang Indonesia (Jawa) serta dipadukan dengan mitos-mitos dan legenda-legenda Indonesia kuna dengan visualisasi bentuk wayangnya adalah asli Jawa. Museum Wayang (2010) juga menjelaskan bahwa wayang kulit tertua adalah wayang kulit Purwa, karena istilah purwa dapat berarti pertama kali atau permulaan.

Wayang kulit Purwa memang paling diminati masyarakat Jawa pada umumnya, karena disamping cerita lakon Ramayana dan Mahabharata sudah populer di kalangan masyarakat, wayang purwa juga lebih luwes dipergelarkan untuk berbagai kepentingan sosial atau politik. Misalnya, pada zaman Kerajaan Demak sampai Mataram, wayang digunakan untuk kepentingan dakwah agama Islam, pada zaman Kerajaan Kartasura sampai Surakarta, untuk misi-misi perjuangan, pada zaman Orde Lama untuk kepentingan kampanye partai-partai politik dan pada zaman Orde Baru sampai dengan sekarang, sering digunakan untuk misi-misi pembangunan. Di samping itu, wayang kulit Purwa dapat dipergelarkan untuk kepentingan hiburan, ritual, hajatan, dan daya tarik pariwisata.
Gunungan dan simbol-simbolnya
Dalam sebuah pertunjukan wayang kulit ada salah satu wayang yang berbentuk pipih menyerupai gunung dan biasanya dinamakan ‘Gunungan‘ atau biasa disebut ‘Kayon‘.
“Gunungan adalah tokoh/boneka wayang kulit purwa yang berupa tiruan gunung yang runcing seperti tumpeng. Gunungan juga disebut kayon karena salah satu unsur pokok wayang ini adalah kayu (wit) atau pohon. Gunungan mempunyai peranan penting dalam pertunjukan wayang kulit. Berfungsi sebagai pemisah adegan, pembuka dan penutup pertunjukan, sebagai tanda dari pergantian waktu dan merupakan inti dari pertunjukan wayang itu sendiri” (Purwoko dalam Husen Kasmahidayat, 2012:274).
Van der Hoop (1949) mengatakan bahwa ‘Gunungan‘ juga menyerupai kipas disebut gunungan (sebetulnya pegunungan). Gunungan ini melambangkan jumlah kesatuan, keesaan, dan oleh karena itu sama dengan pohon hayat. Disamping itu dalam ‘gunungan‘ dapat dilihat pembagian serba dua ada pasangannya. Gunungan itu ada dalam bermacam-macam bentuk.

Dalam ‘gunungan‘, terdapat banyak kandungan simbol nilai-nilai visual yang dapat dicermati dan dimaknai sebagai warisan luhur nilai-nilai tradisi. “Gunungan adalah simbol tribuwana atau Tiga Dunia, Atas, Bawah, Tengah” (Sumardjo, 2010). Sumardjo juga menegaskan bahwa dalam visualisasi gunungan wayang kulit Jawa digambarkan terstruktur tiga. Berikut gambaran umum ‘Gunungan‘ disajikan dengan tabel pembagian tiga struktur.
Nama Struktur Posisi Visual Gunungan
Berikut adalah struktur, posisi dan visual dari Gunungan Wayang Purwa:
Nama Struktur |
Posisi |
Visual |
Palema-han (bumi manusia) |
Ada di bagian bawah | Berupa garis tipis memanjang berwarna merah (dunia manusia). Garis polos ini adalah dunia wadag, dunia isi, dimana manusia hidup. Ini menunjukan betapa tak berartinya hidup wadag ini. |
Lengkeh dan Genukan | Berada di atas palema-han | Berupa cekungan (lengkeh) dan sembulan (genukan). Pada bagian ini bergambar bangunan rumah dengan pintu tertutup rapat, di kiri kanan rumah terdapat dua makhluk setengah burung dan setengah naga. Gambar tangga naik tersusun dari arah palemahan sampai ke dasar bangunan rumah. Sementara di kiri dan kanan tangga naik digambarkan dua raksasa yang jongkok saling berhadapan dengan satu tangan memegang erat sebuah penggada (alat pemukul). |
Pucuk | Berada pada bagian teratas | Pada bagian pucuk yang mengerucut inilah digambarkan sebatang pohon sampai ke puncak gunungan, disebut pohon hayat atau kalpataru. Di bawah pohon hayat terdapat kepala raksasa dan arah vertikal ke atas berisi gambar hewan-hewan yang memiliki makna tertentu. |
Tribuwana ‘gunungan‘ menurut Sumardjo adalah dunia manusia sebagai ‘dunia bawah’, ‘genukan‘ dan ‘lengkeh‘ adalah ‘dunia tengah’ sebagai medium penghubung manusia dengan ‘dunia atas’. Di ‘dunia tengah’ inilah terdapat rumah (gedong) yang tertutup pintunya rapat. Di kedua sisi atap gedong terdapat gambar kepala raksasa yang bersayap, itulah simbol magical flight dari ‘dunia tengah’ (medium) ke ‘dunia atas’ yang berpohon hayat.
Struktur horizontal gunungan berisi gambar-gambar simbol yang saling berhadapan dari bawah ke atas bersifat dualistik. Kebatinan wayang kulit Jawa ini mempunyai makna yang sangat dalam, sehingga wayang menjadi pegangan hidup masyarakat Jawa. Tetapi kebatinan dalam wayang kulit juga memiliki kandungan pikiran yang dapat dijelaskan secara rasional, seperti pada pembacaan simbol-simbol yang terdapat dalam ‘gunungan‘. Bila ditelusuri makna simbolik gunungan dari arah bawah baik secara vertikal maupun horisontal dapat kita analisis makna simbolnya berdasarkan pembagian strukturnya.
Analisis makna simbol ‘Gunungan‘ berdasarkan pembagian strukturnya

1. Bawah
Gambar simbolik pada bagian ini hanya digambarkan sebagai bidang kecil yang memanjang, atau hanya potongan saja di tengah-tengah bawah gunungan. Pada bagian ini sama sekali tidak ada hiasan. Makna bidang kecil yang memanjang berwarna merah bersimbol dunia manusia, tanpa gambar, tanpa simbol, tanpa makna. Manusia yang berhenti pada tahap ini adalah manusia tanpa makna. Hidupnya melulu duniawi, ragawi, tidak mengembangkan aspek rohaninya.
2. Tengah
Bagian lengkeh yang menjelang genukan, terdapat banyak gambar simbolik. Semuanya ditata dalam pasangan oposisi. Pada bagian ini terdapat gambar:
-
- Dua raksasa penjaga yang sedang duduk berlutut dengan memegang penggada. Bentuknya seperti Dwarapala candi. Makna dari simbol ini, raksasa sebagai penjaga tempat keramat, raksasa di kanan dan kiri itu tidak sama substansinya meskipun nampaknya kembar eksistensinya. Penjaga artinya memilih siapa yang boleh masuk dan siapa yang tidak boleh masuk, sehingga tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumah perguruan yang mengajarkan ilmu-ilmu batin.
- Bangunan rumah dengan pintu tertutup dan dua makhluk setengah burung setengah naga dengan sayap mengembang. Simbol ini diibaratkan sebagai perguruan yang mengajarkan ilmu batin. Pintu tertutup itu hanya dapat dibuka dari dalam. Kalau yang datang telah diloloskan penjaga, maka ‘yang di dalam‘ akan membukakan pintu. Inilah simbol ‘jalan’, “medium” untuk memasuki alam puncak, ‘dunia atas’.
- Burung yang digambarkan dalam bentuk sayap yang mengembang menyentuh batas tepi ‘lengkeh‘ dan ‘genukan‘, ini adalah simbol ‘dunia atas’. Sedangkan kepala burung yang mirip dengan kepala naga, adalah simbol ‘dunia bawah’. Gabungan burung dan naga adalah simbol paradoks ‘dunia bawah’ dan ‘dunia atas’ sekaligus. Sang murid terpilih telah siap ‘terbang’ menuju struktur metafisik puncak, ala spiritual. Sang murid siap memasuki garis batas antara ‘lengkeh’ dan ‘genukan’, dan begitu melewati batas itu, maka manusia sang murid akan melakukan magical flight ke arah pohon hayat.
Sebelum melanjutkan makna simbolis struktur ketiga gunungan, perlu ditambahkan tentang struktur kedua ini. Menurut Sumardjo (2010:176), “Dalam gunungan juga dikenal struktur dua yang disebut blumbangan atau kolam, karena memang di bawah pohon hayat (kayon) tidak terdapat gambar rumah tertutup (gapuran), tetapi gambar kolam persegi empat. Blumbangan adalah simbol segara (laut)”. Sebelum sampai kepada puncak maka manusia akan memasuki simbol alam kasar memasuki alam halus, rintangan yang harus dilewati manusia dalam perjalanan ke alam puncak gunungan. Jadi ‘Gunungan Gapuran‘ dan ‘Gunungan Blumbangan‘ memiliki makna yang sama.
3. Atas
Pada struktur ketiga ini terdapat gambar batang pohon yang menjulang tinggi dengan dahan-dahan yang mengarah ke kanan dan kiri ‘Gunungan‘. Di alam ini pun masih dikenal pasangan kembar oposisi atau ‘dualisme antagonistik‘. Pada gambar pokok pohon hayat yang tersusun dari bawah ke atas terdapat beberapa lambang dengan makna sebagai berikut:
-
- Di tengah-tengah batang pohon terdapat gambar kepala raksasa yang disebut Banaspati. Simbol yang menakutkan ini adalah lambang penjaga kesakralan.
- Pohon dalam pucuk ‘Gunungan’. Ini adalah simbol wilayah yang sakral dan suci. Kesucian membawa dampak kepada manusia berupa rasa gentar dan hormat
- Gambar ular yang melilit pohon hayat. Simbol dari atas ke bawah adalah tangga naik turun manusia dan dunia manusia ke alam spiritual. Dilihat dari jenis arah lilitannya dalam simbol ajaran Budhisme Mahayana ada yang disebut Pradaksina, artinya mengkanankan pusat, dan berarti naik ke atas. Sedangkan jika lilitannya sebaliknya maka disebut Prasawya berarti turun dari tingkat spiritual ke dunia manusia.
- Makna pasangan-pasangan gambar bunga dan hewan oposisi yang saling berhadapan:
a. Harimau yang berhadapan dengan banteng yang hidup di daratan adalah simbol alam spiritual yang pertama, yakni alam dewa-dewa yang tinggal di alam bumi.
b. Monyet yang sedang bergelantungan adalah simbol alam kedewaan tingkat kedua, yakni dewa-dewa penghuni antara bumi dan langit. Karena monyet memang kadang-kadang hidup di atas pohon dan kadang di bawah pohon.
c. Ayam hutan sepasang ini lebih sering hidup di atas pohon daripada di bawah pohon. Inilah tingkat alam spiritual lebih tinggi dari monyet, yakni alam spiritual pohon hayat.
d. Sepasang burung merupakan simbol wilayah spiritual dewa-dewa langit, udara bebas karena sepenuhnya burung-burung hidup di udara.
-
- Setelah pasangan hewan-hewan terdapat gambar bunga-bunga di bagian dahan-dahan Pohon Hayat yang teratas. Inilah tingkat alam spiritual meditatif. Simbol bunga adalah keharumannya, yang terasa tetapi tidak terindera oleh mata.
Manusia, setelah melewati tahapan-tahapan dalam pohon hayat maka ia akan sampai di puncak pucuk gunungan. Di atas puncak terdapat gambar kuncup bunga (tunas). Kuncup atau tunas berarti kehidupan yang baru dimulai dan terdapat di kehidupan lain. Untuk memasuki alam kehidupan ini tentu saja manusia harus mati terlebih dahulu karena tunas atau kuncup bunga tumbuh dari pohon yang telah mati ditebang. Konsep kosong isi yang diketengahkan oleh Sumardjo (2010:180) bahwa “apabila manusia telah terlepas dari ragawinya, maka ia baru bisa masuk ke alam spiritual sejati, yakni kosong. Kosong isi sekaligus, sebuah paradoks yang tak teralami oleh manusia yang masih berjasad”.

Jawa memang menyimpan berbagai macam budaya yang beragam dengan berbagai makna yang terkandung dalam setiap bagiannya. Setelah menganalisis gunungan dari sudut pandang simbol ‘Tribuana‘ dapat saya simpulkan juga bahwa gunungan juga menggambarkan ajaran Islam. Dilihat dari segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu adalah ibadah/sembahyang lima waktu. Adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT. Gambar pohon dalam gunungan melambangkan kehidupan manusia di dunia ini, bahwa Allah SWT telah memberikan pengayoman dan perlindungan kepada umatnya yang hidup di dunia ini.
Beberapa jenis hewan yang berada di dalamnya melambangkan sifat, tingkah laku dan watak yang dimiliki oleh setiap orang. Gambar kepala raksasa itu melambangkan manusia dalam kehidupan sehari mempunyai sifat yang rakus, jahat seperti setan. Gambar Banaspati melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan, tantangan dan mara bahaya yang setiap saat akan mengancam keselamatan manusia.
Gambar samudera dalam gunungan pada wayang kulit melambangkan pikiran manusia. Gambar ‘Dwarapala‘ memegang tameng dan gada dapat diinterpretasikan bahwa gambar tersebut melambangkan penjaga alam gelap dan terang. Gambar rumah joglo melambangkan suatu rumah atau negara yang di dalamnya ada kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia.

Gambar raksasa digunakan sebagai lambang ‘kawah candradimuka‘, adapun bila dihubungkan dengan kehidupan manusia di dunia sebagai lambang atau pesan terhadap kaum yang berbuat dosa akan dimasukkan ke dalam neraka yang penuh siksaan. Gambar api merupakan simbol kebutuhan manusia yang mendasar karena dalam kehidupan sehari-hari akan membutuhkannya.
Ragam hias yang terdapat dalam gunungan pada intinya adalah alam yang dicetuskan dengan bentuk simbolis. Ia demikian padat dalam maknanya, maka tak mengherankan bahwa gunungan disuguhkan sebagai peran dalam dunia pentas, sebagai penata pagelaran dan kisah cerita dalam pewayangan. Penciptaan ragam hias dalam ‘Gunungan‘, berkaitan dengan latar belakang kehidupan. ‘Gunungan‘ adalah hasil karya penciptaan dari ‘olah rasa’ yang memerlukan penghayatan dan kecermatan tersendiri.