Budaya(rebowagen.com)– Berani taruhan, mayoritas anak-anak yang lahir tahun 90an apalagi di daerah Gunungkidul pasti tidak asing dengan cerita mitos yang ada di bulan Sura. Entah cerita dari simbah, teman sekolah, atau bisa jadi karena efek nonton film Suzana serial bulan Sura. Lalu dibumbui dengan cerita lokal tentang ‘memedi‘ atau hantu, serta roh-roh halus yang bergentayangan. Hingga saat ini, cerita-cerita horor memang selalu laris manis diperbincangkan. Entah itu di berbagai obrolan nyata, hingga sampai dunia maya. Film atau kisah berbumbu misteri juga selalu menjadi ‘thread‘ yang trending di Twitter.
Meski saat ini saya sudah dewasa, namun sampai hari ini saya masih menyimpan pertanyaan terkait bulan Sura. Yaitu, kenapa bulan Sura dikeramatkan dan banyak larangan?
Kebetulan, malam Satu Sura lalu, saya memenuhi undangan Pak Paiman untuk ikut kenduri ‘Suran‘ di rumahnya, tepatnya di Dusun Sokoliman, Kalurahan Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Gunungkidul. Bagi Saya, ajakan ini semacam menjadi angin segar untuk mempertanyakan segala hal yang terkait dengan misteri bulan Sura. Pak Paiman adalah salah satu warga Gunungkidul yang masih memegang dan mengamalkan budaya Jawa dalam kesehariannya.
Di daerah Gunungkidul sendiri, perayaan malam satu Sura sangat beragam. Berbeda dengan perayaan malam tahun baru lain yang cenderung bersuka cita. Untuk malam Sura sendiri lebih cenderung ke renungan dan berdiam diri. Ada ‘lek-lekan‘ (cegah tidur/begadang), ‘kungkum‘ (berendam), bertapa, pengajian, hingga kenduri ‘suran‘ seperti yang dilakukan oleh Pak Paiman.
“Acara ini buat siapa saja yang mau mbak, tidak ada paksaan, jika mau ya mangga silahkan datang ke rumah kita doa bareng, kalau misal tidak mau ya udah tidak apa-apa” ujar Pak Paiman ketika ditemui.
Sore hari ketika saya datang ke rumah Pak Paiman, tikar sudah digelar di ruang tamu yang luas. Dapurnya tampak ‘ngabluk’ (berasap), semua tungku menyala, tanda bahwa kegiatan masak-memasak masih belum usai. Meja yang ada di dalam dapur pun penuh dengan makanan. Ada ‘wajik‘, ‘tumpeng‘, ‘kupat‘, ‘jenang‘, ‘ingkung‘, hingga gorengan. Semua kehebohan yang ada di dapur memang layak disebut dengan ‘masak gedhen’.
Saya mencoba membaur dengan beberapa orang yang ada di dapur. Bersama ibu-ibu yang lain saya ikut menyiapkan makanan. Meski sebetulnya persiapan hampir selesai. Tiba-tiba nama saya dipanggil oleh seseorang.

“Sampeyan mau tak kasih tau, ubarampene bapak to?” ujar Adit, putra dari Pak Paiman.
Mendengar hal tersebut spontan saya langsung mengangguk dan mengikuti langkah Adit, menuju satu ruangan khusus yang beraroma sangat harum. Dalam satu meja, saya melihat beragam ubarampe, seperti bunga, ‘takir‘ berisi berbagai dedaunan, pisang, dan jajanan pasar.
“Semua hari itu baik, tidak ada hari yang buruk, tapi ada hari yang paling baik. Kalau bisa di bulan Sura menghindari bikin hajatan besar seperti sunatan, nikahan, atau bangun rumah. Lebih baik buat berdiam diri, mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Perbanyak beribadah”
kata Pak Paiman sembari duduk.
“Bulan Sura itu waktu untuk para makhluk halus bikin acara mbak, ya kita sebagai manusia harus berbagi ruang dan waktu juga untuk mereka yang tidak terlihat. Kan, bukan berarti yang tidak kelihatan mata itu tidak ada to? Manusia juga terbatas tidak bisa tahu semuanya, tapi soal ini memang percaya tidak percaya mbak” Tambah Pak Paiman dengan tegas.
Inti yang bisa saya tangkap dari apa yang disampaikan Pak Paiman tentang bulan Sura adalah upaya mengambil jeda untuk berbagi ruang dengan makhluk lain. Menurut saya ini konsep berpikir yang arif, lagi-lagi tidak meletakkan manusia sebagai satu-satunya di muka bumi. Dengan memikirkan dan mengakui adanya entitas lain selain manusia di Bumi, ternyata bisa menumbuhkan rasa empati yang lebih tinggi.
Jika melihat versi lain dari keramatnya bulan Sura, melansir dari Cnnindonesia.com, bahwasannya pemahaman akan nilai keramat dan sakral bulan Sura tak bisa terlepas dari sejarah. Yakni ketika Sultan Agung, yang menguasai Mataram pada 1613-1645, membuat kebijakan revolusioner fundamental: menyatukan kalender Saka dan Islam Hijriyah.
Namun yang menjadikan bulan Sura menjadi keramat bukan hanya karena penyatuan kalender Saka dan Islam. Tapi ada riwayat yang diwariskan turun-temurun dalam penganut agama-agama Samawi. Berbagai kejadian historis seperti peristiwa banjir bandang Nabi Nuh, perlawanan Nabi Ibrahim terhadap Namruj, duel Nabi Musa melawan Fir’aun, semuanya diyakini terjadi pada bulan Muharram atau bulan Sura. Termasuk, peristiwa pembunuhan cucu Nabi Muhammad SAW. Hal ini yang menyebabkan Bulan Sura banyak ‘pamali’ untuk melakukan hal-hal yang ‘menyenangkan’, karena pada saat itu banyak terjadi peristiwa duka.
Tamu-tamu yang akan ikut kenduri sudah berkumpul. Acara kenduri ‘Suran‘ tampaknya akan segera dimulai, Saya membantu mengeluarkan berbagai ‘ubarampe’ ke ruang depan untuk didoakan bersama-sama. Ada berbagai ‘ubarampe’ yang dikeluarkan, seperti ‘jenang pepak‘, ‘ingkung‘, ‘sega gurih‘, berbagai ‘tumpeng‘, pisang raja, pisang kapok, jajanan pasar, ‘kinang‘, dan lain-lain.
Pak Paiman, mulai membuka acara dilanjut memanjatkan doa-doa dengan menggunakan Bahasa Jawa Krama. Doa yang diucapkan oleh Pak Paiman berisi ungkapan terimakasih kepada Yang Maha Kuasa. Dilanjut dengan menyebutkan berbagai ‘ubarampe‘ beserta makna dan tujuannya. Dan warga yang duduk melingkar turut mengamini doa yang diucapkan oleh Pak Paiman.
Usai kenduri, seluruh warga yang turut hadir kemudian bersama-sama menikmati sajian makanan yang sudah didoakan secara bersama-sama.
Perasaan haru membuncah tatkala menikmati makanan yang disediakan. Bukan karena menu makanannya, namun suasana ‘paseduluran’ yang masih terasa hangat di tengah-tengah Warga Sokoliman dan Keluarga Pak Paiman.
Disela-sela saya menikmati makanan, Pak Paiman menyampaikan bahwasanya segala syarat dan pantangan yang ada di bulan Sura atau kebudayaan Jawa, tujuannya sebagai mitigasi (pencegahan) terjadinya hal-hal buruk.
“Paling tidak, sebelum kita berkata bahwa apa yang terjadi dalam hidup adalah kodrat atau takdir, ada upaya pencegahan terlebih dulu. Kodrat adalah jawaban terakhir, dari sebuah doa dan usaha,”
pungkas Pak Paiman.