Upacara Adat(rebowagen.com) — Masyarakat Jawa, termasuk Gunungkidul terkenal mempunyai banyak ragam adat dan tradisi. Tingkeban adalah salah satunya, tradisi turun temurun ini dilakukan saat usia kehamilan seorang ibu menginjak usia tujuh bulan. Geertz, Clifford (2013) dalam bukunya, Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, menjelaskan, ‘tingkeban‘ adalah salah satu tradisi daur kehidupan manusia dalam ‘selametan’ kehamilan anak pertama yang menginjak usia kandungan tujuh bulan.
Rangkaian ritual ‘tingkeban‘ secara umum dimulai dengan prosesi doa, menyiapkan ‘ubarampe‘ lalu prosesi ‘siraman‘. Maksud ‘siraman‘ yakni proses memandikan atau menyiram pasangan calon ayah dan ibu dengan air bunga.
Dalam pelaksanaannya, ‘ubarampe’ dan rangkaian ritual ‘tingkeban‘ ada yang digelar komplit sesuai pakem umum atau secara sederhana. Sederhana artinya lebih ringkas. Terlepas dari prosesi dan ubarampe-nya, tujuan ‘tingkeban‘ kurang lebih merupakan upaya permohonan atau doa agar kelak proses kelahiran bayi berjalan dengan lancar dan selamat. Begitu juga dengan ibunya, sehat wal-afiat setelah melahirkan.
‘Tingkeban’ juga terkenal dengan sebutan ‘mitoni‘. Penamaan ini, sesuai tulisan Utomo, Sutrisno Sastro (2005) dalam buku Upacara daur hidup adat Jawa: Memuat Uraian Mengenai Upacara Adat Dalam Siklus Hidup Masyarakat Jawa. Dalam buku ini ditulis, bahwa tradisi ‘tingkeban‘ muncul berdasarkan kisah sepasang suami istri bernama Ki Sedya dan Ni Satingkeb yang menjalankan laku prihatin atau brata sampai permohonan dikabulkan oleh Tuhan.
Dewasa ini, dalam masyarakat muslim, ritual doa dan kenduri selamatan atau ‘sedekahan‘ sebagai ritual awal tentu dipakai tata cara doa sesuai ajaran yang dianut. Sementara untuk umat lain disesuaikan pula dengan doa sebagaimana ajaran keyakinannya masing-masing. Hal ini semata terjadi karena adanya akulturasi budaya di masyarakat.
Sutinah, dukun bayi asal Padukuhan Banjaran, Kalurahan Karangasem, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul menjelaskan, dalam ragam ‘ubarampe‘ maupun rangkaian ritual ‘tingkeban‘ mewakili atau merupakan simbol permohonan keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan, agar janin dan ibu yang ‘ngandhut‘ (mengandung) proses kelahirannya berjalan selamat dan lancar.
“Siraman diawali oleh dukun bayi atau orang yang memandu prosesi. Kemudian diikuti orang tua serta sanak saudara sebanyak 7 orang,”
kata Sutinah.
Usai prosesi ‘siraman‘, calon ibu akan menjalani prosesi ganti kain jarik. Maksudnya, kain yang basah saat prosesi siraman diganti kain jarik yang baru. Bukannya sekali, kain jarik yang hendak dipakai membalut si ibu hamil ganti sampai 7 kali. Ganti kain jarik hingga 7 kali dengan motif yang berbeda-beda hingga saat ini masih dilestarikan sebagian orang. Bagi pelestari, tradisi itu patut dipertahankan karena merupakan warisan leluhur yang mempunyai makna ‘adiluhung‘.
Motif kain jarik yang dipakai buat ganti bukan asal. Jenis motif dan urutan memakainya ada pakem aturannya.
“Pertama, motif kain jarik ‘jumput’, dipakai saat ritual ‘siraman’. Harapannya pada saatnya nanti menjelang proses kelahiran agar lancar, segera di’jumput’ atau layaknya dijemput. Menjadi cepat lancar. Semua selamat baik ibu dan si jabang bayi,” terang Sutinah
Kedua, kain ‘jumput‘ basah diganti jarik motif ‘truntum‘. Kain motif ‘truntum‘ memuat makna merukunkan pasangan agar selalu kompak, berjodoh tiap pandangan dan gagasannya, agar saling tulus mencintai serta tidak ada halangan rumah tangganya. Jadilah abadi selamanya.
Kain ketiga namanya kain ‘sida luhur‘. Motif ‘sida luhur‘ maknanya berupa harapan agar anak yang dikandung kelak jadi anak luhur budinya dan pinunjul (unggul) gagasannya, punya kapabilitas melalui ketekunan belajar dan memaknai tiap pengalaman hidup yang berharga.
Adapun kain keempat yakni kain ‘sida mukti‘. Ini harapan lewat simbol motif kain agar selama hidup bayi yang kelak lahir dan tumbuh dewasa bisa ‘mukti‘ menyandang ‘kamukten‘ atau ‘kawiryan‘. Mudah dalam segala hal, sandang, pangan, papan. Bahkan punya kedudukan atau strata sosial yang baik.
Yang kelima kain motif ‘grompol‘ maknanya berupa harapan agar putra dari si ibu hamil jadi anak yang bisa berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Mampu berbaur dengan siapapun, ‘bandol ngrompol‘ atau berkumpul dan punya relasi sosial yang baik.
Kain ke enam berupa kain ‘sida asih‘, maknanya berupa harapan agar anak diasihi atau dicintai oleh sesama. Pun demikian punya watak ‘welas asih’. Mengasihi sesama selama ia hidup di dunia. Mengasihi dan mencintai pula alam tempatnya bernaung.
“Untuk motif kain ke tujuh atau terakhir disebut ‘wana badra’. Sebagai kain motif pungkasan, motif ini berupa harapan agar anak jadi ‘pamomong’ artinya dengan segenap potensinya mampu jadi pengayom bagi sesama. Mulai dari keluarga, saudara, hingga orang lain. Kalau toh punya status sosial tinggi, ia juga mumpuni mengajak orang lain dalam kebaikan,” lanjut Sutinah panjang lebar.
Usai ganti kain jarit tujuh kali dan memakai motif terakhir, si ibu kemudian memakai ‘kemben singkeban gendong sulur ringin‘. Kemben/kain tersebut mengandung maksud doa dan harapan. Bahwasannya ‘sulur‘ atau akar pohon besar berdahan lebat menjalar panjang ke mana-mana, merupakan wujud harapan agar anak punya umur panjang dan asih mengasihi dengan sesama, baik yang jauh maupun dekat.
Prakteknya, dulu siraman air masih pakai air dari 7 sendang atau sumber air (sumur). Sehingga si suami harus rela jalan jauh-jauh untuk mendapatkan air 7 sendang. Sekarang, penggantinya dapat mengambil dari 7 bak Penampungan Air Hujan (PAH) milik tetangga. Masyarakat Gunungkidul bagian selatan memang rata-rata memiliki PAH ini untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari.
“Bisa bak-bak atau ‘kolah’ tetangga dan milik sendiri, air diberi bunga ‘panca warna’, yakni bunga kantil, kenanga, mawar, menur, dan melati buat siraman yang hamil, agar berharap jabang bayi senantiasa mendapat sinar atau nur pencerahan hidup hingga ‘kumantil’ atau menjadi pedoman dalam bertindak atas kehendak jiwa raganya,” beber Sutinah.
Selain bunga ada kelapa gading satu biji yang digambari 2 tokoh karakter wayang. Satu sisi bergambar Raden Janaka, lalu di belahan lain digambar Dewi Wara Sembadra. Maknanya berupa harapan agar kelak jika telah lahir, apabila anak laki-laki jadi anak yang utama jadi contoh sesama, bagus (ganteng/tampan) dan tulus serta bijak.
Jika lahir perempuan, tentu agar menjadi perempuan yang bermanfaat bagi keluarga dan sanak saudara serta bhakti pada orang tua, halus tindakannya serta punya paras ayu nan cantik layaknya Dewi Wara Sembadra.
Ada ubarampe berupa telur ayam Jawa yang kemudian dipecah berbarengan kelapa gading. Maknanya berupa pesan jika orang yang lahir dan hidup di dunia tak boleh meninggalkan ‘wiwitan‘ atau asal-muasal. Praktisnya, orang yang lahir di wilayah Jawa janganlah meninggalkan budaya mencakup ajaran, cara dan metode atau ajaran hidup orang Jawa. Warisan dan praktik baik leluhur hendaknya diikuti dan diteladani.
Tiap individu manusia selama hidup pasti akan menghadapi berbagai tantangan yang mewarnai tiap perjalanan hidupnya. Aneka rupa warna tantangan dan cobaan yang datang diharapkan anak bisa tulus menghadapi dan lulus dari setiap ujian. Selalu tunduk pada aturan dan serta senantiasa patuh pada orang tua, juga ramah terhadap sesama.
Selanjutnya, ada ritual ‘teropong’. Simbol ritual ‘teropong’ ini punya maksud melihat anak yang akan lahir laki-laki atau perempuan. Pasangan keluarga hendaknya menurut pada kehendak yang Maha Kuasa. Orang tua diharapkan menerima dengan rasa syukur apapun jenis kelamin anaknya nanti.
Si ibu juga akan dikenakan ‘Sabuk Janur Kuning‘. Memakai keris ‘Brojol‘ si calon bapak akan memutus sabuk tersebut. ‘Sabuk Janur Kuning‘ yang dipotong menggunakan ‘Keris Brojol‘, memuat makna dan harapan jika anak kelak tiba saatnya melihat dunia, bisa ‘mbrojol‘: lahir keluar dari rahim melalui proses persalinan dengan lancar dan selamat.
Melengkapi ‘ubarampe‘, dibuat pula nasi ‘Tumpeng Seretan‘, nasi ‘gudangan‘ dilengkapi ‘ubarampe‘ serta ayam betina 1 ekor. Ayam bisa berupa ayam dewasa atau babon, bisa pula ayam usia muda atau ‘kuthuk‘. Ini simbol bahwa bayi yang akan lahir diikuti atau disertai plasenta atau dalam istilah istilah Jawa disebut ari-ari (jawa:batur/ kanca) atau teman bisa pula dianggap saudara.
“Harapannya anak yang lahir bisa menyeret, mengajak serta teman atau ‘batur’ (ari-ari) yang menyertai bayi selama di alam kandungan. Permohonan ke yang Maha Kuasa, bayi benar-benar secepatnya menyeret, layaknya mengajak lari si ari-ari agar tak menjadi penghalang proses kelahiran,”
papar Sutinah mengakhiri banyak ulasan.