Upacara adat (rebowagen.com)– Hari masih pagi, (28/07/2022) kondisi jalan di kota Wonosari terlihat ramai lancar. Banyak lalu-lalang anak berangkat ke sekolah dan para pekerja pemerintah nampak memasuki kawasan kedinasan di area alun-alun kota Wonosari. Hari itu, saya memacu sepeda motor ke arah timur, menuju ke Kapanewon Karangmojo. Saya berangkat pagi-pagi menuju lokasi upacara adat ‘Cing Cing Goling’. Tepatnya di Padukuhan Gedangan, Kalurahan Gedangrejo, Kapanewon Karangmojo, Gunungkidul. Saya memang sengaja datang lebih pagi, dari informasi jam mulai yang ada di poster acara. Dengan tujuan, ingin melihat persiapan yang dilakukan oleh warga yang akan melakukan upacara.
Benar saja, lokasi acara masih terlihat lengang, hanya beberapa orang yang tampak hilir mudik, mempersiapkan sound dan menata kursi-kursi yang diperuntukan tamu-tamu. Dikesibukan lain yang menarik perhatian saya adalah sekumpulan bapak-bapak yang tengah sibuk menganyam janur menjadi beragam bentuk. Gerak tangan para bapak ini terlihat cekatan, dari kegesitannya bisa dipastikan bahwa mereka memang terbiasa dengan ketrampilan ini.
Ada beragam bentuk anyaman yang dibuat, seperti keris-kerisan, walangkapa, kupat lemuar, kupat kodok, peli asu, dan ulo-ulonan. Ragam anyaman tersebut akan dipasang sebagai ‘gawar’ atau sebagai tanda batas upacara adat Cing Cing Goling.
Sejarah Upacara Adat Cing Cing Goling
Upacara adat Cing Cing Goling merupakan tradisi yang sangat tua di Gunungkidul. Menurut Sugeng Sugiyanto selaku pemangku adat Desa Gedangrejo, tradisi Cing Cing Goling berawal dari peperangan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Demak yang terjadi pada abad ke-15 pada tahun 1400 Masehi. Konon, Kerajaan Majapahit mengalami kekalahan sehingga menyebabkan banyak prajurit dan senapati gugur di medan perang. Sebagian yang lain melakukan pelarian dan bersembunyi di hutan dan gunung.
Salah satu putra Prabu Brawijaya V yang turut melarikan diri adalah Raden Wisang Sanjaya beserta istrinya. Dalam pelariannya, mereka sampai ke Gunungkidul di daerah Gedangrejo, Kapanewon Karangmojo.
“Sebelum Raden Wisang datang ke sini, desa ini tidak ada namanya mbak. Raden Wisang datang kesini terus ganti nama jadi Raden Pisang (gedang), biar tidak ketahuan. Itu kenapa desa ini akhirnya diberi nama Gedangrejo, awalnya dari situ”
ujar Sugeng Sugiyanto selaku pemangku adat.
Kaburnya Raden Wisang Sanjaya ke Gunungkidul, diterima oleh Eyang Brojonolo, Eyang Honggonolo, dan Eyang Nolodongso. Daerah Gedangan dulunya merupakan desa yang tandus, sulit untuk bercocok tanam karena kesulitan mendapatkan akses air. Mendengar hal tersebut Raden Wisang Sanjaya dengan kesaktian dan keahliannya, membuatkan sebuah bendungan yang akhirnya terkenal dengan nama bendungan Kedung Dawang.
Upayanya membuat bendungan dibantu oleh Eyang Yudopati dan Eyang Tropoyo. Bendungan dan saluran irigasi yang dibuat oleh Raden Wisang akhirnya bisa mengaliri sawah-sawah milik warga. Bendungan ini mampu mengairi sekitar 50 hektar sawah di daerah Gedangan. Sehingga daerah tersebut menjadi subur dan mampu memakmurkan warga Gedangan sampai saat ini.
Keberhasilan Raden Wisang Sanjaya membuat bendungan, akhirnya mampu membangun peradaban baru bagi warga Desa Gedangan. Lambat laun banyak orang yang akhirnya bermukim dan mencari penghidupan di daerah ini. Eyang Brojonolo melihat tempat tinggalnya yang dulu adalah tanah ‘cengkar’ (tandus) kini menjadi subur. Karena merasa sangat terbantu, akhirnya beliau membuat sebuah acara tasyakuran atau selamatan. Dari acara inilah yang akhirnya melahirkan tradisi upacara adat Cing Cing Goling.
Cing Cing Goling berasal dari kata ‘Cincing’ (Jawa) yang berarti mengangkat/menaikkan kain ke atas, sedangkan ‘Goling’ artinya ‘ngglundung’ (menggelinding) atau menggulungkan badan di atas tanah. Upacara adat Cing Cing Goling dilaksanakan setahun sekali pada hari Senin Wage atau Kamis Kliwon setelah panen kedua atau biasa disebut ‘lemarengan’. Lokasi yang digunakan untuk prosesi Cing Cing Goling berada di sekitar bendungan Kedung Dawang.
Ritual Cing Cing Goling memiliki berbagai rangkaian prosesi upacara, yang pertama adalah bersih desa. Warga membersihkan lingkungan rumah masing-masing dan area tempat prosesi upacara. Kedua adalah pembuatan 24 ‘panjang ilang‘ yang berisi beragam hasil bumi.
“Jumlah ‘panjang ilang’ harus 24, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih, ini menjadi syarat wajib upacara Cing Cing Goling,” lanjut Sugeng Sugiyanto.
Ketiga adalah kenduri dengan membuat puluhan ingkung yang nantinya akan dibagikan kepada semua peserta upacara adat. Keempat adalah fragmen pementasan tarian Cing Cing Goling.
Tarian ini dibuat oleh Eyang Brojonolo sebagai gambaran bagaimana perjuangan Raden Wisang Sanjaya dan Nyi Wisang Sanjaya. Kedua tokoh ini dan dua pengawalnya sampai di Dusun Gedangan setelah melewati berbagai rintangan. Dalam tarian ini terdapat 24 penari yang terdiri dari 1 perempuan dan 23 laki-laki. Perempuan dalam tarian ini memerankan Nyi Wisang Sanjaya, 3 laki-laki memerankan Raden Wisang Sanjaya dan pengawalnya (Eyang Yudopati dan Eyang Tropoyo). Dan sisanya berperan sebagai ‘warok’ yang diartikan sebagai godaan/gangguan yang menghadang perjalanan Raden Wisang Sanjaya.
Alur Upacara Cing Cing Goling
Dalam prosesi upacara adat ini ada 3 hal yang menjadi pantangan atau larangan yang tidak boleh dilanggar. Diantaranya yaitu masakan yang dibawa untuk kenduri, tidak boleh berupa olahan tempe atau kedelai. Kedua, perempuan yang tengah menstruasi atau hamil tidak boleh ikut dalam kenduri. Ketiga semua masakan yang dimasak oleh warga kampung tidak boleh dicicipi.
Sebelum prosesi upacara adat, para penari, prajurit, pemangku adat, dan para peserta yang lain melakukan rias bersama di gedung Kalurahan Gedangrejo. Jaraknya sekitar 1 km dari Bendungan Kedung Dawang. Upacara mulai dilaksanakan sekitar pukul 13.00 WIB. Dimulai dengan arak-arakan para pemain, prajurit, 24 panjang ilang dan peserta lain menuju lokasi upacara adat. Dalam proses ini, warga sudah memenuhi jalanan, venue yang tadi lengang saat ini penuh sesak oleh para warga dan penonton yang ingin menyaksikan prosesi upacara Cing Cing Goling.
Sesampainya di lokasi, para penari akan berjalan menuju area persawahan dan ‘panjang ilang‘ akan dibawa menuju ‘pawonan‘. ‘Pawonan‘ merupakan tempat yang digunakan oleh Raden Wisang Sanjaya untuk memasak makanan selama proses pembangunan bendungan. Di area ‘pawonan‘ ini sudah ramai berjajar ibu-ibu dan bapak-bapak yang membawa ingkung untuk dikendurikan.
“Untuk acara religi, ‘pawonan’ ini digunakan sebagai tempat mediasi oleh masyarakat kepada sang pencipta. Misalnya ada masyarakat yang punya kepentingan atau keperluan, nah biasanya akan dilakukan di sini. Biasanya orang yang punya kepentingan di sini, akan melakukan nazar, entah nazar mau menyembelih sapi ayam atau kambing pas upacara Cing Cing Goling” ujar Sugeng Sugiyanto sambil menunjukan menunjukkan lokasi ‘pawonan‘.
Usai dari ‘pawonan‘, ‘panjang ilang‘ akan diarak menuju ‘Padupan‘. Di lokasi ‘Padupan‘ ini terdapat pohon beringin, di sampingnya terdapat sebuah cawan atau tempat dupa yang cukup besar. Hal ini menggambarkan bahwa ‘Padupan‘ ini dari dulu memang digunakan sebagai tempat bertapa. ‘Panjang ilang‘ diletakkan di samping pohon beringin. Mbah Kaum merapalkan doa-doa sambil membakar kemenyan, dalam prosesi ini tiba-tiba mbah kaum banyak diserbu bapak-bapak dan ibu-ibu yang membawa bungkusan kembang.
Mereka menyerahkan ‘ubarampe‘ yang dibawa kepada Mbah Kaum. Simbah itu nampak sibuk merapalkan doa sambil membakar kemenyan yang diberikan oleh warga yang hadir di padupan.
“Kawula kepotangan, Gusti ora motangake sampurna ana ing dina Kemis Kliwon ana ing adicara Cing Cing Goling”
Ucap Mbah Kaum diantara asap kemenyan.
Berdasarkan cerita yang dipaparkan oleh Pak Sugeng, ‘Padupan‘ dalam upacara Cing Cing Goling digunakan sebagai tempat ‘penyuwunan’ (do’a), atau ucapan terimakasih karena permohonannya dikabulkan. Warga yang memberikan kembang beserta ubarampe, adalah sosok yang dikabulkan permohonannya
setelah dari ‘Padupan’. ‘Panjang ilang‘ diarak menuju area persawahan yang digunakan untuk pementasan tari. Sawah yang digunakan untuk pementasan, masih tumbuh beragam tanaman. Namun anehnya, para pemilik sawah tidak marah dan malah memperbolehkan sawahnya diinjak-injak untuk upacara adat ini.
“Warga memperbolehkan, karena memang kesuburan tanahnya selama ini berkat usaha Raden Wisang Sanjaya dalam membuat bendungan,” kata Sugeng Sugiyanto menjelaskan.
Akhirnya, pementasan dimulai, laki-laki dan perempuan yang berperan sebagai Raden Wisang Sanjaya, beserta istri dan dua pengawalnya tampak berada di tengah para ‘warok‘. Raden Wisang membawa ‘pecut‘ (cemeti) yang cukup besar yang digunakan untuk memecut para ‘warok‘. “ctarrrrrr!!!” begitu suara dari pecut saat dilecutkan. Para warok akan berguling-guling di tanah dan Raden Wisang beserta istrinya akan berlari menuju sawah yang lain, begitu seterusnya.
Dalam tarian ini sama sekali tidak menggunakan alat musik, mereka hanya berteriak “Cing goling” secara bersama-sama. Prosesi tarian Cing Goling berlangsung sekitar 30 menit. Setelah mencapai ujung sawah, tarian akhirnya dipungkasi dengan para penari menikmati makanan yang tersedia di dalam ‘panjang ilang‘.
Upacara adat kemudian dipungkasi dengan kenduri bersama dan membagikan nasi beserta ingkung yang sudah dimasak oleh warga Dusun Gedangan kepada para peserta. Upacara Cing Cing Goling selesai sekitar pukul 15.30 sore.
Saya kemudian pulang dengan perasaan senang, senang karena dapat melihat langsung tradisi Cing Cing Goling yang sejak dulu baru sebatas mendengar ceritanya. Sebuah tradisi yang masih ‘diuri-uri‘ masyarakatnya. Tradisi yang sangat erat dengan air sebagai sumber kehidupan.