Sosial(rebowagen.com)– Entah apa sebabnya, saya selalu merasa senang ketika pergi berbelanja atau sekadar mengantar ibu ke pasar tradisional. Hiruk-pikuk ramai pasar memang selalu menjadi pemandangan yang menarik perhatian. Celetukan pedagang menawarkan barang dagangan, tawar menawar mereka dengan para pembeli, simbah-simbah menggendong tenggok, dan ibu-ibu yang menenteng belanjaan sembari menggandeng anaknya, adalah beberapa momen yang rutin dan khas tersuguhkan di dalam pasar.
Dialog para pengunjung pasar tradisional tidak melulu soal urusan jual beli. Bahasan pembicaraan sering melebar pada keadaan secara umum, kondisi pertanian, atau saling menanyakan kabar sanak saudara, handai tolan yang mereka kenal dan lama tak bertemu. Adegan-adegan tentang interaksi dan kohesi sosial antar warga desa masih sangat kental dan terasa. Dan pasar tradisional adalah ruang untuk itu. Ke-khasan yang tak bisa dilihat di pasar modern atau swalayan di mana semuanya sekedar dinilai dengan nominal uang dan harga yang tak bisa ditawar.
Pagi itu saya mengantar ibu pergi ke Pasar Ngawen, salah satu pasar tradisional terbesar di Gunungkidul. Pasar Ngawen atau sering disebut sebagai Pasar Gudang atau Pasar Kampung terletak di Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen Gunungkidul. Pasar akan ramai saat hari ‘pasaran legi‘. Pasar tradisional ini mempertemukan antara pedagang dan pembeli dari berbagai kapanewon di Gunungkidul bagian utara bahkan banyak yang dari wilayah Klaten, Jawa Tengah.
Saya tiba di pasar kira-kira pukul setengah lima pagi, suasana pasar sudah cukup ramai. Sebagian pedagang sudah siap dengan lapaknya masing-masing, namun sebagian yang lain juga masih sibuk sedang mempersiapkannya. Mobil-mobil pick up tampak lalu-lalang membawa berbagai dagangan. Begitu juga para petani, mereka datang membawa berbagai hasil bumi yang akan dijual. Beberapa angkutan umum datang membawa penumpang dan barang bawaan. Tak banyak memang jumlahnya, namun jumlah yang sedikit itu justru mencuri perhatian saya. Saat itu, datang sebuah ‘dump truk‘ yang biasa digunakan untuk mengangkut pasir atau batu, namun kali ini isinya sesak dengan penumpang dan hasil bumi yang akan mereka jual di pasar.
Benar saja, seketika truk itu berhenti para tengkulak sudah bersiap berdiri di sekelilingnya, mereka menyambut dan menawar barang dagangan para petani yang dibawa dan satu persatu diturunkan.
“Gori ne iki kon pira yu (nangka muda ini dijual berapa yu)?” tanya seorang tengkulak
“Iki wes pesenane uwong dhe (ini sudah pesanan orang dhe)”, sejurus kemudian sang empunya barang menyahut.
“Gabahmu iki segreng apa 64? (gabahmu ini jenis segreng atau 64 ?”)
“Iki jagunge kurang pepe (ini jagungnya kurang kering),”
“Weh, ora ya, ana jagung mrisih kaya ngene kok (wah, tidak ya, biji jagung mengkilap kaya gini kok),”
“Mang tumbas gedhang kula, ayu-ayu niki (mari dibeli, pisang ini cantik dan segar),”
Beberapa percakapan sahut-sahutan kemudian riuh terekam dalam telinga saya. Ternyata rombongan itu adalah rombongan trayek dari Padukuhan Gununggambar. Sebuah padukuhan yang berada di zona Batur Agung Utara, tepatnya di Kalurahan Kampung, Kecamatan Ngawen yang wilayahnya berada di sebelah atas. Di wilayah Padukuhan Gununggambar memang terdapat sebuah puncak bukit yang bernama Gunung Gambar yang saat ini menjadi destinasi wisata religi. Sejarah mencatat puncak Gunung Gambar pernah digunakan oleh Pangeran Sambernyawa untuk menggambar/merancang strategi perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Medan jalan menanjak yang curam membuat tak sembarang kendaraan bisa sampai ke wilayah padukuhan ini, apalagi untuk mengangkut penumpang dan barang. Selama puluhan tahun, setiap ‘pasaran legi‘ masyarakat pergi ke pasar untuk menjual hasil tani mereka dengan menaiki kendaraan truk satu-satunya yang melayani trayek Gunung Gambar-Pasar Ngawen.
Sosok di balik kemudi truk trayek Gununggambar–Pasar Ngawen
Meskipun tak lazim untuk mengangkut manusia, truk adalah satu-satunya kendaraan roda empat yang kuat membawa penumpang dan barang dalam jumlah banyak pada medan jalan yang sulit di kawasan Gunung Gambar. Itupun kondisi truk harus benar-benar dalam kondisi baik, dan tentunya juga dibutuhkan sopir yang piawai, hafal medan serta mempunyai keberanian tinggi.
Pagi itu adalah hari baik bagi saya. Saat sedang jajan soto pada sebuah warung yang berada di depan pasar, saya bertemu dengan sopir truk yang membawa penumpang dari Padukuhan Gununggambar. Ia adalah Pak Ratno pria berumur 69 tahun, sosok di belakang kemudi truk legendaris itu. Pak Ratno sudah melakoni profesi sebagai sopir truk dengan trayek Gununggambar–Pasar Ngawen selama 30 tahun lebih
Ia bercerita, sebelum menjadi sopir, saat muda dulu ia adalah seorang kernet bis jurusan Jogja–Solo.
“Saya mulai menjadi sopir truk sejak tahun 1978. Awalnya kendaraannya bukan truk, tapi masih engkel,”
kata Pak Ratno memulai obrolan kami.
Pada sekitar tahun 1992, lanjutnya, ia mulai menjadi pengemudi truk trayek Gununggambar–Pasar Ngawen. Trayek yang sebelumnya disopiri oleh tetangganya, namun tidak bertahan terlalu lama karena medan yang sulit. Ia mengisahkan, bahwa kondisi jalan pada saat itu tentu jauh lebih sulit dibandingkan dengan sekarang.
“Walah, jaman semana ki dalane cor we urung mas (walah, saat itu, jalannya cor saja belum mas)”, jawabnya ketika saya menanyakan medan yang ia lalui ketika masa-masa pertama menjadi sopir di kawasan Gunung Gambar.
Bahkan pada saat itu warga yang akan pergi ke pasar harus menjemput truk yang akan mereka tumpangi terlebih dahulu. Maklum saja, jalan naik yang masih berupa bebatuan terjal sering kali membuat truk susah melewatinya. Perlu bantuan banyak orang untuk menarik truk menggunakan tambang, supaya bisa naik. Kondisi semacam ini harus dilalui oleh Pak Ratno ‘sepasar pisan‘ (lima hari sekali) selama bertahun-tahun.
Menghadapi keadaan ini, Pak Ratno tidak begitu saja menyerah. Ia dengan setia tetap bertahan dan menjalani profesi ini hingga sekarang. Selain setia menghadapi medan jalan yang sulit, perihal kernet yang mendampinginya ia juga setia. Selama 30 tahun ia baru ganti kernet selama 3 kali. Bukan berniat ganti sebenarnya, namun mereka sendiri yang mengundurkan diri dengan alasan masing-masing. Kernet terakhir sekaligus yang terlama mendampinginya hingga saat ini bernama Wignyo. Ia mulai bekerja bersama Pak Ratno sejak tahun 2000 awal.
Peran Wignyo sebagai seorang kernet tentu tidak bisa dianggap remeh bagi sopir. Kernet adalah sosok yang mendampingi sopir dalam berbagai kondisi. Membantu sopir ketika dibutuhkan misalnya, memberi aba-aba saat parkir, mengganjal ban, dan memastikan pintu belakang terkunci rapat. Keberadaan kernet bagi penumpang juga tak kalah pentingnya, membantu mengangkat gawan (barang), dan memasang tangga supaya penumpang mudah naik truk adalah sebagian tugasnya.
Peran transportasi umum truk bagi masyarakat Gunung Gambar
Kehadiran transportasi umum berupa truk ini memang sangat penting bagi perekonomian masyarakat di seputaran kawasan Gunung Gambar, terutama di Padukuhan Gununggambar. Sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai petani dan peternak. Hasil bumi dari pertanian mereka beragam jenisnya, mulai dari padi, pala kependhem, pala kasimpar, pala wija, pala gumantung, dan sebagainya
Selain sebagai bahan makanan konsumsi sehari-hari, hasil bumi tersebut juga perlu diuangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Dalam hal ini, Pak Ratno dan Wignyo adalah sosok yang penting untuk membantu masyarakat yang akan pergi ke pasar. Saat ini, keberadaan kendaraan pribadi seperti sepeda motor memang mulai sedikit mengurangi pengguna transportasi truk. Tapi, dulu masyarakat Gununggambar yang menggunakan truk sebagai alat transportasi ke pasar rata-rata 40 orang penumpang, namun sekarang rata-rata tinggal 25 orang sekali ke pasar.
“Mbien kebak mas, nganti ora amot truke (dulu penuh mas, sampai tidak muat truknya)”, jelas Pak Ratno.
Jumlah tersebut sebenarnya masih tergolong banyak, mengingat jika kelebihan muatan penumpang dan barang itu justru akan berbahaya.
Kebanyakan penumpang Pak Ratno saat ini adalah mereka yang selalu membawa hasil pertanian untuk dijual ke pasar, pemilik warung dengan belanjaan banyak, dan simbah-simbah sepuh yang tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Juminah salah satunya, pemilik warung yang tak pernah absen menggunakan transportasi truk. “Gawane seka pasar akeh mas, nek numpak motor kangelan (belanjaan dari pasar banyak mas, kalau naik motor susah)”, jawabnya ketika saya bertanya alasan ia masih naik truk.
Alasan lain yang membuat masyarakat Gununggambar masih menggunakan jasa Pak Ratno adalah tarifnya yang murah. Bagaimana tidak, untuk perjalanan pulang pergi ke pasar tarifnya hanya dipatok Rp. 7.500 setiap penumpang. Jika dibelikan bensin, satu liter saja tidak dapat. Alasan ini juga yang membuat truk trayek ini masih langgeng hingga saat ini.
Menjadi sopir trayek Gununggambar–Pasar Ngawen selama 30 tahun, tentu hubungan Pak Ratno dengan masyarakat bukan sekadar hubungan antara penyedia dan pengguna jasa lagi. Mereka sudah seperti keluarga sendiri yang saling membantu. Pak Ratno dan Wignyo sudah hafal betul dengan medan tanjakan dan titik-titik dimana penumpangnya berhenti. Sedangkan masyarakat Gununggambar juga sudah sangat hafal jam berapa truk yang mereka tumpangi akan datang.
Terakhir dalam obrolan saya dengan Pak Ratno, saya menanyakan kapan ia akan berhenti menjadi sopir trayek Gununggambar-Pasar Ngawen?.
“Wo nek aku mas, sek penting awakku iseh sehat, karo ragaku iseh kuat, urung ana kepikiran arep leren (wo kalau saya mas, yang lenting masih sehat, dan raga masih kuat, belum ada kepikiran mau berhenti)”
jawabnya dengan lugas dan mantap.