Sosial(rebowagen.com)– Sanggar Lumbung Kawruh berada di Padukuhan Ngurak-Urak, Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop, Gunungkidul. Sanggar ini diinisiasi oleh Mas Ribut, atau biasa disapa Ribut Eugh, sebagai wadah atau sarana untuk ‘sinau sareng-sareng’ (belajar bersama-sama). Membangun tempat seperti sanggar tentu tidaklah mudah. Apalagi jika tujuan awalnya hanya sekedar untuk bisa mengakses atau mendapat program bantuan. Sanggar yang diinisiasi Mas Ribut pada tahun 2014 ini adalah implementasi dari kesadaran personal dirinya, atau bisa disebut lahir secara organik.
Dalam suka duka perjalanan selama hampir satu dekade, Mas Ribut mampu menjadikan Sanggar Lumbung Kawruh sebagai tempat pemberdayaan yang cukup dikenal di Gunungkidul. Lantas, apa rahasianya? Berikut sekelumit cerita catatan perjalanan saat aku berkesemapatan ngobrol dengan pengasuh Sanggar Lumbung Kawruh yang bernama lengkap Ribut Subronto. Sosok pria nyentrik yang kemudian aku panggil Mas Ribut.
Sebagian besar masyarakat memahami sanggar sebagai tempat yang digunakan oleh suatu komunitas atau sekumpulan orang untuk melakukan suatu kegiatan. Biasanya identik dengan kegiatan belajar untuk mengembangkan ilmu atau bidang tertentu. Misalnya, sanggar tari, sanggar lukis, sanggar musik, dan lain sebagainya. Sanggar juga bisa diartikan sebagai tempatnya para seniman untuk menciptakan serta mengembangkan kreativitas dan ide-ide dalam berbagai bidang.
Jika berbicara tentang lumbung, yang terlintas di pikiranku adalah tempat penyimpanan padi atau hasil panen lainnya sebagai cadangan makanan untuk waktu yang akan datang. Lumbung pangan seperti ini biasanya masih banyak ditemui di desa-desa, baik itu dikelola secara individu maupun kelompok. Kemudian, kawruh berasal dari bahasa jawa, dari kata dasar ‘wruh’ berarti ‘melihat’ atau ‘tahu’. Kawruh bermakna ‘ngelmu’ (ilmu), ‘pengetahuan’ terutama berhubungan dengan hal falsafah atau kebudayaan.
Dengan demikian, mendengar nama Sanggar Lumbung Kawruh yang terlintas di pikiranku adalah suatu tempat berkumpulnya orang-orang untuk belajar bersama dalam bidang apapun. Tujuannya sebagai tempat menimba ilmu dan bertukar pikiran sebagai upaya mengembangkan softskill maupun hardskill. Untuk menghindari bias pengertian, aku kemudian mengunjungi Sanggar Lumbung Kawruh. Selain untuk mencari informasi, harapanku bisa mendapatkan ilmu baru dari sana.
Matahari bersinar terik ketika aku berkunjung ke Sanggar Lumbung Kawruh di Dusun Ngurak-Urak. Janji untuk berkunjung memang telah ku buat sebelumnya dengan Mas Ribut untuk bertemu di sanggar, sebatas untuk mengobrol dan sharing pengalaman beliau, khususnya terkait Sanggar Lumbung Kawruh. Berdasarkan informasi yang kudapatkan, kebanyakan orang bercerita bahwa sanggar milik Mas Ribut adalah salah satu sanggar yang sukses sebagai upaya pemberdayaan di Gunungkidul.

Sesampainya di sana, aku tertegun. Bukan karena kemewahan, tetapi justru karena kesederhanaan yang mampu menciptakan aura romantis dan kehangatan tersendiri. Tidak ada kursi di dalamnya, sekedar karpet usang yang digelar memenuhi ruangan. Rak-rak buku berjajar rapi dan dalam sebuah ruang baca kecil yang terlihat nyaman. Di sampingnya ada ruang agak luas sebesar 4 m² didesain sebagai tempat ‘jagongan‘ dan diskusi.
Mas Ribut bernama lengkap Ribut Subronto, dengan nama panggung Ribut Eugh. Laki-laki 40an tahun dengan rambut gimbal panjang mirip Limbat ini ternyata tak sesangar penampilannya. Setelah ngobrol sejenak, ternyata beliau sangat ramah, banyak tertawa, berhati lembut dan memiliki spirit yang luar biasa. Tak heran, sanggar yang ia bangun sampai sekarang masih mengundang banyak energi positif.
“Dulu saya senang touring menggunakan vespa bersama teman-teman komunitas penggemar vespa. Suatu waktu kami tiba di Tangerang, tepatnya di daerah Baleraja. Kami memiliki basecamp di bekas bangunan Pusda (perpustakaan daerah). Suatu pagi kami dibangunkan oleh suara tangisan seorang anak perempuan. Singkat cerita, kami datangi anak itu dan kami tanyakan apa yang terjadi. Anak itu datang sendirian dari daerah Kresek, jaraknya cukup jauh dari Baleraja. Ia bercerita bahwa tujuannya kesana adalah untuk mengerjakan tugas. Ia membutuhkan buku-buku di perpustakaan yang ternyata saat itu perpustakaannya sudah tidak ada dan buku-bukunya dipindahkan ke daerah Tigaraksa. Lalu kami antarkan anak itu sampai ke sana. Nah, hal inilah yang membuat kami berpikir untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Kami sudah jauh-jauh ke luar kota, jauh dari keluarga, lalu apa yang bisa kami lakukan agar hidup kami bermanfaat untuk orang lain”, tutur Mas Ribut panjang lebar mengawali cerita perjuangannya.
Peristiwa-peristiwa penting sebelum gagasan Sanggar Lumbung Kawruh terbentuk kemudian mengalir darinya. Aku menyimak dan menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata konyol yang memperlihatkan betapa kagumnya aku mendengar cerita perjuangan beliau.

Berawal dari cerita di Baleraja tadi, Mas Ribut dan kawan-kawan berhasil membuat sebuah Taman Baca Masyarakat Baleraja di kolong fly-over di daerah Tangerang Barat. Prosesnya memang tidak singkat, mulai dari kesulitan mencari lokasi dan pada akhirnya nemu ide membangun perpustakaan di kolong jembatan kumuh. Setelah itu kemudian menggalang dana dengan mengumpulkan sumbangan buku dan bibit pohon. Besarnya spirit luar biasa tak terbayangkan, hingga mereka mampu mengubah kolong jembatan kumuh menjadi taman baca yang digemari banyak orang.
Kemudian, pada suatu hari kawan Mas Ribut bernama Denok dan Ipin memiliki misi “Sepeda Baca Keliling Nusantara”. Mereka keliling menyusuri berbagai tempat (harapannya sampai ke penjuru negeri) dengan sepeda onthel yang dimodifikasi bagian belakangnya sebagai tempat rak buku. Niat baik selalu berbuah manis, karena perjalanan mereka melahirkan taman baca lain yang tak kalah eksis. Seperti Taman Baca Jagapura di Indramayu, Taman Baca Saung Beji di Tegal, serta pengembangan Yayasan Oemah Daon.
Cerita perjalanan sepeda Denok dan Ipin terhenti di Ngurak-Urak, Petir, Rongkop, tak lain adalah tempat Mas Ribut. Karena wallahua’lam ibunda Denok mengalami sakit keras sehingga ia terpaksa harus kembali ke Tangerang.
“Jangan menganggap misi kamu berakhir di sini. Suatu saat kamu bisa melanjutkan misi lagi mulai dari tempat saya ini, tidak usah memikirkan sepeda dan buku, biarlah ditinggal di rumah saya. Kalaupun ada yang mau membacanya bukankah itu akan lebih bermanfaat?”
kata Mas Ribut mengenang kawan-kawan perjuangannya.
Selain motivasi dari kawan-kawannya, Mas Ribut mengakui bahwa gerakannya di Ngurak-Urak juga berawal dari kalimat tamparan salah satu kawan di desanya.
“But kamu itu ngapain? Di tempat orang lain kamu seperti itu, ‘ngapik-apikke’, berbuat baik. Sedangkan di kampung, rumah kamu sendiri malah kamu biarkan”, kata seorang kawan Mas Ribut.

Kalimat itu kemudian membangun spirit baru bagi Mas Ribut untuk mulai membangun dan membuat tempat seperti rumah baca Baleraja di Ngurak-Urak. Tahun 2014, mulailah gerakan di Ngurak-Urak dengan memanfaatkan sebuah bangunan lumbung yang mangkrak di belakang balai dusun. Tempat itu dipinjami oleh padukuhan. Mas Ribut dengan senang hati menerimanya, meskipun minimalis tetapi bisa digunakan. Mengingat susahnya perjuangan mencari tempat dulu saat di Baleraja. Antusias kawan-kawan desa dan anak-anak berhasil mengubah lumbung mangkrak menjadi sebuah taman baca.
“Saya berpikir kira-kira apa yang membuat anak-anak senang dan tidak bosan. Pada awalnya, tujuan kami adalah mengumpulkan anak-anak untuk gemar membaca. Tapi kami juga berpikir kalau anak-anak pasti bosan. Setiap 8 jam sehari sudah berhadapan dengan buku di sekolah. Lalu kami berpikir apa yang membuat kami harus berpadu? Ooo harus ada waktu atau kesempatan untuk anak-anak berkarya atau berkreativitas. Maka dari itu, kami membuat sesuatu yang menarik dan tidak membosankan, seperti pertunjukan teater, sablon cukil, dan kesenian yang lain”, Jelasnya lagi.

Saat itu, Mas Ribut belum bisa fokus mengelola Sanggar Lumbung Kawruh karena masih memiliki tanggung jawab lain di TBM Baleraja dan Oemah Daon, sehingga beliau harus wira-wiri untuk memenuhi tanggung jawabnya.
”Ketika sanggar itu berjalan satu tahun, saya bertanya kepada anak-anak mengenai kendala yang dialami selama ini. Ternyata mereka merasa kurang nyaman. Karena tempatnya dekat dengan masjid, di belakang balai dusun yang selalu ramai dengan banyak aktivitas. Hal itu membuat mereka kurang bebas dan kurang fokus saat berkegiatan. Maka dari itu, saya mulai berpikir untuk segera memiliki tempat sendiri. Hingga akhirnya, sanggar saya pindah di samping rumah saya memanfaatkan lahan yang ada, Sedikit demi sedikit mengubah tanah berbentuk gunung di samping rumah menjadi bangunan sanggar seperti sekarang ini”, tambah Mas Ribut.
Anak-anak ternyata lebih menyukai bangunan baru ini. Di mana mereka merasa lebih bebas berkreativitas apapun dan bisa fokus karena jauh dari keramaian. Setelah bangunan Sanggar Lumbung Kawruh berdiri, lagi-lagi Mas Ribut menegaskan bahwa itu adalah tempat untuk belajar bersama. Siapapun yang datang ke sanggar bisa berbagi ilmu dan bisa mengambil ilmu.
“Kenapa diberi nama Sanggar Lumbung Kawruh? Karena harapan saya tempat ini menjadi wadah atau sarana untuk kita semua ‘sinau sareng-sareng’ dan ‘ngangsu kawruh’. Ruangan dalam sanggar luasnya 7m², didesain 3m² untuk ruang baca, dan 4m² untuk ruang diskusi atau jagongan seperti kita saat ini. Tujuannya untuk bertukar pikiran, inilah kawruh yang tidak terbukukan”,
lanjutnya..
Keberhasilan sanggar ini ternyata menyimpan beberapa kiat yang menjadi motivasi perjuangan. Sanggar Lumbung Kawruh memiliki landasan atau pondasi yang disebut sebagai ‘Tular Srawung’, yang memiliki makna Tujuh Pilar: Seni, Rasa, Akhlak, Wawasan, Unggah-Ungguh, serta Guyup rukun. Seperti halnya Pancasila, pondasi Tular Srawung harus dijalankan dengan seimbang karena memiliki peranan penting bagi perjalanan sanggar yang dilakukan secara mandiri.
Berikut yang dimaksud Tujuh Pilar perjuangan Sanggar Lumbung Kawruh
-
Seni
Sesuai yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sanggar identik dengan tempat para seniman maupun kelompok/komunitas untuk menciptakan dan mengembangkan softskill maupun hardskill salah satunya di bidang kesenian. Begitu juga dengan Sanggar Lumbung Kawruh, salah satu kegiatan yang tidak membosankan adalah kesenian. Baik itu seni tari, seni pertunjukan, seni musik, maupun seni rupa. Anak-anak dan orang dewasa pun bebas berkreativitas atau bebas untuk nyeni.

Salah satu karya seni unggulan dari Sanggar Lumbung Kawruh adalah sablon cukil. Berbeda dengan kebanyakan industri konveksi saat ini, sablon cukil masih menekuni teknologi dan cara pembuatan secara manual atau tradisional. Inilah yang menjadikan Sanggar Lumbung Kawruh unik. Meskipun arah gerakannya sebagai upaya pembangunan untuk masa kini dan masa depan, namun orientasi pada masa lalu tidak dilupakan.
Mas Ribut memantapkan dirinya untuk ‘berenang melawan arus’. Beliau lebih menikmati dirinya yang ‘menjadi kuno’ dan tidak takut ketinggalan zaman. Yang beliau takutkan adalah jika tidak punya lagi tinggalan cerita atau sejarah hidup untuk kenangan bagi anak-cucunya kelak. Beliau khawatir apabila mengikuti arus perkembangan zaman menjadikan tidak sempat berpikir untuk mewariskan sesuatu pada generasi yang akan datang (Kandar, 2020).
”Saya mulai menekuni teknik manual sablon cukil ini saat di Oemah Daon. Ketika di Ngurak-Urak, anak-anak yang suka menggambar pun lama-kelamaan semakin ingin tahu dan bertanya mengenai teknik sablon cukil. Mulai dari situ, mulailah kita belajar sablon cukil bersama. Intinya agar bisa membuat karya untuk diri sendiri. Disenangi orang lain atau tidak itu hanya sebagai bonus”, cerita Mas Ribut.
Melalui sablon cukil, Mas Ribut merasa bisa menuangkan keprihatinannya terhadap pola pikir sebagain besar masyarakat yang mulai meninggalkan budaya, sejarah asal-usul, dan jati dirinya. Hal ini dijadikan sebagai muatan lokal dalam karya-karya sablon cukilnya, seperti gambaran kehidupan masyarakat dan lingkungannya, bentuk-bentuk protes sosial, kearifan lokal, permainan tradisional, serta edukasi aksara Jawa.
-
Rasa
Keberadaan Sanggar Lumbung Kawruh tentunya melahirkan berbagai rasa pada tiap individunya. Rasa kekeluargaan sudah pasti adanya, karena sanggar bukanlah sekolahan formal dan setiap orang bebas mengekspresikan diri. Hal ini menjadi faktor utama rasa kekeluargaan itu tumbuh begitu cepat. Kemudian, rasa ingin tahu pun menjadi pemantik ketika berada di sanggar. Rasa ini mendorong kita untuk mencari jawaban melalui proses belajar bersama, sesuai dengan tujuan. Selanjutnya adalah rasa tanggung jawab.
Meskipun pada awalnya sanggar ini tidak memiliki struktur pengorganisasian, seiring berjalannya waktu struktur ini mulai terbentuk. Tujuan awal adanya struktur bukanlah untuk mengikat dan memberi beban pada orang-orang terlibat, namun menumbuhkan kesadaran akan adanya tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Sehingga, secara tidak langsung struktur ini mendukung kegiatan sanggar untuk lebih disiplin dan teratur.
-
Akhlak
Akhlak seringkali kita pahami sebagai perilaku yang baik menurut syariat agama. Pada intinya, akhlak merupakan suatu tindakan, perilaku, dan kebiasaan yang baik dan mencerminkan sebagai orang yang bermoral. Di Sanggar Lumbung Kawruh sendiri secara tidak langsung memiliki visi dan misi untuk membangun akhlak mulia pada diri anak-anak. Selain diberi kebebasan untuk berekspresi dan mengembangkan minat bakatnya, anak-anak juga dididik agar menjadi pemuda yang bermoral dan berakhlak mulia dengan menghormati dan mendengarkan nasihat orang tua.
Di samping itu, pengembangan akhlak yang baik juga dilakukan dengan berbagai metode. Misalnya, dengan belajar menanam untuk tujuan melestarikan lingkungan, secara tidak langsung kegiatan tersebut mengandung pelajaran guna menciptakan akhlak mulia sebagai pelestari lingkungan.
-
Wawasan
‘Sinau sareng-sareng’ telah menjadi slogan bagi Sanggar Lumbung Kawruh. Banyaknya koleksi buku dan nuansa baru dengan hadirnya teman-teman baru sangat berpengaruh dalam proses ini. Sanggar Lumbung Kawruh terbuka bagi siapapun, baik itu ingin membagikan ilmu maupun menimba ilmu. Kawruh yang dimaksud tidak ada batasannya. Baik anak-anak maupun orang tua, ketika memiliki keinginan untuk belajar suatu hal, sanggar ini sebagai wadahnya.
“Sudah banyak orang-orang luar yang datang kesini. Semuanya fleksibel, waktunya disesuaikan dengan ‘selonya’ (luang waktunya) narasumber, dan disesuaikan dengan keinginan dari anak-anak maupun orang tua. Contohnya, dulu pernah mengundang Pak Budi Wibowo untuk kita minta ilmunya pada bidang pertanian, Mas Alif siNambi juga pernah membagikan ilmunya kepada bapak-bapak terkait perawatan peternakan kambing, Komunitas Resan pun menjadi partner belajar kita untuk lebih mencintai dan meningkatkan kesadaran untuk menjaga lingkungan. Sejauh ini banyak sekali, tidak mungkin saya sebutkan satu persatu”, ujar Mas Ribut sambil tertawa.
Begitulah kegiatan di sanggar, sangat bervariasi dan tidak monoton. Tidak ada namanya guru dan murid. Semua bisa menjadi keduanya. Orang-orang baru yang datang ke sanggar diasumsikan dapat membangkitkan semangat baru dan membuat gembira yang ada di sini. Hal ini merupakan sebuah proses, yang mana masyarakat nantinya akan paham bahwa pengetahuan itu penting dan tidak melulu soal materi sekolah.
-
Unggah-Ungguh
Semua materi yang diterima dari sanggar baik softskill maupun hardskill diharapkan anak-anak juga memiliki ‘unggah-ungguh‘ (tata krama) yang baik.
“Dari semua kegiatan di sanggar juga mendidik anak agar memiliki unggah-ungguh atau sopan santun dimanapun, kapanpun, dan kepada siapapun”, tegas Mas Ribut.
-
Niaga
Mengingat bahwa Sanggar Lumbung Kawruh berjalan mandiri, maka mereka juga belajar untuk berniaga. Kembali pada karya unggulan, sablon cukil, menjadi produk niaga lumbung kawruh. Selain menambah kreativitas, sablon cukil adalah karya seni yang paling mudah untuk diproduksi dan dipasarkan menurut Mas Ribut.
“Sablon cukil lumbung kawruh diberi nama ‘taling tarung’, ‘sandhangan’ pada aksara jawa. Maknanya memberi pengertian mengenai bagaimana cara untuk memberi ‘sandhangan’ (baju)”, kata Mas Ribut.
Meskipun demikian, karya tetap nomor satu, disukai orang atau tidak merupakan sebuah bonus. Mas Ribut menegaskan untuk mengajak masyarakat agar lebih melihat isinya atau maknanya yang kaya akan nilai-nilai jati diri, bukan pada wujud fisik produknya.
-
Guyup Rukun
Guyup rukun atau gotong royong merupakan semangat bagi orang-orang di Sanggar Lumbung Kawruh. Sesuai dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing yang sering kita dengar.
Mas Ribut bersama kawan-kawannya, para orang tua atau orang dewasa, dan anak-anak memiliki semangat kegotongroyongan dan kebersamaan untuk membangun Sanggar Lumbung Kawruh. Tujuannya ialah mencapai keberhasilan pemberdayaan seperti sekarang ini.
Begitulah Sanggar Lumbung Kawruh, proses panjang dengan penuh perjuangan disertai tujuh pondasi utama menjadi semangat baru untuk bersama-sama bangun, berkreativitas, dan belajar bersama. Dari cerita Mas Ribut aku belajar bahwa untuk memulai sebuah gerakan pemberdayaan tidaklah mudah. Tapi, dimana ada niat dan tekad, disitulah akan ada jalan untuk mencapainya. Sanggar Lumbung Kawruh sendiri juga menyimpan banyak pelajaran yang bisa kita teladani. Slogan ‘sinau sareng-sareng’ dan ‘ngangsu kawruh’ melahirkan semangat untuk terus belajar hal-hal baru, dengan teman-teman baru, serta membangun kreativitas baru.