Sejarah(rebowagen.com)–Semilir angin, kicauan burung, dan guyup rukun warga dengan menjunjung prinsip ‘manunggaling kawula Gusti‘ menandakan keadaan tempat yang gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem karta raharja di Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari, Kabupaten Gunungkidul. Masyarakat di sini memiliki semangat luar biasa untuk mencapai kehidupan yang ‘bagya mulya‘ (sejahtera). Meskipun demikian, Kalurahan Kepek juga tidak luput dari hal-hal yang dianggap sebagai tantangan dalam proses perkembangannya. Sejarah mencatat ada empat padukuhan yang berganti nama. Hal ini terkait beberapa kejadian buruk yang menimpa. Maka dari itu, penting bagi kita, generasi muda untuk mengetahui dan belajar dari jejak sejarah. Mengingat bahwa sejarah atau pengalaman di masa lalu merupakan guru terbaik.
“Saat saya masih kecil, banyak tragedi di Kalurahan Kepek khususnya Padukuhan Sumbermulyo tempat saya tinggal. Orang Jawa menyebut dengan istilah ‘cupet nalare’, karena banyak terjadi kasus bunuh diri. Baik itu gantung diri maupun masuk ke dalam sumur“,
cerita Mbah Yono Prawiro seorang sesepuh di Padukuhan Sumbermulyo.
Hari itu matahari bersinar terik, namun karena rindangnya pohon dan angin sepoi-sepoi suasana pekarangan Mbah Yono terasa sejuk. Rumahnya terlihat biasa dari depan namun begitu masuk ke dalam, ternyata masih kental dengan gaya Jawa tradisional. Tujuanku kesini adalah untuk mencari tahu sejarah dan cerita pergantian nama Padukuhan Karangkuang menjadi Sumbermulyo.
Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai sejarah pergantian nama padukuhan, alangkah baiknya jika kita mengetahui sekilas tentang Kalurahan Kepek. Secara geografis, kalurahan yang terdiri dari 10 padukuhan ini terletak di tengah Kapanewon Wonosari. Berdasarkan buku Kepek Gumbregah yang ditulis oleh Tri Atmaji – Sulasto, sejak tahun 1995, Kalurahan Kepek ditetapkan sebagai Desa Budaya oleh Gubernur DIY. Hal ini berdasarkan pada Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 325/KPTS/1995.
Kalurahan Kepek unggul dalam hal ‘nguri-uri kabudayan‘, adat, dan tradisi, di antaranya: Rasulan, Muludan, Boyong, Suran, Nyadran, Gumbreg, Tingkeban, Selapanan, Tedhak Siten, Mantu, Selamatan orang meninggal 7 hari, 40 hari, 100 hari, Mendhak Pisan, Mendhak Pindo, serta 1000 hari.
Di samping itu, Kalurahan ini juga memiliki kesenian yang masih terjaga hingga kini. Kesenian itu seperti seni Jaranan, Toklik, Bergada Pagersari, Bergada Keprajuritan, Bergada Lombok Ijo, Gejog Lesung, Reyog, Hadroh, Tari, Keroncong, Cing-Cing Goling, Campursari, serta Wayang Kulit. Kalurahan Kepek memiliki kesenian unggulan yaitu Kethoprak. Grup Kethoprak Marsudi Budaya dan Grup Karawitan Sedyo Laras pernah memenangi juara 1 pada festival kethoprak antar kabupaten yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain itu, Kalurahan Kepek juga memiliki situs sejarah yang masih dijaga sampai sekarang yaitu Petilasan Kyai Legi di Padukuhan Ledoksari. Tidak ada yang mengetahui persis dan mengenal siapa sosok Kyai Legi. Menurut para sesepuh, dulu Kyai Legi diyakini sebagai salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta. Berdasarkan cerita yang beredar, dulu beliau hendak mengambil Raja Keputren atau pakaian untuk pengantin di Gunungkidul. Namun, ditengah jalan beliau dibegal sampai akhirnya wafat. Peristiwa itu terjadi di sebuah wilayah yang disebut Thok Ding, sekarang disebut Padukuhan Ledoksari. Jasadnya kemudian disucikan dan dikuburkan oleh masyarakat sekitar tempat tersebut. Kejadian itu terjadi pada hari pasaran legi, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Kyai Legi.
Jika membicarakan sejarah desa, banyak sekali versi yang beredar di masyarakat. Salah satunya menceritakan bahwa zaman dulu salah satu wali, yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga melakukan perjalanan sampai ke tanah Jawa bagian tengah untuk menyebarkan agama Islam. Di tengah perjalanan, beliau merasa lelah dan beristirahat di suatu tempat yang banyak pepohonan. Pohon-pohon tersebut terlihat masih muda atau disebut ‘Kepek‘, sehingga beliau menyebut pohon itu ‘wit kepek‘. Untuk mengingat kejadian tersebut, Kanjeng Sunan Kalijaga mengutus muridnya untuk babad alas di tempat itu dan diberi nama ‘Kepek’. Namun demikian, saat ini pohon kepek jarang kita temui. Di Kalurahan Kepek pun hanya tersisa satu pohon, karena desa yang dulunya hutan dengan banyak pohon kepek sekarang telah menjadi kota.
Pohon Kepek termasuk jenis tanaman keras. Pohonnya besar dan bisa hidup dalam jangka waktu lama. Pohon kepek bergetah dan bisa tumbuh sulur atau akar di ranting-rantingnya. Kemudian, buahnya bulat-bulat kecil menempel di ranting-ranting pohon. Daunnya agak kasar dan panjang kira-kira 12 cm. Pada zaman dahulu, daun yang masih muda dimanfaatkan sebagai sayuran oleh masyarakat. Sedangkan yang tua dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Setelah sedikit mengenal Kalurahan Kepek, kurasa bukan hal asing lagi jika kubagikan cerita dari perjalanan mencari jejak sejarah pergantian nama di beberapa padukuhan di wilayahnya.
Pertama, Padukuhan Gupakan menjadi Trimulyo
Padukuhan ini diyakini sebagai tempat ‘angker’ karena terdapat Gupak Warak, Sumur Kawak, dan Pasar Kawak. Gupak Warak dulunya adalah tempat untuk berendam hewan warak, yaitu hewan yang bentuknya seperti badak tetapi termasuk ‘kewan kajiman‘ (jin). Kemudian, Sumur Kawak merupakan sumur yang dibuat oleh para wali. Sedangkan Pasar Kawak dulu disebut ‘Becekan‘ sebagai cikal bakal Pasar Seneng yang sekarang berubah nama menjadi Pasar Argosari Wonosari. Karena padukuhan ini angker, tidak semua orang mau tinggal. Saat pemerintahan Ki Lurah Mangun Winoto, Padukuhan Gupakan berganti nama menjadi Trimulyo. Karena wilayahnya luas, maka dibagi menjadi Trimulyo I di utara dan Trimulyo II di selatan.
Kedua, Padukuhan Cangkring menjadi Bansari
Disebut Padukuhan Cangkring karena pada waktu itu banyak pohon cangkring (Erythrina fusca) tumbuh subur di tempat ini. Khasiat pohon cangkring ialah untuk mengobati penyakit cangkrang. Pohon ini tumbuh besar dan daunnya rimbun. Maka tak heran jika pohon ini bisa mengayomi kehidupan masyarakat sekitarnya. Akan tetapi, pohon ini memiliki banyak duri tajam yang sewaktu-waktu bisa melukai warga. Para sesepuh khawatir jika padukuhan ini akan mendapati suatu bahaya dan cobaan. Maka dari itu, nama Padukuhan Cangkring diganti menjadi Padukuhan Bansari.
Ketiga, Padukuhan Ngalasombo menjadi Tegalmulyo
Menurut cerita para sesepuh, padukuhan tertua di Kalurahan Kepek adalah Ngalasombo. Dulu tata pemerintahan desa berada di padukuhan ini. Seiring berkembangan zaman, jumlah penduduk semakin meningkat dan hal ini menjadi cikal bakal pergantian nama padukuhan. Pada tahun 1995 para sesepuh bermusyawarah untuk mengganti nama Ngalasombo menjadi Tegalmulyo. Karena di Ngalasombo banyak alas atau tegalan maka diharapkan bisa menjadi tempat tinggal warga yang mulya (sejahtera).
Terakhir, Padukuhan Karangkuang menjadi Sumbermulyo
Cerita perubahan nama di padukuhan ini lebih menyita perhatianku. Aku bersemangat mencari tahu lebih detail dengan menggali jejak-jejak masa lalu. Tekad ini mempertemukanku dengan dua sesepuh di Padukuhan Sumbermulyo. Mbah Yono Prawiro, membagikan cerita pengalamannya saat Sumbermulyo masih bernama Karangkuang. Dan Mbah Ngadino, seorang tokoh yang terlibat dalam kepanitiaan perubahan nama padukuhan.
Dinamakan Karangkuang karena dulu banyak tumbuh pohon kuang di tempat ini. Sayangnya, sekarang pohon ini sudah tidak ditemukan. Perubahan nama Karangkuang menjadi Sumbermulyo meninggalkan jejak sejarah yang menarik. Nama ‘Sumbermulyo‘ dipilih karena memiliki makna simbolis yang bisa dilihat dari aspek budaya, ekonomi, maupun sosial.
“Karangkuang itu satu-satunya dusun yang posisinya ‘mangku sendhang nyunggi leluhur’. Karena di depan dusun terdapat Belik Pancuran yang airnya dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan masyarakat. Kemudian di sebelah utara terdapat makam para leluhur. Artinya, warga setempat menempatkan para leluhur di atas, dan kami sangat menghormatinya“,
Mbah Yono memulai ceritanya.
Padukuhan ini memang memiliki sumber mata air yang tidak pernah mengering, Belik Pancuran. Dari dulu sampai sekarang airnya dimanfaatkan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun kini sudah ada air dari PDAM, tak jarang warga masih menggunakan air dari belik ini untuk mandi dan mencuci.
Belik Pancuran memiliki peranan penting sehingga masih dilestarikan hingga kini. Besik Sumber/Belik Pancuran menjadi agenda rutin warga masyarakat Sumbermulyo. Terakhir dilaksanakan besik sumber ini pada 2022 silam, dan dihadiri Heri Susanto, Wakil Bupati Gunungkidul. Untuk mengingat dan mengenang asal mula nama padukuhan yang berkaitan erat dengan keberadaan pohon kuang, maka di acara tersebut beliau menanam pohon kuang di dekat Belik Pancuran.
Mendengar cerita Mbah Yono yang dimulai dari Belik Pancuran, menambah rasa keingintahuanku karena keberadaan sumber air itu menjadikan masyarakat hidup ‘mulya‘. Lantas, mengapa nama padukuhan berubah?
“Pada tahun 1963, Gunungkidul dilanda bencana krisis pangan karena adanya serangan tikus. Pertanian di Gunungkidul yang masih memanfaatkan air hujan hasil panennya belum maksimal. Apalagi ditambah dengan serangan tikus. Susah pangan menjadi krisis regional Gunungkidul saat itu. Tahun 1963 ini merupakan puncaknya krisis pangan. Semua orang makan seadanya seperti kathul. Bisa makan thiwul itu sudah sangat bersyukur. Belum lagi ditambah kondisi kacaunya karena peristiwa G30s/PKI pada tahun 1965”, lanjut Mbah Yono.
Melansir artikel Kabar Handayani, pada tahun 60-an Gunungkidul mengalami masa sulit pangan yang dikenal sebagai ‘Jaman Gaber‘. Gaber adalah ampas tepung tapioka atau bungkil ketela pohon yang dikeringkan. Sekarang gaber dipakai untuk campuran makanan ternak. Gaber menjadi bahan pangan pokok saat terjadi krisis pangan di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 1963. Kondisi ini menjadi faktor utama pendorong perubahan kehidupan sosial masyarakat. Banyak kasus bunuh diri dengan cara gantung diri atau masuk ke dalam sumur. kekacauan ini menjadi awal mula timbulnya pemikiran-pemikiran oleh tokoh-tokoh dusun untuk melakukan ‘ruwatan‘.
“Karena banyak yang bunuh diri, para tokoh dusun berkumpul dan berdiskusi untuk memikirkan apa yang harus dilakukan. Para tokoh dusun ini akhirnya bersepakat untuk melakukan ruwatan dan mengganti nama padukuhan dari Karangkuang menjadi Sumbermulyo. Proses ini memakan waktu yang cukup lama. Para tokoh yang ikut berdiskusi pun menjadi panitia dalam rangkaian proses ini”,
ujar Mbah Yono.
Mendengar penjelasan Mbah Yono, akhirnya aku diberi saran untuk berkunjung ke rumah Mbah Ngadino, satu-satunya tokoh dalam kepanitiaan yang masih hidup. Mbah Ngadino berperan sebagai sekretaris pada susunan panitia itu. Meskipun disapa “mbah”, ternyata beliau belum terlalu tua. Rambutnya memang sudah berubah warna menjadi putih, namun beliau masih memiliki banyak tenaga untuk berjalan tegak dan mengurus ini-itu. Karena saat ini beliau berperan sebagai kaum atau tokoh yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk mengurus hal-hal keagamaan di Padukuhan Sumbermulyo. Penampilan beliau dengan kaos berkerah dan berkacamata memperlihatkan citra beliau yang masih berwibawa.
Beliau memulai ceritanya dengan menyebutkan sepuluh tokoh yang terlibat dalam proses diskusi itu, yaitu:
- Bapak Prawirodiarjo sebagai ketua,
- Bapak Ngadino sebagai sekretaris
- Bapak Cipto Widarso sebagai bendahara
- Bapak Mulyodiarjo
- Bapak Sumodiarjo
- Bapak Darmorejo
- Bapak Marto Sentono
- Bapak Karyadi
- Nyai Jadhi Sumarto
- Nyai Siti Sudarmi
Proses diskusi berjalan selama kurang lebih setengah tahun. Diskusi ini menemukan titik temu terkait faktor penyebab banyaknya kasus bunuh diri. Pemahaman agama dan tingkat keimanan warga masih rendah. Sehingga kalau ada masalah kesulitan ekonomi atau yang lainnya, mereka merasa lebih baik mati daripada hidup. Meskipun saat itu mayoritas warga telah beragama Islam, masih sedikit orang yang menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Islam baru sebatas pengakuan, belum ada aksi dari para pemeluknya, begitu menurut cerita Mbah Ngadino.
Setelah melewati proses panjang untuk berdiskusi, terdapat beberapa usulan nama padukuhan yaitu Sumberrejo, Sumbermulyo, dan Pancursari. semua bersepakat bahwa pemberian nama ini berdasar pada keberadaan belik atau sumber mata air pancuran yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.
“Di tahun 1965, sekitar 4-5 orang bunuh diri. Karena pemikiran orang ingin keluar dari kondisi krisis ini dengan berbagai macam, salah satunya adalah bunuh diri. Harapannya, pergantian nama Karangkuang menjadi Sumbermulyo bisa memberi pengaruh psikis. Warga masyarakat menjadi bertambah semangat untuk bekerja dan berusaha. Makna meruwat itu sebenarnya sebagai media untuk keluar dari permasalahan dan memulai lembaran baru. Penggantian nama padukuhan sebagai suatu ikhtiar untuk membangun keyakinan warga bahwa kita harus bangkit dan tidak boleh putus asa”, jelas Mbah Ngadino panjang lebar
Menurut Mbah Ngadino, pergantian nama padukuhan merupakan salah satu cara untuk mengubah psikis dan keyakinan orang-orang. Bergantinya nama padukuhan juga menjadi suatu jalan ikhtiar untuk memulai kehidupan baru yang penuh semangat dan kerja keras untuk berusaha. Karena bisa dikatakan dari “Karangkuang” yang tidak bermakna menjadi.
“Sumbermulyo, dari namanya aja terdengar seperti suatu doa dan penuh harapan untuk mencapai kehidupan ‘bagya mulya’ (sejahtera). Selain itu, harapannya adalah dapat mengikis pemikiran pesimis dan memberi sugesti baik pada masyarakat,” terang Mbah Ngadino lagi.
Akhirnya, ruwatan perubahan nama Padukuhan Karangkuang menjadi Padukuhan Sumbermulyo dilaksanakan pada tanggal 14 Juni 1977 oleh Ki Dalang Cermodisono. Dilanjutkan malam hari terdapat pertunjukan Wayang Purwa oleh Ki Hadi Sugito di rumah Bapak Ciptowidarso. Untuk memperingati pergantian nama padukuhan ini, setiap sewindu sekali dilaksanakan event ulang tahun dusun. Biasanya diadakan sebuah festival, pameran, dan pertunjukan-pertunjukan seni.
Rupanya, benar jika penggantian nama padukuhan melahirkan semangat baru bagi para warga Sumbermulyo. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai inovasi untuk membuka usaha. Di Sumbermulyo sendiri sebenarnya sudah ada pabrik tahu yang berdiri sejak tahun 50-an. Tetapi, baru-baru setelah pergantian nama padukuhan jumlah pabrik tahu semakin banyak. Hampir sebagian besar rumah memproduksi tahu.
Keberadaan pabrik tahu ini juga menjadi cikal bakal Padukuhan Sumbermulyo menjadi sentra peternakan sapi yang dirintis oleh Pak Karyono dan Pak Karyadi. Karena ampas tahu sangat bagus digunakan sebagai makanan tambahan ternak. Belajar dari pengalaman, orang-orang yang memelihara sapi ketika diberi makanan tambahan dari ampas tahu itu menjadi sapi yang besar, gemuk, sehat, dan kuat. Maka dari itu, banyak orang semakin tertarik untuk memelihara sapi. Hampir tiap rumah memiliki sapi. Bahkan ada warga Sumbermulyo yang memiliki lebih dari 40 ekor sapi.
Pada suatu saat, pemerintah mengadakan lomba peternakan. Padukuhan Sumbermulyo menjadi salah satu pesertanya dan berhasil merebut juara satu. Sejak momen itu, oleh seorang seniman warga Kepek bernama Agung, dibangun sebuah patung sapi sebagai ikon di Padukuhan Sumbermulyo. Patung sapi berdiri dan sosok orang yang sedang merawatnya, sempat menjadi ikon wilayah. Patung sapi berdiri gagah memberikan makna simbolis yang luar biasa untuk menggambarkan kemulyaan kehidupan masyarakat, sekaligus harapan agar terus ‘bagya mulya‘. Belum lama ini, oleh pemerintah, patung diganti dengan patung sapi ‘ngebrok‘ (posisi mendekam), sedang patung sapi lama tetap dilestarikan dipindah ke samping Balai Padukuhan Sumbermulyo.
Begitulah beberapa cerita napak tilas padukuhan di Kalurahan Kepek, Wonosari. Semuanya menyimpan cerita khas sendiri-sendiri yang masih dikenang oleh warga setempat. Karena bagaimanapun juga nama yang lama tetap memberikan jejak kenangan sejarah. Baik itu kenangan baik maupun kenangan buruk.
Meskipun demikian, satu hal yang penting untuk kita pelajari adalah “nama sebagai doa, nama sebagai ikhtiar, dan nama sebagai pembangkit semangat“. Selanjutnya, sebagai manusia juga sudah seharusnya mengimplementasikan semua cita-cita tersebut, tanpa melupakan jejak sejarah. Seperti kata petuah bahwa jejak masa lalu atau sejarah menjadi pelajaran berharga, untuk membangun masa depan yang lebih baik.