“Wektu niku kula tembe duduh matun wonten ing tegalan cerak tlaga, wayah nanggung watawis jam sanga enjang. Kula mireng suara kemrosak saking punthuk kilen tlaga, lajeng kula ngertos wonten ula gede cacahe kalih, wernine ijo, ngagem kuluk wernine abang, iring-iringan awake sepalih ngadek, ndlosor mandhap lan ilang wonten ing tengah-tengah tlaga, kula lajeng mantuk gek kula gambar”
(Waktu itu saya sedang menyiangi rumput di tegalan dekat telaga, waktunya nanggung sekitar jam 9 pagi. Tiba-tiba saya mendengar suara berisik dari arah bukit sebelah barat telaga, saya kemudian melihat ada dua ekor ular besar berwarna hijau memakai mahkota merah, merayap beriringan dengan badan setengah berdiri turun dan hilang di tengah- tengah telaga. Saya kemudian pulang dan kejadian itu saya gambar)
CeritaMistis (rebowagen.com) — Sore mendung, hujan rintik yang tak jelas musimnya menemaniku menelisik sebuah cerita tentang jejak legenda Sang Hyang Antaboga. Tokoh dalam dunia pewayangan ini sering mewujud menjadi ular Naga, diyakini oleh masyarakat Jawa kuno sebagai penjaga Dunia Bawah atau Bumi dan penyangga pulau Jawa. Konon cerita, Sang Hyang Antaboga yang juga dipercaya sebagai dewa ini sempat menampakkan diri di wilayah Pegunungan Seribu bagian selatan Gunungkidul, pada sebuah ceruk pegunungan kapur bernama telaga Saga.
Di sebuah gubuk sederhana, kisah penampakan sepasang ular Naga ini dituturkan oleh seorang tua bernama Mbah Marno. Dalam sepi dan ‘singup‘ suasana telaga Saga, asap tembakau menari bersama angin yang membawa butiran-butiran halus tampias air hujan saat kami duduk di ‘babrakan‘ gubuk. Lelaki itu usianya telah menginjak lebih dari kepala tujuh. Sederhana, apa-adanya, bercelana dan berbaju komprang hitam dengan topi lusuh yang telah hilang tulisannya.
Sejak siang, Matahari bersembunyi di balik awan. Hujan terus turun dengan ritme yang tetap, tidak deras namun juga tidak reda.
“Mendung putih niki, udane awet(mendung putih ini, hujannya awet),” ucap Mbah Marno sambil menyulut tembakaunya kembali.
Puluhan tahun Mbah Marno mengabdikan diri sebagai juru kunci sekaligus menggarap lahan pertanian yang tak seberapa luas di sekitaran telaga. Ia juga diserahi tugas oleh Karang Taruna untuk menjaga ikan yang sengaja ditabur untuk event pemancingan sebelum air telaga Saga mengering di musim kemarau. Gubuk ini memang rumah kedua bagi mbah Marno, di malam hari sering ia tidur di gubuk meski rumahnya memang tidak jauh dari telaga, hanya berjarak sekitar 500 meter ke arah selatan.
Mbah Marno adalah saksi hidup sejarah telaga Saga. Sejak ia lahir, keberadaan telaga Saga adalah rutinitas bagi hidupnya sehari-hari. Telaga yang terletak di Kalurahan Kemiri, Kapanewon Tanjungsari, Gunungkidul ini memang sebuah telaga yang sangat tua. Sebelum dibangun oleh pemerintah pada sekitar tahun 2000, telaga ini sangat luas dan alami. Pinggir telaga berupa batuan yang terbentuk dari kaki bukit-bukit yang mengelilinginya. Puluhan pohon Resan berbagai jenis tumbuh dan meraksasa, melindungi dan menaungi telaga, sehingga airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.
Telaga digunakan oleh masyarakat dari banyak desa, sakral dan mistisme telaga Saga masih sangat dihormati oleh masyarakat, sehingga keberadaannya terus terjaga.
Sampai pada suatu ketika, orang-orang pintar yang datang dari jauh membawa sebuah program berjudul ‘revitalisasi telaga‘. Dasar telaga dikeruk, tanahnya diuruk ke samping sehingga telaga tak lagi lebar namun menjadi lebih dalam. Dinding telaga di permanen dengan betonisasi, banyak pohon-pohon yang sengaja dirubuhkan karena takut akarnya akan merusak bangunan semen. Ada ratusan telaga yang bernasib seperti ini di Gunungkidul, salah satunya adalah telaga Saga, dan pasca pembangunan, semua telaga menjadi mengering di musim kemarau.
Telaga yang dikeruk menjadi lebih dalam dengan dinding permanen, ternyata tak mampu menampung air. Ironis memang, maksud baik program Revitalisasi ternyata justru merusak sistem alami telaga sehingga jika hujan tidak turun satu atau dua bulan saja, air telaga akan cepat menyusut dan mengering.
Saat telaga Saga dibangun, Mbah Marno sebagai rakyat jelata hanya bisa manut dan pasrah. Suatu program pembangunan tentu membuat semuanya akan menjadi lebih baik, begitu pikiran sederhana dari Mbah Marno dan seluruh warga desa Kemiri. Ketika itu, Mbah Marno ditunjuk sebagai jaga malam. Dalam proses pembangunannya, banyak kejadian mistis di luar nalar ketika proses pembangunan sedang berlangsung.
Kejadian yang masih sering diceritakan warga adalah ketika salah satu ‘bego‘ (backhoe – alat berat) yang digunakan untuk mengeruk telaga ambles dan hampir ditelan oleh lumpur dasar telaga. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan alat berat yang hampir tenggelam itu. Salah satu Backhoe menggunakan rantai besi untuk menariknya namun putus. Backhoe semakin dalam tenggelam dan tinggal menyisakan belalainya. Waktu itu akhirnya Mbah Marno turun tangan, dengan sebatang ranting pohon Srikoyo, Mbah Marno menyabet Backhoe itu dan kemudian Backhoe dapat keluar dari kubangan setelah ditarik lagi.
Cerita itu saya dengar bukan dari Mbah Marno, melainkan dari seorang warga yang kebetulan saya jumpai di dekat telaga. Banyak kejadian mistis yang akhirnya harus diselesaikan oleh Mbah Marno terkait telaga Saga dan segala kesakralan yang menyertainya.
“Pas niku ki kula rasane mboten wedi, namung kamitenggengen, mboten saget ngucap napa-napa, ulane ageng sanget, wernine ijo ngagem kuluk abang”
(waktu itu, saya tidak merasa takut, tapi hanya tertegun dan tidak bisa berkata apa-apa, ularnya besar sekali, warnanya hijau dan memakai mahkota merah)
ujarnya mengenang, masih sambil tertegun seakan kejadian itu baru kemarin ia alami.
Peristiwa itu terjadi sekitar 19 tahun yang lalu. Mbah Marno mengaku lupa tahun tepatnya. Yang dia sebut adalah kisaran waktu 3 tahun setelah telaga selesai dibangun. Namun yang pasti menurutnya setelah kejadian itu, air telaga Saga menyusut dengan drastis dan mengering setiap tahun ketika musim kemarau tiba.
“Ulane setengah ngadek mas, sirahe ndongok, iring-iringan” (ularnya merayap setengah berdiri, kepalanya ke atas, beriringan), mengatakan hal itu, Mbah Marno mempraktekan posisi ular merayap setengah berdiri dengan tangannya.
“Grumbul punthuk kilen sing di liwati ula niku nggih lusah-lusah, tatune kaya tilas bar di liwati ban mobil” (semak belukar di bukit sebelah barat yang dilewati ular itu juga tersibak, bekasnya seperti baru saja dilewati roda kendaraan),
Cerita tentang hantu, mistis dan kejadian aneh tentu sudah sangat sering kita dengar, namun dengan keluguan dan sikap apa adanya dari Mbah Marno, apa yang diceritakan dan dialaminya menurutku bukan suatu hal yang mengada-ada.
“Lha kulo ki mboten nate sekolah, mboten saget maca nulis, le kula gambar ula gede niku ngangge spidol putu kula” (saya itu tidak pernah sekolah, tidak bisa membaca dan menulis, saya menggambar dua ular besar itu memakai spidol cucu saya),
Dua buah lukisan yang dibuat oleh Mbah Marno itu berukuran 50×80 cm, dari spidol dan pastel crayon dengan media potongan kertas kardus. Karya itu adalah satu-satunya gambar yang ia buat selama hidupnya. Oleh seorang teman, lukisan karya Mbah Marno diikutkan dalam event pameran bertajuk “Morat Marit” di Sinambi Farm beberapa waktu lalu.
“Karya Mbah Marno sangat original, lahir dari sebuah pengalaman empiris yang secara psikologis sangat membekas di ingatan dan pikiran, hal itulah yang mendorong ia mampu menceritakannya lewat gambar, meski dia buta huruf,” ujar Guntur Susilo, seniman ABDW Project yang menyelenggarakan pameran.
Memang, menyimak cerita mbah Marno orang akan mudah menganggap bahwa hal itu hanya sekedar bualan atau sekedar imajinasi. Jika tak bertatap muka langsung, mungkin saya juga tidak akan percaya. Ular besar yang bermahkota atau ular Naga adalah hewan mitos yang tidak pernah bisa dibuktikan keberadaanya. Namun sekali lagi, kepolosan dan raut muka apa adanya dari lelaki tua ini membuat saya bisa menangkap suatu kesungguhan, bahwa apa yang sedang dia ceritakan memang benar-benar pernah ia alami.
Kepercayaan manusia terhadap mitos tentang Naga sejak dulu memang telah ada dan menjadi cerita turun temurun diberbagai belahan dunia. Visualisasi bentuk Naga beragam, tapi pada dasarnya Naga digambarkan berwujud ular besar dengan empat kaki, mempunyai kemampuan terbang dan dapat menyemburkan api dari mulutnya. Di dunia sains modern, deskripsi dari Naga ini mendekati bentuk fisik dari reptil Komodo, salah satu hewan endemik dari Indonesia.
Artikel dari jurnal ‘live science‘, yang dikutip oleh IDNTimes menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Naga ini bisa begitu kuat karena terus diceritakan dari generasi ke generasi. Bahkan di Tiongkok, konsep tentang Naga ini sudah ada sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Gambaran Naga juga sudah ada dalam teologi sebuah kepercayaan dan dikisahkan pada abad pertengahan di Eropa.
Artikel ‘theAsianparent‘ menulis bahwa dalam cerita Mahabharata sebelum jaman Hindu, masyarakat Jawa kuno telah mempercayai bahwa ular atau Naga selalu dihubungkan dengan air dan pertanian sebagai suatu simbol kemakmuran.
Kebudayaan Jawa kuno juga mengartikan bahwa Naga adalah simbol dari kesuburan atau keberkahan. Bukti-bukti ini dapat dilihat dari konsep-konsep artefak berbentuk Naga yang banyak ditemukan di relief ataupun pahatan candi candi Hindu maupun Budha peninggalan kerajaan-kerajaan di Jawa. Selain dianggap sebagai simbol kesuburan, Naga juga dipercaya sebagai simbol dari pelindung atau pengayom dari suatu tempat.
Terlepas dari sistem alami telaga yang telah berubah, apa yang telah disaksikan oleh Mbah Marno 19 tahun yang lalu, tentu ada benang merahnya. Mengeringnya telaga Saga dan ratusan telaga yang lain sangat mungkin dikarenakan ‘penunggu‘ atau ‘simbol‘ yang mengayomi dan melindungi air telah pergi.
Pada sisi ilmu logika, jelas bahwa dengan pembangunan modern yang sering tidak mempertimbangkan kearifan lokal, sangat berpotensi merubah iklim mikro dan makro suatu tempat, termasuk struktur dan sistem alami yang ratusan tahun terbentuk dengan pola hubungan antar elemen yang telah mapan dan dinamis.
“Tlaga Saga niku sae dek jaman riyen, toyane mboten nate asat”
(telaga Saga ini bagus ketika jaman dulu, airnya tidak pernah kering)
gumam Mbah Marno yang entah ditujukan untuk siapa.