Pertanian(rebowagen.com)– Belakangan ini isu krisis pangan dan ketahanan pangan sedang menjadi bahasan global. Banyak faktor yang menjadi penyebab akan ancaman krisis pangan misalnya, perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi sehingga sering memicu gagal panen, harga pupuk dan benih yang mahal, serta rantai distribusi bahan pangan yang panjang sehingga menyebabkan harga pangan melambung tinggi. Faktor lain yang tak bisa dianggap sepele adalah lambatnya regenerasi petani. Profesi petani yang dianggap kurang gengsi secara status dan tidak menjanjikan untuk masa depan mengakibatkan menurunnya minat bertani anak-anak muda.
Yang terjadi kemudian, dunia pertanian identik ditekuni oleh orang-orang tua yang sudah terbatas tenaga, inovasi serta soal penyerapan tekhnologi pertanian. Proses regenerasi petani akhirnya menjadi sangat lambat dan stagnan. Ironis memang, profesi yang sangat vital untuk kelanjutan kehidupan umat manusia justru saat ini malah kurang diminati dan ditinggalkan.
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di laman webnya, pengaruh modernisasi menyebabkan anak muda desa lebih memilih untuk berimigrasi ke kota daripada tetap tinggal di desa. Sebagai generasi penerus mereka tidak mewarisi keterampilan dan profesi petani dari orang tua mereka. Gemerlap dan gaya hidup modern perkotaan menjadi magnet bagi anak-anak muda desa untuk menggapai impian masa depannya. Meski, kadang hal itu ternyata menjadi suatu hal yang semu dan absurd.
Fakta ini kutemui juga di dusun asalku, Padukuhan Pringombo, Kalurahan Natah, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul. Sejak dulu, orang Gunungkidul memang dikenal sebagai gudangnya para perantau. Tujuannya tak hanya ibu kota, hampir di setiap daerah di Indonesia, pasti ada perantau yang berasal dari Gunungkidul. Sebagai anak muda saya juga merasakan hal itu, bagaimana teman-teman sebaya saya justru banyak yang memilih untuk pergi merantau ke kota daripada tetap di desa dan bertani.
Bekerja di kota memang dianggap lebih enak, sedangkan bertani itu susah. Setiap hari harus menghadapi teriknya matahari dan berjibaku dengan tanah yang kotor. Pertanian dianggap sebagai pekerjaan tidak menarik, tidak instagramable, dianggap rumit dan profesi ‘pepetan‘ yang tidak mempunyai status sosial yang keren.
Stigma tidak menarik untuk profesi petani memang sangat dipengaruhi oleh budaya zaman modern. Salah satunya adalah kemajuan tekhnologi yang membuat apa-apa jadi serba instant dan mudah. Sementara, setelah saya sedikit mempelajari soal pertanian memang proses adalah suatu hal yang sangat penting. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan, mulai dari pra budidaya, aksi budidaya, hingga pasca budidaya.
Benih, pupuk, dan lahan garapan, perlu dipersiapkan sebelum memulai budidaya. Sedangkan dalam tahap aksi budidaya mulai dari penyemaian, penanaman, pemupukan, dan pengendalian hama harus betul-betul diperhatikan. Terakhir adalah tahap pasca panen, penjualan hasil panen, atau pengolahan sebelum dipasarkan.
Secara garis besar memang hanya ada tiga tahap, namun dalam pelaksanaannya perlu kegigihan, kesabaran dan ketelatenan. Proses ini tidak bisa didapat secara instant, hal ini terkait waktu produksi, mulai tebar benih sampai panen, petani harus menunggu dan merawat tanamannya sampai bisa menikmati hasil panen. Hal itu yang sepertinya menjadi persoalan sehingga bertani kurang diminati oleh generasi muda yang maunya apa-apa serba cepat.
Belajar bertani ala Pemuda Pringombo
Pandemi Covid-19 banyak berdampak kepada pekerjaan anak-anak muda perantau dari tempat tinggal saya. Ada yang putus hubungan kerja, banyak pula yang memutuskan untuk pulang ke desa karena sudah bosan dengan kehidupan di kota. Kesulitan ekonomi dan keadaan kota yang tidak sesuai yang diharapkan juga menjadi penyebab para perantau kembali pulang ke kampung halaman. Alhasil mereka mencari pekerjaan baru yang tak jauh dari desa, dan beberapa bekerja membantu orang tua di rumah. Kondisi ini membuat banyak pemuda yang saat ini tinggal di Padukuhan Pringombo. Kami sering berkumpul untuk sekadar wedangan, dan jagongan untuk berbagi keresahan.
Salah satu topik obrolan yang sering kami bicarakan adalah pertanian. Letak padukuhan kami yang berada di pegunungan menjadikan potensi terbesar Pringombo adalah dari sektor pertanian. Masyarakat Pringombo sebagian besar juga berprofesi sebagai petani. Lahan garapan mereka pun rata-rata tergolong sangat luas, sedangkan kami anak muda penerus orang-orang tua kami rasanya belum betul-betul siap untuk bertani sepenuhnya.
Berkat kesamaan keresahan dan dorongan beberapa kawan akhirnya kami sepakat mencoba untuk membuat lahan pertanian sayur. Bukan tanpa sebab kami memilih sayur sebagai komoditasnya, salah satu pertimbangannya adalah sayur tergolong tanaman yang mudah ditanam. Mulai dari persiapan benih, penanaman, dan perawatan sayur tidak begitu rumit. Masa tunggu hingga panennya juga lebih cepat dibandingkan dengan padi atau jagung.
Akhirnya, kami sepakat untuk melakukan apa yang menjadi angan-angan kami. Ada dua tempat yang kami gunakan sebagai lahan untuk belajar bertani ini. Masing-masing kurang lebih sebesar lapangan bola voli luasnya. Bisa dibilang lahan ini kami jadikan sebagai laboratorium, tempat untuk belajar dan mencoba hal-hal baru. Tidak ada struktur keanggotaan layaknya kelompok tani, kami bersepakat siapapun bisa belajar bersama disini. Semua pekerjaan dari mulai persiapan lahan kami kerjakan bersama, dengan harapan proses belajar bertani ini akan lebih mudah dan menyenangkan.
Salah satu komponen penting dalam pertanian yang wajib ada dan awal kami siapkan adalah pupuk. Fungsinya sangat penting, yakni untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman dalam masa pertumbuhannya. Banyak sekali jenis pupuk pabrikan yang beredar di toko-toko pertanian. Namun bagi kami yang masih dalam tahap belajar ini rasanya, akan terlalu memakan biaya tinggi jika harus membeli pupuk.
Lewat jaringan pertemanan, akhirnya untuk soal pupuk dapat solusi. Kami dibantu oleh Pak Budi Wibowo, seorang praktisi pertanian organik dari Kapanewon Semin. Ia mengajari kami cara membuat pupuk organik dengan bahan dasar lethong/tlethong (kotoran sapi), dengan pertimbangan bahan baku mudah didapatkan. Beruntung, untuk soal ketersediaan ‘lethong‘, hampir setiap petani Pringombo juga berternak hewan, sehingga lethong dapat dengan mudah kami dapatkan. Lethong sapi dicampur dengan merang, lalu diberi campuran EM4 dan molase sebagai starter proses fermentasi. Selanjutnya bakal pupuk organik itu diaduk dan ditutup selama 4 malam hingga siap digunakan.
Sistem penanaman sayur yang saya dan kawan-kawan Pringombo lakukan adalah secara polikultur atau tumpang sari. Memanfaatkan lahan yang kecil namun dengan jenis tanaman beragam adalah alasan sistem tanam ini kami pilih. Selain hasilnya yang beragam, sistem tanam tumpang sari juga memudahkan kami belajar berbagai karakter sayuran dalam waktu yang bersamaan.
Belajar bertani dimulai dengan bertani sayuran memang sangat cocok untuk anak muda pemula seperti kami ini. Tahapannya tidak begitu rumit layaknya tanaman padi. Setiap hari kami bisa mengamati sayuran yang kami tanam bertumbuh dengan cepat. Sawi misalnya, sayuran satu ini masa tanamnya hanya 20–25 hari hingga siap panen.
Panen pertama sawi yang kami tanam hasilnya sangat memuaskan bagi kami yang sedang latihan. Sawinya berdaun lebar, berwarna hijau segar, dan batangnya renyah. Hasil panen ini kemudian kami bagikan kepada tetangga dan kawan-kawan. Sengaja kami tidak menjual hasil panen awal ini. Tidak muluk-muluk, tujuan awal kami menggarap lahan pertanian ini adalah untuk sama-sama belajar dan bertani dengan cara yang lebih menarik untuk kaum muda.
“Alhamdulillah, saiki samben ndina enek kegiatan, ya ngresiki suket, ya nglanjari tanduran, ya ngrabuk, ya neka-neka, pokoke ora semelang ora nduwe gawean (Alhamdulilah sekarang setiap hari ada kegiatan, ya membersihkan rumput, ya memberi tiang tanaman, ya memupuk, ya macam-macam, pokonya tidak khawatir tidak punya kerjaan)”, kata Adit salah satu pemuda Pringombo yang aktif merawat kebun kami.
Tanggapan orang-orang tua kami ternyata juga sangat positif, bahkan mereka juga terus menyemangati untuk upaya kami belajar pertanian
“Mbah-mbahmu, wong tuamu biyen uripe ya seka tani le, ngilmu iki kudu eneng sing nguri-uri, kudu eneng sing neruske ben ra ilang ( leluhur, orang tuamu dulu hidupnya ya dari bertani le. Ilmu ini harus ada yang melestarikan, biar tidak hilang)”
pesan Mbah Dukuh mantan yang sudah sepuh saat mampir di kebun kami.
Belajar Pertanian di Joglo Tani
Sabtu, 19 November 2022, Sinambi Farm, Rebowagen bersama Resan Gunungkidul mengadakan sebuah acara bertajuk ‘Sinau Tani‘ dengan lokasi di Joglo Tani, Mandungan, Margoluwih, Seyegan, Sleman. Acara ini dihadiri oleh sekitar 30 peserta yang sebagian besar masih berusia muda. Mereka ada yang berasal dari Jogja dan luar Jogja, namun didominasi peserta dari Gunungkidul. Rencananya saya berangkat kesana bersama 5 kawan dari Pringombo, namun karena ada kendala akhirnya saya hanya berangkat berdua.
Acara Sinau Tani dibuka oleh Mas Jajat salah satu anggota Resan Gunungkidul, sebelum dilanjutkan oleh pemateri. Tuan rumah Joglo Tani sekaligus pemateri dalam acara ini adalah Pak TO Suprapto. Pria yang akrab disapa Pak TO itu adalah pelopor pertanian organik berkelanjutan dan terpadu. Sebelum terjun ke dunia pertanian beliau pernah bermain sepak bola bersama klub PSIM Yogyakarta. Sempat menjadi wasit juga, sebelum akhirnya mendirikan Joglo Tani. Saat ini Pak TO adalah konsultan pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam bidang pertanian. Sepak terjang beliau dalam dunia pertanian sudah tidak perlu diragukan lagi.
Pada awal materi ‘Sinau Tani‘, Pak TO memaparkan tentang konsep dasar pertanian. Ada 3 konsep dasar yaitu, ‘hamemayu hayuning bawana‘ (memelihara keindahan alam), ‘mangasah mingising budi‘ (mengasah ilmu pengetahuan), dan ‘memasuh malaning bumi‘ (membersihkan sampah/kotoran bumi).
“Ketiga konsep dasar itu saling berkesinambungan, bertani selain sebagai profesi juga untuk menjaga keindahan bumi, diperlukan ilmu pengetahuan untuk melakoninya, juga hal-hal yang mengganggu atau mengotori pertanian harus dijauhkan supaya tujuan pertanian tercapai,”
kata Pak T.O Suprapto.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa dalam pertanian ada 3 tahapan utama, yaitu pra budidaya, aksi budidaya, dan pasca budidaya. Tahap pra budidaya adalah tahapan mempersiapkan tanah, benih, dan pupuk sebagai makanan tanaman. Tahap aksi budidaya adalah tahapan pengaplikasian benih ke lahan yang sudah dipersiapkan. Dalam tahapan ini juga meliputi perawatan tanaman setelah ditanam, pemberian pupuk, dan penanganan hama. Terakhir pasca budidaya, adalah tahapan penjualan produk pertanian atau pengolahan sebelum dilakukan penjualan. Semua tahapan harus dilakukan dengan baik agar hasil dari pertanian maksimal.
“Kunci pertanian yaitu WiRaGaTaMa” kata Pak TO kepada peserta Sinau Tani yang serius mendengarkan penjelasan beliau
“Wi yaitu winih (benih). Tanaman yang bagus dihasilkan dari benih yang bagus pula, baik jenisnya, perawatannya, maupun perlakuannya. Kemudian Ra yaitu rabok (pupuk), pupuk sebagai sumber nutrisi perannya sangat penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman yang sedang dalam masa pertumbuhan daun membutuhkan pupuk dengan kandungan N (Nitrogen) tinggi. Tanaman yang sedang berbunga membutuhkan pupuk dengan kandungan P (Phosphor), sedangkan tanaman yang sudah mulai berbuah nutrisi yang banyak dibutuhkan adalah K (Kalium),” terangnya lagi
Selanjutnya, Ga yaitu garapan (lahan), jenis tanaman yang akan ditanam harus disesuaikan dengan lahan yang akan digunakan atau sebaliknya. Misalnya, jika akan menanam cabai maka supaya hasilnya maksimal lahan garapan tidak boleh tergenang air. Berikutnya Ta yaitu tanah, pengolahan tanah sangat penting sebelum mulai bertani. Kandungan pH, udara, air, dan nutrisi tanah juga penting diketahui untuk menentukan perlakuan tanah sehingga menjadi tanah yang ideal untuk ditanami.
“Terakhir Ma yaitu mangsa (musim), waktu tanam juga perlu memperhatikan musim yang sedang terjadi. Peribahasa Jawa mengakatan -wong nandur kuwi kudu angon mangsa-, yang artinya jika ingin menanam kita harus tahu waktu yang tepat,” lanjut Pak TO panjang lebar
Dalam istilah Jawa saya juga kerap mendengar beberapa sebutan musim yaitu, rendeng (penghujan), ketiga (kemarau), labuh, dan lemareng. Rumit memang, dan banyak aspek yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan bertani. Banyak ilmu yang perlu dipelajari dalam dunia pertanian. Namun justru dengan banyaknya ilmu itu kita bisa menjadi lebih memahami pertanian dan lebih produktif lagi. Selaras dengan yang disampaikan Pak TO dalam mengakhiri sesi Sinau Tani ini bahwa, “manusia menjadi konsumtif karena tidak menggunakan ilmu”. Supaya produktif dan tidak konsumtif kita harus banyak belajar ilmu pengetahuan.
Setelah sesi materi selesai kami kemudian diajak untuk berkeliling Joglo Tani. Dari depan ada kolam ikan, sebelah joglo ada perkebunan aneka sayur, di belakang ada kandang bebek petelur dan kandang kambing. Joglo Tani mengusung sistem ‘sustainable integrated farming‘, yaitu pola budidaya terpadu. Sistem ini meminimalisir limbah, dengan cara mengolah atau memanfaatkan limbah dari komoditas tertentu untuk komoditas lainnya. Misalnya, kotoran kambing diolah menjadi pupuk untuk tanaman sayur, dan sampah rumah tangga dijadikan makanan ikan.
Pola seperti ini selain jumlah sampah yang dihasilkan sedikit juga mampu menekan biaya produksi. Sistem ini tentu rasanya sudah sangat jauh lebih ideal jika dibandingkan dengan apa yang baru saya dan kawan-kawan pemuda Pringombo mulai. Namun semoga ilmu yang kami peroleh dari Joglo Tani ini bisa menjadi bekal untuk terus berani bertani.
“Ora ana jangka kang kajangkah tanpa mlangkah (tidak ada tujuan yang tergapai tanpa melangkah). Bertani bukan sekadar keresahan dan wacana belaka, melainkan harus dimulai meskipun dengan upaya-upaya kecil. Sebagaimana bayi belajar merangkak sebelum berjalan dan berlari, bertani yang sesungguhnya bisa dimulai dengan menanam tanaman yang mudah ditanam,”
demikian pesan Pak TO Suprapto
Permasalahan pertanian sebenarnya bukan semata-mata persoalan perut semata, namun ini juga menyangkut akan sebuah warisan berupa budaya, profesi , dan bumi. Semakin kecil minat bertani maka akan semakin cepat luntur ilmu-ilmu pertanian kuno yang diwariskan nenek moyang kita. Profesi petani akan dengan mudah untuk ditinggalkan, dan tanah yang diwariskan turun-temurun dari leluhur dengan entengnya akan dialih fungsikan atau dijual, sehingga bukan tidak mungkin akan ‘cunthel‘, kita akan kehilangan akar sejarah sendiri.