Sejarah(rebowagen.com) — Mendengar Kabupaten Gunungkidul, yang terlintas di pikiran banyak orang adalah keindahan pantai dan tempat-tempat wisata lainnya. Banyaknya destinasi wisata yang menawarkan panorama alam elok dan indah, membuat tanah kelahiran saya ini setiap hari selalu ramai wisatawan, terutama saat hari libur. Padahal, Gunungkidul tidak hanya melulu soal wisata, masih banyak sisi lain dari Bumi Handayani yang menarik untuk diketahui.
Ya, Gunungkidul adalah tanah tua yang kaya akan nilai-nilai tradisi dan budaya di dalamnya. Ada banyak sekali adat istiadat yang masih mengakar kuat di kehidupan sehari-hari masyarakat. Salah satunya adalah semangat ‘gugur gunung‘ (gotong-royong) yang tinggi. Hal ini bisa dilihat saat salah seorang warga mempunyai hajatan atau membangun rumah, setiap warga dengan suka rela membantu tetangga sampai acara selesai.
Gunungkidul dan sikap gotong royong yang tinggi memang seolah telah menjadi satu kesatuan yang susah dipisahkan. Sikap ‘guyup‘ , gotong royong dan kerja keras telah menjadi identitas non-fisik warga masyarakat Gunungkidul.
Selain identitas non-fisik yang mengakar kuat, Gunungkidul juga mempunyai banyak bangunan bersejarah sebagai penanda atau ikon wilayah, salah satunya Gapura Elar atau Lar Badak. Bentuk gapura ini digunakan sebagai penanda batas wilayah, atau pintu masuk setiap kampung.
Gapura Lar Badak Sebagai Ikon Gunungkidul
Jumat pagi (24/06/2022), saya mencoba keliling ke beberapa wilayah di Gunungkidul untuk melihat keberadaan Gapura Lar Badak. Perjalanan saya mulai dari Kapanewon Ponjong, Semanu, Karangmojo, Wonosari, hingga berlanjut ke Patuk.
Dari hasil penulusuran saya, hampir setiap kecamatan tersebut masih bisa ditemukan Gapura Lar Badak di pintu masuk dusun atau kalurahan. Namun di beberapa wilayah, saya menemui bentuk baru dari gapura yang dibangun menggantikan Gapura Lar Badak. Gapura baru ini ada yang masih meniru bentuk dasar Lar Badak, namun ada beberapa bagian yang dirubah, atau yang dibangun dengan menghilangkan bentuk dasar. Bahkan saya melihat ada satu wilayah kalurahan yang bentuk gapuranya didominasi oleh gapura modern atau yang sering disebut dengan Gapura Pecinan.
Menurut tokoh dan budayawan Gunungkidul, CB Supriyanto (68), ada beberapa ciri khas utama yang dimiliki oleh Gapura Lar Badak. Diantaranya mempunyai puncak tiang berbentuk kelopak bunga melati, tiang segi empat, lengkung gapura, lubang tiang gapura, dan memiliki landasan dasar bangunan gapura yang terbelah menjadi dua sayap.
Tidak hanya memiliki bentuk yang gagah dan unik, Gapura Lar Badak juga memiliki filosofi dan nilai-nilai sejarah di dalamnya. Gapura ini dibangun sebagai penanda sekaligus batas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan daerah lainnya.
“Dulu kan Kerajaan Mataram jadi dua, Surakarta sama Yogyakarta. Nah, biar ada pembeda, salah satunya dengan membangun Gapura Lar Badak. Jadi, kerajaan lain jika sudah melihat Lar Badak, berarti sudah memasuki wilayah Yogyakarta,”
tutur budayawan yang akrab disapa Pak CB ini.
Mengingat Lar Badak sarat akan nilai-nilai sejarah, kemudian Kraton Yogyakarta pada dekade 1980-an memerintahkan warga Yogyakarta untuk membuat gapura ini. Sejak saat itu, gapura Lar Badak banyak ditemukan di berbagai wilayah di DIY.
Pak CB melanjutkan, meski gapura Lar Badak sebenarnya diperuntukkan untuk semua wilayah di DIY, tetapi gapura ini memang paling banyak ditemukan di Kabupaten Gunungkidul. Hal ini lantaran wilayah Gunungkidul sangat luas, sehingga sangat memungkinkan untuk membuat gapura. Berbeda dengan wilayah perkotaan yang luas tanahnya cenderung sempit.
“Pembangunan tugu Lar Badak itu membutuhkan lahan yang luas. Jadi, kalau buat wilayah perkotaan, ya, ‘ngrekasa’ (sulit). Berbeda dengan kampung-kampung di Gunungkidul yang punya lahan luas, tentu sangat mudah membangun gapura ini,” terang Pak CB.
Kemudian pada tahun 1987, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menggelar lomba membuat gapura Lar Badak. Lomba ini diikuti oleh semua padukuhan yang ada di Gunungkidul. Alhasil, jumlah gapura Lar Badak semakin banyak dibuat. Hal ini yang kemudian membuat Gunungkidul identik dengan ikon Gapura Lar Badak.
Makna dan Filosofi Gapura Lar Badak
Dalam membuat sesuatu, orang Jawa dikenal selalu menyelipkan simbol-simbol yang di dalamnya memiliki makna atau filosofi. Demikian juga dengan Gapura Lar Badak, bentuknya tidak hanya memperhatikan aspek artistik, gapura ini juga memiliki makna yang mencerminkan karakter, identitas dan nilai-nilai dasar yang dimiliki warga masyarakat Yogyakarta.
“Kata Elar atau Lar itu memiliki arti sayap burung. Sedangkan Badak itu simbol binatang yang kuat. Artinya, gapura Lar Badak ini sebagai lambang kekuatan dan semangat ‘gugur gunung’ (gotong royong) warga masyarakat Yogyakarta,”
tutur Pak CB.
Di samping itu, masing-masing bentuk yang ada pada gapura ini juga mempunyai makna tertentu. Menurut Pak CB, berikut simbol-simbol beserta makna gapura Lar Badak.
- Bunga Melati: bunga melati pada puncak tiang gapura sebagai simbol kejujuran, kesucian, keharuman, dan selalu memberi ketenangan. Adapun kelopak yang berjumlah lima melambangkan masyarakat yang senantiasa memegang teguh nilai-nilai sila Pancasila.
- Lengkungan gapura: lengkungan dari tiang rendah menuju tiang yang lebih tinggi ini melambangkan cita-cita mulia antara pemimpin dan wakilnya dengan menunjung tinggi asas keterbukaan.
- Lubang gapura: sejumlah lubang yang ada di antara tiang gapura Lar Badak melambangkan bahwa semua kebutuhan bisa ditembus dengan cara semangat gotong royong.
- Landasan dasar: guyup rukun masyarakat yang menyatu dengan pemimpinnya.
Secara umum, gapura Lar Badak menjadi simbol kekuatan serta semangat gotong royong bagi masyarakat. Seberat apapun masalah atau kebutuhan hidup, jika dikerjakan secara bersama-sama akan terasa jauh lebih ringan dan akan mencapai hasil yang maksimal. Hal ini yang kemudian membuat gapura Lar Badak mampu mempresentasikan karakter warga masyarakat Yogyakarta, khususnya Gunungkidul.
“Ya intinya, gapura itu menjadi simbol sikap guyup rukun, gotong-royong, dan kompak antara pemimpin dan masyarakat. Harapannya, akan seperti bunga melati yang mekar, harum dan menyegarkan, maka dari itu, gapura ini perlu dilestarikan,” jelas Pak CB.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, masyarakat wajib melestarikan berbagai karya arsitektur tradisional, tak terkecuali gapura Lar Badak. Namun ironisnya, pada sekitar tahun 2016, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, justru merobohkan gapura Lar Badak di Alun-Alun Wonosari, lalu menggantinya dengan gapura yang dianggap lebih modern (bukan Lar Badak).
Adanya pembangunan gapura modern di depan kantor Pemda Gunungkidul, tak pelak diikuti oleh instansi lain dan warga masyarakat. Diperparah saat diadakan Program Lomba Desa, salah satu desa yang menang merombak tugu-tugu Lar Badak untuk menghias lingkungan. Tren membangun gapura baru (modern) akhirnya diikuti oleh desa-desa lain yang mengikuti program Lomba Desa.
Saat ini, tidak sedikit gapura atau tugu yang sama sekali tidak mencerminkan karakter masyarakat. Tentu hal ini sangat disayangkan, bukannya berupaya untuk terus melestarikan warisan budaya, justru merobohkan dan menggantinya dengan gapura yang kering akan nilai-nilai historis ataupun makna.
Berikut adalah beberapa contoh gapura yang kemudian dianggap lebih “modern“, namun sayangnya harus menghilangkan simbol-simbol dan makna filosofis gapura lar badak.
Mengingat gapura Lar Badak merupakan simbol kekuatan serta sikap gotong-royong masyarakat Gunungkidul, sekiranya perlu untuk terus mensosialisasikan terkait makna atau filosofi yang terkandung di dalam gapura ini. Hanya dengan begitu, nantinya akan tumbuh kesadaran betapa pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya yang sarat akan makna ini.
Pembangunan gapura ini bisa dimulai dari Pemerintah Daerah Gunungkidul dan instansi terkait lainnya. Selain itu, sudah seyogyanya Pemda memberikan anggaran kepada masing-masing desa untuk pembuatan gapura Lar Badak. Bukankah ini jauh lebih bijak daripada rencana pembangunan Tugu Tobong Gamping dan taman mirip “Malioboro” yang cenderung tidak percaya diri dengan identitas yang kita miliki?
Saya suka membaca artikel rebowagen, saya menunggu artikel selanjutnya
Harus lebih banyak orang yang mengakses informasi ini, informasi yang sangat berkualitas,,,