Kuliner(rebowagen.com)– Kemajuan jaman, banyak merubah cara hidup masyarakat secara luas. Termasuk gaya hidup dan pola makan sehari-hari. Di wilayah pedesaan, praktek memanfaatkan pekarangan atau apapun yang ada di alam dan sekitarnya memang sudah dilakukan sejak dulu. Warga sudah sangat hafal dengan berbagai jenis tumbuhan non budidaya pertanian yang bisa dikonsumsi.
Salah satunya adalah ‘bung‘ (rebung) atau tunas bambu muda. Tanaman bambu (Bambusoideae) memang jenis tanaman yang sangat dekat dengan perikehidupan masyarakat. Di Gunungkidul, jenis tanaman ini disebut ‘pring‘ atau ‘preng‘. Pemanfaatannya sangat umum dan luas, mulai dari bahan material bangunan, alat perkakas rumah tangga ataupun kerajinan.
Bambu juga dikenal sebagai jenis tanaman yang sangat penting untuk mitigasi bencana tanah longsor. Untuk tunas bambu muda (bung) biasa diolah oleh masyarakat menjadi berbagai jenis menu makanan yang lezat.
Konsep ‘farm to table’ atau “nandur apa sek dipangan, mangan apa sek ditandur” (menanam apa yang dimakan, makan apa yang ditanam) memang sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang. Empon-empon, bumbu dapur, dan sayur-mayur biasanya ditanam dekat pekarangan rumah. Tujuannya sederhana, sewaktu-waktu butuh untuk masak tak perlu repot pergi ke warung atau bahkan pasar. Semua sudah ‘cemepak‘ (tersedia) tinggal ‘ramban‘ (petik).
Rumpun bambu memang banyak tumbuh di sekitar pekarangan warga pedesaan Gunungkidul. Saat musim hujan tiba hampir semua jenis bambu akan bertunas di sekitar perakarannya. Namun ternyata, tak semua jenis bambu bisa dimasak rebungnya. Bambu Apus misalnya, tidak bisa dimakan karena rasanya pahit dan mempunyai kandungan sianida tinggi yang beracun. Menurut artikel yang ditulis di guesehat.com rebung yang dapat dikonsumsi adalah dari jenis bambu pêtung, ampèl, dan wulung. Yang paling umum dikonsumsi masyarakat Gunungkidul adalah bung bambu pêtung.
Tunas bambu yang bisa dipanen untuk dikonsumsi adalah saat tingginya sekitar 50 cm. Jika terlalu tua teksturnya akan keras, dan cita rasanya pun akan kurang sedap. Tata cara memasak bung juga tidak sembarangan, ada proses-proses khusus supaya menghasilkan olahan yang sedap. Berikut beberapa tahapan proses ‘bung’ agar siap dikonsumsi.
Pembersihan
Rebung yang sudah dipotong dari rumpun bambu dibersihkan terlebih dahulu kulit luarnya. Bagian luar yang berwarna hitam dan ‘ber-glugut‘ dihilangkan, hingga yang tersisa hanya bagian putihnya saja. Selanjutnya ‘bung‘ dicacah (dipotong) kecil-kecil, tujuannya supaya saat proses memasak lebih cepat empuk. ‘Bung‘ yang sudah dicacah kemudian dibersihkan dengan air untuk menghilangkan kotoran.
Perendaman
Selesai dicuci bersih, selanjutnya bung direndam pada baskom atau ember dengan air garam. Perendaman ini berfungsi dapat sedikit mengurangi rasa pahit dari sianida yang terkandung dalam bung.
Proses memasak
Tahapan memasak bisa berbeda-beda, tergantung akan diolah menjadi apa si ‘bung‘ itu. Umumnya dimasak oseng-oseng (tumis) atau sayur berkuah dengan tambahan santan kelapa. Melalui cara memasak yang baik bung akan menghasilkan olahan yang cita rasanya tak kalah dengan daging.
Selain enak di lidah, ternyata bung yang bagi sebagian orang hanya barang sepele ini juga kaya nutrisi. Menurut artikel dari alodokter.com, dalam 100 gram bung terkandung sekitar 25 kalori dan aneka nutrisi berikut ini:
- 2–2,5 gram protein
- 4–5 gram karbohidrat
- 2 gram serat
- 2 gram gula
- 60 miligram fosfor
- 500 miligram kalium
- 1,1 miligram zinc
- 13 miligram kalsium
- 4 miligram vitamin C
Website konsultasi dokter online itu juga menyebutkan bahwa, kandungan serat pada ‘bung‘ (rebung) dapat memperlancar pencernaan dan menurunkan kolesterol. Protein, antioksidan, dan kalium yang terkandung dalam ‘bung‘ juga mampu mencegah darah tinggi, penyakit jantung, bahkan mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dalam tubuh.
Sungguh luar biasa manfaat yang terkandung dalam tunas bambu itu. Tanaman yang tumbuh liar, tanpa perawatan, dan bahkan terpinggirkan ini ternyata mempunyai nilai gizi tinggi yang tak banyak orang tahu. Melihat ‘bung‘ yang sarat manfaat dan cita rasa yang lezat, maka tak heran jika olahan ‘bung ‘jadi masakan favorit masyarakat Gunungkidul.
Di jaman yang serba modern ini memang semua serba mudah, termasuk urusan perut. Sepanjang jalan kota-kota kanan kiri berjejer berbagai pedagang menjajakan berbagai makanan dengan tampilan menarik. Dari makanan eastern sampai western semua ada. Bahkan melalui aplikasi di gawai canggih makanan bisa diantar sampai depan pintu rumah dengan mudah. Namun di balik kemudahannya tentu ada nilai tukar uang untuk membayarnya.
Sementara nenek-moyang kita sudah mewariskan pola konsumsi yang hemat, sehat, dan mudah. Di dalamnya juga ada proses yang harus dilalui, tidak instant. Mengambil apa yang ada di sekeliling kita, mengolahnya, dan membayar dengan cara merawatnya. Barangkali pola konsumsi leluhur kita ini yang seyogyanya kita harus teladani dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Apa uripe ora ayem?” (apa hidupnya tidak tentram) Lha wong sekitaran kebun saja banyak yang bisa diolah jadi lauk. ‘Jangan bung‘, ‘oseng-oseng kembang gêdhang‘, dan ‘jangan lompong‘, bukti bahwa Gunungkidul ini kaya. Angka kemiskinan yang parameternya penghasilan, belum tentu selaras kesejahteraan. Masyarakat desa memang penghasilannya sedikit tapi keperluannya yang harus mengeluarkan uang juga tidak banyak, malah sudah serba tersedia.
“Miskin yo ben sek penting iso njangan bung (miskin tidak apa-apa yang penting bisa nyayur rebung)”
“Njangan apa yu?(nyayur apa yu?)”
“Njangan bung iki yu, bapakne wingi gopek neng kulon omah (nyayur rebung ini yu, bapak kemarin ngambil di barat rumah).”“Walah yo gur pada nek ngono, lawuh gêdhèk (walah ya sama kalau gitu, lauk anyaman bambu).”
Gurauan seperti itu yang kerap saya dengar saat musim penghujan seperti ini. Saat tunas bambu banyak tumbuh dan di meja makan mereka yang tersaji adalah sayur ‘bung‘.