Pada hakekatnya ibu ini tidak sedang menangisi sapi yang mati. Ia sebenarnya menangisi hidupnya dan keluarganya. Orang-orang desa menyekolahkan hingga menikahkan anak dari hasil berternak sapi, bangun rumah, beli motor, bahkan pergi haji dan lain-lain juga karena hasil berternak sapi
Kearifan lokal(rebowagen.com)– Kalimat diatas adalah sebuah caption dari cuitan twit postingan akun @husain_fahasbu. Postingan akun tersebut berisi sebuah video durasi 10 detik yang memperlihatkan seorang ibu yang tengah menangisi sapinya yang mati lantaran terjangkit virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Saat mendengar tangisan sang Ibu dari cuitan tersebut, tiba-tiba membuat hati saya seperti teriris. Tidak dalam namun tetap terasa sakit. Dari video itu saya bisa memahami, bahwa Sang Ibu betul-betul sangat kehilangan sapi yang setiap hari beliau rawat dengan sepenuh hati. Namun dengan sangat terpaksa sapi kesayangannya harus mati karena terjangkit virus PMK.
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) saat ini memang sedang marak menyerang hewan ternak di Gunungkidul. Penyakit yang disebabkan oleh spesies virus Aphthovirus ini menyerang hewan ternak berkuku genap. Seperti sapi, kambing, domba dan babi. Virus ini menyerang bagian mulut dan kuku hewan (foot and mouth disease). Kendati tidak menular ke manusia, PMK adalah penyakit yang berbahaya. Jika terlambat dalam penanganannya berpotensi menyebabkan kematian pada hewan.
Saya bisa memahami mengapa dalam video tersebut, pemilik sapi menangis menyayat hati. Di desa-desa hubungan seorang petani dan hewan ternak memang sangat kuat. Sapi, kerbau atau kambing bisa dianggap layaknya keluarga oleh para petani. Selain sebagai ‘celengan’ (tabungan), memelihara hewan ternak bagi mereka sangat membantu pekerjaan dalam mengolah lahan pertanian. Sebelum kehadiran mesin pertanian modern, para petani membajak lahan dengan tenaga sapi (ngeluku). Fungsi lain dari hewan ternak adalah kotorannya. ‘Letong’, ‘srinthil’ dari sapi dan kambing dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang sangat ramah lingkungan dibanding pupuk kimia.
Hubungan kerja keseharian antara petani dan hewan ternaknya ini secara langsung membentuk sebuah sistem kerja-sama simbiosis mutualisme antar keduanya. Dari hubungan batin yang erat ini, akhirnya melahirkan berbagai tradisi yang berkaitan dengan hewan ternak dalam budaya pertanian masyarakat petani.
Di Kabupaten Gunungkidul ada sebuah tradisi yang berkaitan dengan hewan ternak yaitu ‘Gumbregan’ atau ‘Surak Iyun’ yang biasa disebut juga sebagai ‘ulang tahun sapi’, atau ‘hari raya’ hewan ternak
Gumbregan merupakan sebuah upacara/selamatan yang tujuannya ngemong-mongi’ semua jenis hewan ternak peliharaan para petani. Di beberapa tempat lain di Gunungkidul, dalam tradisi ‘Gumbregan’ selain hewan ternak tradisi ini juga sebagai bentuk penghormatan untuk para ‘Mpu’ atau pengrajin alat-alat pertanian. “Mpu ingkang nyitak sedaya gaman tetanen” (Mpu yang membuat alat- alat/senjata pertanian).
Tradisi Gumbregan dulunya dilakukan oleh semua warga desa. Diadakan pada hari “Wuku Gumbreg’ dalam sistem hitungan kalender atau penanggalan Jawa. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi Gumbregan perlahan mulai ditinggalkan. Pergeseran zaman, ketidak-tahuan atau penafsiran yang berbeda dalam memaknai ritual adat Gumbregan akhirnya membuat tradisi ini semakin jarang dilakukan.
Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan Pak Paiman, seorang petani yang tinggal di Padukuhan Sokoliman, Kalurahan Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Gunungkidul. Pak Paiman adalah sosok yang sampai saat ini masih terus menjalankan berbagai proses Gumbregan. Selain itu Pak Paiman juga dipercaya oleh warga Dusun Sokoliman untuk ‘nggebrakke’ (memimpin) prosesi Gumbregan warga di dusunnya.
“Kagem tiyang sing gadah ingon-ingon kados sapi utawa kebo niku yen wayah wuku gumbreg diamong-amongi, ben supaya sumulunduru ngerda widada babad semangkar slamet sing ngingu slamet sing diingu. Sing ngingoni slamet sing diingoni nggih slamet (untuk warga yang punya hewan piaraan seperti sapi atau kerbau, jika tiba ‘Wuku Gumbreg’ diselamati, agar bisa berkembang biak dengan baik, tidak ada halangan apapun. Selamat yang memelihara, juga selamat yang dipelihara),” tutur Pak Paiman, menjelaskan tujuan dari Gumbregan.
Menurut Pak Paiman, Gumbregan dilaksanakan dua kali dalam setahun, yaitu pada masa ‘Wuku Gumbreg’. Biasanya akan jatuh di Hari Rabu Kliwon dan Jum’at Pahing. Dalam prosesi Gumbregan, para pemilik hewan ternak akan membuat ‘ubarampe’ yang berisi nasi golong, gudangan (kudapan), aneka ketupat, lepet, pisang kapok, berbagai umbi-umbian (uwi, gembili), jadah ketan, sirih dan kembang setaman.
Semua ‘ubarampe’ tersebut diletakkan di ‘tampah’ (nampan) lalu dibawa ke tempat Mbah Kaum untuk digebrakke (didoakan) secara bersama-sama. Di Dusun Sokoliman, Pak Paiman yang dipercaya warga sekitar untuk memimpin selamatan. Setelah didoakan bersama-sama, sebagian ‘ubarampe’ akan diberikan kepada sapi seperti ketupat dan umbi-umbian, sisanya kemudian dimakan bersama-sama.
“Kita di dunia ini tidak sendirian mbak, ada makhluk hidup lain yang perlu dijaga dan didoakan juga, seperti hewan ternak. Mereka banyak membantu kehidupan kita, apalagi bagi petani seperti saya. Gumbregan ini sebagai wujud syukur saya kepada Gusti Allah,” lanjut Pak Paiman dengan bahasa Jawa halus.
Selain ungkapan rasa syukur, tradisi Gumbregan bagi Pak Paiman juga sebagai sarana berdo’a agar semua hewan peliharaan ini diberikan kesehatan dan keselamatan. Dijauhkan dari segala macam mara-bahaya, serta terhindar dari segala macam penyakit. Ini juga sebagai bentuk penghormatan bagi sesama makhluk ciptaanNya. Apalagi keberadaan hewan ternak sangat berperan besar bagi perikehidupan masyarakat petani.
Apa yang menjadi pemahaman Pak Paiman sejenak menyadarkan saya akan banyak hal. Terutama konsep saling berbagi antar makhluk hidup yang tidak terbatas pada manusia. Arti ‘Gumbregan’ ini jika dikaji lebih jauh mempunyai makna bahwa manusia itu bukan tunggal di muka bumi. Saya teringat paham antroposentrisme yang merupakan cikal bakal banyaknya kerusakan di dunia. Paham ini menganggap bahwa hanya manusia sebagai poros paling utama di bumi.
Saya kemudian lanjut bertanya kepada Pak Paiman bagaimana tanggapannya terkait PMK yang saat ini tengah menjangkiti banyak hewan ternak. Pak Paiman hanya tersenyum dan menjawab dengan sangat tenang.
“Wabah itu bisa ada karena dibawa kan mbak, bisa dibawa manusia, hewan lain, atau makhluk lain. Manusia itu terbatas penglihatannya. Asal penyakit itu tidak kelihatan tapi saya percaya ada. Fungsi dari Gumbregan sebetulnya itu mbak, sebagai upaya pencegahan. Kita sama-sama selametan, sama-sama mendoakan hewan ternak kita agar terhindar dari penyakit seperti itu. Mendoakan kita sendiri juga semoga senantiasa diberi kesehatan,” terangnya lagi.
Terkait ‘ubarampe’ yang disediakan, Pak Paiman menekankan bahwa itu semua bukan untuk suatu persembahan.
‘Ubarampe itu hanya sarana permohonan kepada Gusti Allah. Juga sebagai sedekah kita, bentuk berbagi kita dengan makhluk yang lain melalui makanan-makanan. Makanannya kan kita sendiri juga yang makan mbak” Ujar Pak Paiman, sambil menyeruput tehnya dengan yakin.
Dari arah dapur Bu Marti istri Pak Paiman mengajak Saya untuk menikmati tongseng kambing yang baru saja matang. Maklum saya bertamu kebetulan pas Hari Idul Adha. Bu Marti juga tidak hanya mengajak saya, tapi juga mengajak orang-orang yang sedang belanja di warung kelontong miliknya. Kami kemudian berkumpul di ruang tengah menikmati nasi dan tongseng yang masih panas.
Sejalan dengan Gumbregan, keramah-tamahan petani dan sifat mereka untuk selalu senang berbagi, membuat saya tak bisa menolak ajakan tulus untuk makan bersama ini. Di sela-sela obrolan kami, Bu Marti meneruskan pembicaraan kami di teras.
“Dulu di rumah ini penuh mbak kalau pas Gumbregan. Tapi semakin kesini semakin berkurang. Tapi ya tidak apa-apa, saya dan bapak sudah berjanji akan terus melestarikan tradisi ini, soalnya tujuannya baik. Kalau menurut saya ya, mbak orang yang mau selamat ya, harus berani selamatan, dan orang yang mau berkah ya, harus berani sedekah. Nah Gumbregan ini jadi salah satu praktik selamatan dan sedekah itu” Ujar Bu Paiman sambil menikmati tongseng kambingnya.
Setelah mengobrol lama, saya kemudian pamit pulang. Dalam perjalanan, saya banyak memikirkan apa yang disampaikan oleh Pak Paiman dan istrinya. Sebuah ilmu makna yang sering dianggap sebagai suatu hal yang biasa pada jaman sekarang ini. Tapi ternyata, jika dikaji lebih dalam hal itu adalah pengertian dasar untuk saling menjaga dan menghormati kehidupan sesama makhluk hidup. Tentu, sesuai dengan peran dan tugas masing-masing. Makna dari tradisi Gumbregan ternyata sarat tentang hal itu. Dan masyarakat petani telah melaksanakannya turun- temurun. Bukan sekedar jargon atau retorika yang kering akan makna. Tiba-tiba saya jadi ingat kalimat seorang teman dalam obrolan kami, “Zaman sekarang secara teknologi kita maju, tapi secara rasa, kita sedang mengalami kemunduran”.