Lingkungan(rebowagen.com)– Dari data relawan kebencanaan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gunungkidul, dilaporkan ada 200 lebih titik kejadian longsor yang terjadi di Bumi Handayani dalam rentan waktu empat bulan terakhir, (November, Desember 2022 dan Januari, Februari 2023). Tercatat 2 korban jiwa manusia, puluhan rumah rusak dan beberapa hewan ternak mati akibat terkena material longsoran.
Skala kejadian longsor bervariasi, ada yang kecil, menengah maupun besar. Seperti yang terjadi di Tegalrejo, Gedangsari pada Kamis, 16 Februari 2022 lalu. Longsoran tebing setinggi 100 meter lebih, menutup akses jalan Mertelu-Tegalrejo, Gedangsari. Material longsoran juga menutup aliran sebuah sungai kecil dibawah jalan. Akibatnya, akses jalan utama lima dusun menjadi tertutup, sehingga warga terpaksa menempuh jalan memutar yang lebih jauh agar bisa beraktivitas keluar. Hingga saat ini, evakuasi material longsoran belum dilakukan mengingat faktor resiko di mana tanah masih dalam kondisi labil dan curah hujan yang masih tinggi.
“Selain kondisi tanah yang masih labil dan curah hujan tinggi, volume longsoran juga cukup besar, jadi kami belum berani ambil resiko untuk evakuasi,” kata Purwono, S.IP., M.Si. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gunungkidul beberapa waktu lalu.
Upaya Mitigasi
Menurut UU No 24 Tahun 2007, mitigasi bencana diartikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana. Baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Peningkatan angka kejadian bencana alam di Gunungkidul akhir akhir ini sudah seharusnya menjadi perhatian serius banyak pihak. Selain pendataan dan penanganan pasca bencana, program mitigasi sudah selayaknya menjadi prioritas, dilakukan dengan tepat, konsisten dan berkesinambungan.
video retakan tanah di Dusun Nganjir, Kalurahan Semin, Kapanewon Semin (Sumber: Dokumentasi warga Dusun Nganjir)
Beberapa waktu lalu, rebowagen.com telah menulis dua artikel berkaitan dengan tanah longsor. Pertama ‘Kenali Jenis-Jenis Tanah Longsor, Penyebab, Pemicu dan Langkah Mitigasinya‘ (23 November 2022) dan yang kedua ‘Manfaat Pohon Bambu Sebagai Mitigasi Bencana Tanah Longsor‘ (30 Oktober 2022).
Pada tulisan ini, kami akan membahas tentang tanaman akar wangi yang multi fungsi. Baik perannya untuk menjaga lingkungan termasuk pencegah longsor, serta potensi nilai ekonominya yang bisa dikembangkan oleh masyarakat. Namun sebelumnya, kita akan sedikit membahas problem laten konservasi, yakni berkaitan dengan kepentingan ekonomi warga.
Konservasi dan Ekonomi
Menanam pohon adalah upaya pencegahan tanah longsor yang paling efisien. Namun ternyata, tidak semua pohon memiliki fungsi konservasi. Banyak pohon yang ditanam oleh warga sebatas karena nilai ekonominya (baca, kayu). Jenis tanaman yang dipanen kayunya, sebut saja jati, akasia, sengon mempunyai karakter akar yang mengambang. Artinya, akar pohon-pohon ini tidak menghunjam dalam ke tanah, tapi cenderung menyebar di permukaan, sehingga kurang mempunyai fungsi untuk mengikat atau menahan tanah.
Yang terjadi sekarang di Gunungkidul, jenis tanaman ini memang mendominasi. Menjadi komoditas utama ekonomi untuk tanaman keras. Zona utara yang secara geografis sebagai daerah rawan longsor dominan ditanami jenis tanaman jati, akasia dan sengon. Jenis pohon ini tak hanya kurang dalam fungsinya mengikat tanah, pengaruhnya ternyata juga pada kelestarian air. Sumber air yang pada bagian atasnya didominasi tanaman akasia, dari tahun ke tahun debit airnya semakin mengecil. Hal ini lazim terjadi di Gunungkidul, terutama bagian utara.
Upaya konservasi memang rumit jika bersinggungan dengan urusan ekonomi. Butuh kesadaran masyarakat dan program pemerintah yang tepat mengenai penataan kawasan. Akar wangi kiranya sangat potensial untuk menjadi ‘win win solution‘. Jenis tanaman rumput-rumputan ini, jika dikembangkan dan dikelola dengan baik, mempunyai peran ganda, fungsi lingkungan dan ekonomi.
Akar Wangi (Crysopogon zizaniodes)
Akar wangi atau ‘vetiver‘ di Jawa sering disebut ‘larasetu‘ adalah tanaman endemik dari India. Jenis tumbuhan rumput-rumputan berukuran besar dari famili ‘poaceae‘ ini terkenal mempunyai beragam manfaat. Fungsinya untuk memperbaiki kualitas lingkungan sudah lama dikembangkan oleh banyak negara. Melansir artikel Indonesia.go.id, akar wangi dimanfaatkan untuk berbagai keperluan ekologis dan fitoremediasi atau upaya memperbaiki lingkungan dengan menggunakan media tanaman pada lahan dan air. Akar wangi juga mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada lahan yang kritis, kering ataupun tercemar serta tahan terhadap api.
Berikut beberapa manfaat bagian tanaman akar wangi:
Daun
-
- Sebagai pakan ternak
- Penyerap karbon
- Pengusir hama tanaman
- Bahan atap rumah
- Bahan dasar kertas
Akar
-
- Pencegah longsor dan banjir
- Memperbaiki kualitas air
- Melindungi infrastruktur(talud dll)
- Menyerap racun dan menyuburkan tanah
- Bahan kerajinan
- Penghasil minyak atsiri
“Akar wangi mempunyai fungsi untuk konservasi/reklamasi lahan bekas tambang, pencegah erosi lereng, abrasi pantai dan daerah aliran sungai. Juga efektif untuk stabilisasi tebing melalui tekhnologi ‘vetiver grass technology’ (VTC) atau ‘vetiver system’ (VS). Tekhnologi ini sudah dikembangkan lebih dari 200 tahun di India, dan merupakan praktek konservasi lingkungan yang sederhana dan berbiaya murah. Akar wangi juga merupakan tanaman kaya manfaat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi”
kata Agus Wibowo, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Nasional.
Lalu mengapa tanaman rumput ini mempunyai fungsi sebagai pencegah longsor? Masih dari artikel indonesia.go.id, ternyata, akar tanaman ini tumbuh tidak menyamping laiknya jenis rumput yang lain, akan tetapi lurus ke bawah. Pada usia satu tahun pasca tanam, akarnya mampu menembus tanah hingga kedalaman 3 hingga 4 meter, bahkan ada yang bisa mencapai kedalaman 5 meter lebih. Dengan struktur akar seperti itu, pada keadaan geografis tanah miring berbatu, ujung ujung akar berperan seakan seperti jangkar yang kuat. Tanah akan menjadi lebih stabil dan tahan terhadap longsor.
Akar kuat ini juga memungkinkan akar wangi tetap bertahan meski dalam terjangan derasnya arus air. Keistimewaan ini, membuat akar wangi sering dijuluki sebagai tumbuhan ‘kolom hidup‘. Dengan sistem pola penanaman yang rapat, tanaman ini juga berfungsi sangat efektif sebagai penyaring sedimen tanah dan penyebar air hujan permukaan.
Dalam sebuah video yang diunggah oleh transmediajabar, komandan Satgas Citarum sektor 6, Kolonel ARH Dodo Irmanto menyampaikan bahwa puluhan ribu vetiver telah ditanam di sepanjang aliran Sungai Citarum, sebagai upaya untuk konservasi daerah aliran sungai.
“Fungsi vetiver sangat banyak, pencegah abrasi, banjir, menyuburkan tanah dan penyerap racun limbah. Akar vetiver ini kekuatannya seperti kolom kawat baja untuk menahan talud agar tidak longsor“, jelasnya. Pernyataan ini dibuktikan dalam sebuah video, dimana tampak tiga tentara berbadan kekar yang bersama-sama mencoba mencabut satu rumpun vetiver, namun tidak berhasil.
Kekuatan akar vetiver juga disampaikan oleh SM Budi Utomo, penginisiasi gerakan Siaga Bencana Berbasis Masyarakat PMI (SIBAT), Kampung Sewu, Solo. SIBAT adalah gerakan masyarakat terkait mitigasi bencana, khususnya banjir. Mereka telah mempraktekkan budidaya akar wangi untuk konservasi DAS Bengawan Solo.
“Untuk upaya konservasi komunitas, kami sediakan gratis bibit vetiver, boleh bawa truk, tapi ambil dan dongkel sendiri. Jika harus kami dongkelkan, maka untuk upah tenaga per kg 25 ribu rupiah,” kata SM Budi Utomo
Komunitas yang dibentuk tahun 2015 ini, terus bergerak mengedukasi masyarakat dalam hal mitigasi bencana. Kader-kadernya diberikan pelatihan sebagai penggerak, pembimbing, penyuluh, dan motivator masyarakat untuk antisipasi dan kesiapsiagaan dalam menghadapi dampak bencana. Budidaya vetiver yang mereka lakukan adalah salah satu upaya mitigasi abrasi dan banjir dari Bengawan Solo
Kerajinan akar wangi
Selain sebagai penghasil minyak atsiri, akar dari vetiver ini ternyata juga bisa dijadikan sebagai bahan kerajinan atau handycraft. Seperti yang disampaikan oleh Kusmanto, warga Padukuhan Kepek, Kalurahan Semin, Kapanewon Semin, Gunungkidul. Menurutnya, dulu, penggunaan akar wangi ini masih sebatas konvensional. Akar wangi kering yang sudah dibersihkan sekedar diikat lalu diletakkan dalam tumpukan pakaian, bertujuan untuk mengharumkan sekaligus mengusir serangga. Seiring perkembangan, warga mulai merintis pembuatan kerajinan akar wangi dalam berbagai bentuk, baik hiasan, maupun fungsional.
“Sekitar tahun 2000an, akar wangi mulai dibentuk menjadi bahan kerajinan berbentuk miniatur hewan. Juga bisa fungsional, untuk tempat tissu, kerai, sajadah, tatakan gelas, vas bunga dan banyak yang lain,” kata Kusmanto.
Saat ini, ia dipercaya sebagai Ketua paguyuban perajin akar wangi Padukuhan Kepek, Semin. Untuk fungsinya sebagai konservasi, Kusmanto dan warga Padukuhan Kepek juga sudah membuktikan sendiri.
“Fungsi akar vetiver, seperti akar bambu, sebagai antisipasi banjir dan tanah longsor. Di wilayah kami, lahan yang ditanami akar wangi, bisa dikatakan tidak terpengaruh longsor, padahal tanahnya ‘nggragal’ (berbatu). Di daerah Wonogiri dan Ponorogo, perbukitan juga banyak ditanami akar wangi untuk pencegahan longsor,”
ungkap Kusmanto.
Kusmanto memulai kerajinan akar wangi sejak tahun 2010. Sebelumnya, ia mengaku sempat merantau, lalu memutuskan untuk kembali ke desanya dan ikut mengembangkan kerajinan akar wangi. Hasil ekonomi yang didapat oleh warga Kepek dengan menjadi pengrajin menurut Kusmanto sebetulnya sangat lumayan. Selain pasaran di beberapa kota di Indonesia, beberapa perajin melalui agen eksportir di Bali juga sudah mampu menembus pasaran luar negeri.
“Sebelum Pandemi, rata-rata perajin bisa punya penghasilan sampai 3 juta rupiah per bulan. Saat Pandemi melanda, total kami berhenti produksi karena tidak ada pemasaran. Saat ini, sedikit demi sedikit kami berusaha bangkit. Kami berharap kepada pemerintah untuk bisa membantu kami sehingga kerajinan ini bisa eksis kembali,” pungkasnya.
Kembali ke persoalan bencana alam. Pemahaman dan kesadaran tentang mitigasi bencana sekali lagi menjadi hal yang sangat penting untuk terus dilakukan berbagai pihak. Kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan harus terus dibangun. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan anggaran, idealnya juga harus mempunyai program berkelanjutan tentang mitigasi bencana. Termasuk didalamnya, urgensi penegakan hukum yang mengatur tentang penataan kawasan.