Lingkungan(rebowagen.com)– Ciri fisik kawasan karst adalah tandus dan kering. Hal ini terkait sifat batuan karst yang mempunyai daya respon penyerapan air yang tinggi. Air hujan akan dengan cepat meresap atau mengalir lewat ‘luweng‘ (lubang vertikal), dan ditampung dalam cadangan air bawah tanah. Satu-satunya sumber air alami permukaan di kawasan karst adalah telaga. Di Kabupaten Gunungkidul, ada ratusan telaga yang mayoritas berada di kawasan selatan. Wilayah selatan Gunungkidul memang masuk dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang membentang dari sisi timur Kabupaten Bantul, terus ke timur Wonogiri, Jawa Tengah dan Pacitan, Jawa Timur.
Pada medio tahun 90an, dari pemerintah pusat dilaksanakan program revitalisasi telaga di Gunungkidul. Telaga-telaga banyak yang dikeruk dan dibangun permanen. Program ini sebetulnya mempunyai maksud baik, agar debit air telaga bertambah dengan cara pengerukan sedimentasi dan semenisasi dinding telaga. Pengerukan sedimentasi dasar telaga dimaksudkan agar telaga bertambah dalam sehingga debit airnya semakin bertambah. Sementara ‘semenisasi‘ dinding telaga mempunyai tujuan agar air telaga yang tertampung tidak meresap keluar.
Namun yang terjadi, program revitalisasi telaga ini justru malah memperparah keadaan telaga. Bisa dikatakan, 90 persen telaga yang dibangun akan cepat sekali mengering. Beberapa telaga yang dibangun namun tidak kering bisa dihitung dengan jari, misal Telaga Jonge di Kapanewon Semanu, Telaga Kemuning di Kapanewon Patuk, serta Telaga Namberan di Kapanewon Paliyan. Ketiga telaga yang saya sebut ini, meski airnya menyusut di musim kemarau tapi tidak mengering total. Hal ini dipengaruhi karena masih lebatnya vegetasi pohon besar di seputaran atau kawasan penyangga telaga.
Keringnya air telaga membuat banyak sekali warga yang merasa kehilangan. Saat ini, fungsi telaga memang tidak sepokok dulu untuk mencukupi kebutuhan air masyarakat. Kebutuhan air telah disediakan oleh jaringan Sambungan Rumah (SR) PDAM, meski di beberapa tempat, suplai air sering dikeluhkan belum merata.
Pada sisi lain, ikatan batin dan sejarah telaga selama ratusan tahun menemani perikehidupan warga tidak bisa hilang begitu saja. Apalagi sekarang, telaga difungsikan oleh masyarakat untuk tempat wisata dan event pemancingan berbayar.
Keringnya telaga di Gunungkidul menjadi keprihatinan banyak pihak. Dalam perjalanan ke berbagai telaga di Gunungkidul, saya sering mendengar semacam ungkapan kangen sebagian warga seputaran telaga. Mereka bercerita tentang aktivitas dan kenangan masa lalu di telaga di mana airnya masih lestari sepanjang musim Hal ini yang mendasari beberapa pemikiran dan upaya agar telaga yang kering di musim kemarau bisa kembali awet seperti dulu.
Pada Rabu pagi 24 Januari 2023, ratusan warga laki-laki, perempuan, anak-anak hingga dewasa bersama-sama turun ke Telaga Lemahmendhak, di Padukuhan Mranggen, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Gunungkidul. Mereka dengan bersemangat mengikuti agenda ‘Grebeg Telaga Lemahmendhak‘, saling berebut untuk menangkap ikan lele yang memang sengaja ditebar oleh panitia. Agenda ini bukan tanpa maksud, atau hanya sekedar gayeng-gayeng saja. Grebeg Telaga Lemahmendhak menjadi salah satu ikhtiar masyarakat agar air telaga tidak cepat mengering.
“Ini salah satu upaya kami agar telaga tidak cepat mengering di musim kemarau. Biasanya, jika tidak hujan dalam waktu satu bulan saja, air telaga menyusut dengan sangat drastis dan akhirnya mengering total,” kata Harjito, Ketua Pokdarwis Merak Ati yang mengelola Telaga Lemahmendhak.
Menurutnya, dulu, telaga Lemahmendhak memang ketika kemarau panjang airnya memang surut, tapi masih menyisakan sedikit air. Setelah dikeruk dan dibangun, air telaga menjadi begitu cepat mengering, dan benar-benar mengering total, bahkan dasar telaga menjadi ‘nela‘ (merekah).
“Kemarin kita taburi bibit ikan untuk event pemancingan, tapi belum ada satu bulan, air sudah surut hanya menyisakan sedalam mata kaki dan betis, akhirnya terpaksa kami buka pemancingan walau ikannya masih kecil-kecil,” lanjut Harjito
“Event Grebeg Telaga ini kami maksud agar dasar telaga bisa di ‘edrek’ (diinjak-injak) beramai-ramai. Maksudnya adalah agar tanah bisa menjadi lumpur dan ‘lemi’ yang nantinya bisa melapisi dasar telaga agar air tidak gampang meresap dan hilang,”
imbuh Sugiyanto, salah satu warga Padukuhan Mranggen
Sugiyanto juga menyampaikan, sistem ‘edrek‘ ini, akan lebih maksimal hasilnya jika sebelum di ‘edrek‘ dasar telaga ditaburi ‘damen‘ (jerami padi), atau daun daun hijau dan ‘lethong‘ (kotoran) sapi. Fungsinya adalah mengembalikan mikroorganisme tanah agar menjadi subur kembali dan bisa menjadi ‘lemi‘. Selain itu, pihak pengelola juga sudah melakukan beberapa kali agenda penanaman pohon konservasi di seputaran kawasan telaga.
Pada kesempatan itu, oleh Pemerintah Kalurahan Candirejo, telaga ditaburi setengah kwintal ikan lele berbagai ukuran. Juga disediakan berbagai hadiah untuk peserta ‘Festival Edrek Grebeg Telaga Lemahmendhak‘. Antusias dari warga 6 padukuhan tampak semangat sekali memenuhi telaga sambil ‘ngedrek‘ tanah dan berebut ikan.
Lurah Kalurahan Candirejo, Renix David Kurniawan yang ikut terjun ke telaga bersama masyarakatnya menyampaikan bahwa, Telaga Lemahmendhak memang diproyeksikan menjadi salah satu potensi wisata di wilayahnya. Namun, keringnya telaga menjadi PR tersendiri untuk program tersebut.
“Semampu kita, Pemerintah Kalurahan Candirejo berupaya menjadikan telaga hidup lagi tidak cepat surut. Setiap tahun selalu kita anggarkan stimulan bibit ikan untuk telaga-telaga yang ada di kalurahan Candirejo. Untuk Telaga Lemahmendhak kemarin, kita taburi setengah kwintal, dan kita panen bersama-sama masyarakat enam padukuhan. Ini upaya kami untuk mengawetkan telaga, dan hiburan gratis untuk masyarakat. Alhamdulillah masyarakat sangat antusias, kita adakan door prize juga,”
kata lurah yang terbilang masih sangat muda ini.
Ia juga berharap, kegiatan ini bisa diagendakan setiap tahunnya, dan bisa menyadarkan masyarakat untuk terlibat dan berupaya menjaga kelestarian telaga.
“Untuk fasilitas pendukung bagi wisata sudah mulai kita bangun, tapi namanya wisata air, ketika air telaga kering kan jadi tidak sesuai lagi,” lanjutnya.
Keringnya Telaga Lemahmendhak ini terjadi juga pada ratusan telaga di Gunungkidul. Bahkan, banyak bekas lahan telaga yang mengering sudah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, bangunan, lapangan dan yang lain. Program revitalisasi telaga memang bermaksud baik. Tapi ketika pengetahuan tradisional masyarakat lokal tidak dipakai dalam rencana pembangunan telaga, maka yang terjadi justru malah sebaliknya. Ekosistem makro telaga yang telah terbentuk secara alami selama ratusan tahun akhirnya berubah.
Terkait program revitalisasi telaga ini, saya tergelitik dengan sebuah artikel di https://bebasbanjir2025.wordpress.com. Artikel ini bersumber dari Agus Maryono dan Edy Nugroho Santoso (2006). Metode Memanen dan memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
Dalam artikel ini, beberapa telaga di Gunungkidul dijadikan obyek penelitian tentang tekhnik revitalisasi danau, telaga, atau situ kaitannya dengan memanen air hujan.
“Program ini sebaiknya dilakukan dengan konsep ekologi-hidraulik atau ekologi-hidrologi. Konsep ini diartikan sebagai upaya memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (flora-fauna) dan hidraulik-hidrologi (sistem keairan) penyusun danau, telaga, atau situ yang bersangkutan. Telaga atau situ dapat berfungsi menampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih masyarakat, meresapkan air hujan untuk pengisian air tanah, dan dapat berkembang menjadi wilayah ekosistem wilayah danau, situ dan telaga yang hidup dan lestari,”
“Dasar filosofi pengelolaan danau atau telaga termasuk juga situ secara ekologi-hidraulik adalah berorientasi pada danau alami yang ada. Artinya bahwa dalam pengelolaannya berangkat dari danau alami, bukan berangkat dari filosofi reservoir atau kolam tandon bangunan sipil-hidro. Segala kondisi yang ditemui pada danau, telaga atau situ alami coba diadopsi dan diterapkan pada telaga, danau atau situ yang direvitalisasi. Intinya adalah mengembalikan kondisi alamiah danau, telaga atau situ yang bersangkutan,”
Dua penggalan artikel di atas memang sangat relevan dengan keadaan yang terjadi. Revitalisasi telaga yang sudah dilakukan dan ternyata gagal bisa menjadi sebuah pelajaran. ‘Semenisasi‘ dinding telaga dengan maksud agar air di dalam tidak keluar, kenyataannya justru terbalik, karena sejatinya penyuplai air telaga berasal dari luar (kawasan penyangga). Dengan semenisasi ini, air hujan yang ditangkap vegetasi di kawasan penyangga akan sulit masuk ke dalam telaga. Semenisasi ini memang menerapkan sistem filosofi reservoir atau kolam tandon sipil-hidro. Artinya, kawasan telaga berusaha diubah untuk menjadi tandon air buatan bukan alami lagi.
Berikut artikel lengkap tentang revitalisasi telaga dengan sistem ekologi hidraulik. Dengan artikel ini, kita bisa memperbandingkan apa yang terjadi pada telaga-telaga di Gunungkidul saat ini. Tulisan ini bermaksud agar nantinya upaya untuk normalisasi telaga bisa terwujud, dan telaga bisa lestari secara alami. Semua komponen hayati terlindungi, saling mendukung dan menghidupi.
Danau atau telaga alami memenuhi kondisi ekologi hidraulik yaitu daerah tangkapan airnya bagus, komposisi dan heterogenitas tanamannya lengkap, belum ada penggundulan hutan dan sistem tata air dan drainasenya masih alamiah. Tumbuh vegetasi dan pohon-pohon besar yang melingkari danau atau telaga pada zona amphibi dan daratan (sempadan danau atau telaga) yang cukup rapat. Pohon dan vegetasi melingkar ini, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga ring.
- Ring pertama, pada umumnya ditumbuhi pohon-pohon besar yang biasa ada di daerah yang bersangkutan (misalnya pohon beringin di daerah Jawa).
- Ring kedua, dipenuhi dengan pohon-pohon yang lebih kecil dan relatif kurang rapat dibanding dengan ring pertama.
- Ring ketiga, atau ring luar berbatasan dengan daerah luar telaga, dengan tingkat kerapatan tanaman lebih jarang.
Jika kondisi vegetasi di sekeliling danau atau telaga ini punah, maka dapat dipastikan bahwa umur telaga akan memendek, baik disebabkan oleh tingkat penguapan dan suhu yang tinggi maupun tingkat sedimentasi yang tinggi.
Pada pengembangan danau, telaga atau situ untuk pariwisata sering dilakukan dengan membuat sarana prasarana pariwisata tanpa memperhitungkan ekologi danau, telaga, atau situ tersebut. Dampaknya, sarana-prasarana tersebut justru mengambil areal vegetasi dan menjadi pemicu rusaknya ring-ring ekologi danau, telaga, atau situ tersebut. Oleh karena itu, selain perbaikan daerah tangkapan air yang masuk ke danau, telaga atau situ, juga upaya melestarikan dan menumbuhkan pohon-pohon dan vegetasi di sekelilingnya baik pada ring pertama, kedua dan ketiga. Pengembangan sarana pariwisata hendaknya diletakan di luar ring ketiga dan hendaknya mengacu pada konsep eko wisata.
Dalam konsep eko-hidraulik pembuatan talud melingkar harus sejauh mungkin dihindari, karena bangunan ini akan mematikan ekosistem secara destruktif, disamping talud tersebut tidak efektif untuk menahan rembesan air secara horisontal. Justru dengan penanaman vegetasi yang sesuai dengan kondisi setempat dapat menurunkan rembesan horisontal secara efektif, menahan longsoran, menurunkan suhu, menahan air dan meningkatkan kualitas ekosistem. Demikian juga dengan cara pengerukan dan pelapisan aspal akan berakibat sebaliknya yaitu menurunkan kualitas ekosistem dan bahkan menahan base flow.
Dalam revitalisasi danau, telaga, dan situ, dalam konteks memanen air hujan dapat dilakukan dengan menumbuhkan dan memelihara ekologi daerah sempadan (bantaran) danau, telaga atau situ. Danau, telaga dan situ yang lestari dapat dilihat dari kesuburan daerah sempadannya. Pada ring pertama banyak ditumbuhi tanaman-tanaman besar yang rapat, pada ring lingkaran kedua sempadan tersebut ditumbuhi tanaman-tanaman keras yang lebih kecil dari ring pertama, dan pada ring ketiga daerah sempadan danau tersebut banyak ditemukan tumbuhan-tumbuhan produksi yang relatif rapat.
Perkembangan yang ada di Indonesia akhir-akhir ini adalah banyak sekali danau, telaga dan situ yang rusak karena pendangkalan oleh sedimen, pengurugan untuk dijadikan areal perumahan atau permukiman, direlokasi untuk ditukar guling, dijadikan tempat timbunan sampah, dialihfungsikan sebagai areal pertanian dan lain-lain. Perkembangan seperti ini akan menghilangkan manfaat danau, situ dan telaga secara drastis. Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi secepat mungkin sebelum semua terlambat sehingga tidak bisa direvitalisasi kembali.