Trend(rebowagen.com)– Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun, kesuksesan Film Avatar 1 membuat publik rela menanti sekian lama untuk menonton sekuel filmnya yang ke 2. Jika diibaratkan, rentang waktu tersebut sama dengan pertumbuhan anak dari bayi sampai lulus SD. Maka tidak mengherankan kabar dirilisnya sekuel kedua di akhir tahun 2022 disambut dengan penuh antusias oleh publik. Tak terkecuali dengan masyarakat Indonesia, akhirnya terjawab sudah penantian tersebut. Tepatnya pada 14 Desember 2022, Film Avatar 2, The Way of Water resmi tayang di bioskop seluruh Indonesia. Kabar tersebut tentu sangat melegakan bagi mereka yang memendam rasa penasaran selama bertahun-tahun.
Selang beberapa waktu, film tersebut ramai diperbincangkan. Mulai dari teknologi yang digunakan, pesan tersurat dan tersirat di dalamnya, sampai kehidupan tokoh utama yang mirip dengan Suku Bajo. Sebuah suku pengembara laut yang tersebar di beberapa wilayah Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara hingga ke Pantai Timur Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina). Sebagian besar aktivitas suku ini dilakukan di laut, bahkan bisa dikatakan bahwa laut adalah rumah bagi mereka. Kemahiran Suku Bajo hidup di laut tak diragukan lagi, menyelam ataupun berenang tanpa alat bantu.
Kehidupan Suku Bajo ini, diakui oleh James Cameron, sang sutradara Avatar yang mengilhaminya untuk membuat sekuel kedua Avatar. Bagi yang belum sempat melihat, perbincangan yang marak di sosial media semacam itu jelas memancing rasa penasaran tersendiri. Begitu pun dengan seorang teman saya. Namun bagi dia, perlu menonton sekuel pertama agar tidak kehilangan alur cerita film secara keseluruhan. Ternyata, dia sekalipun belum pernah menonton sekuel pertama yang sudah seumuran anak lulusan SD itu. Kebetulan, waktu itu dia mengajak saya menontonnya. Bagi saya, ini adalah kali kedua setelah 2013 lalu. Sebenarnya, saya pun sudah agak lupa-lupa ingat dengan alur ceritanya.
Selesai menonton, saya rasa film Avatar 1 ternyata juga masih berkaitan dengan Indonesia, tepatnya masyarakat Gunungkidul. Jadi, kalau Film Avatar 2 terkait dengan kehidupan Suku Bajo, maka Film Avatar 1 terkait dengan Pohon Resan di Gunungkidul. Sedikit kesimpulan itu saya dapatkan sendiri khususnya setelah berinteraksi dengan Komunitas Resan Gunungkidul beberapa waktu lalu.
Vitraya Ramunong dan Pohon Resan
Dalam Film Avatar 1, kita diperlihatkan dengan pohon besar yang berada di tengah hutan. Klan Omaticaya sebagai penduduk asli Pandora, menyebut pohon itu dengan Vitraya Ramunong atau Tree of Souls atau Pohon Jiwa.
Keberadaan Vitraya Ramunong sangat dilindungi Klan Omaticaya karena berperan penting dalam peri kehidupan mereka. Pohon tersebut dapat menghubungkan mereka dengan Eywa. Mereka percaya bahwa Eywa atau All-Mother atau Great Mother adalah dewa yang mempunyai kekuatan biologis untuk menjaga kehidupan atau ekosistem Pandora. Melalui Eywa, mereka juga dapat berkomunikasi dengan seluruh makhluk Pandora serta para pendahulunya.
Vitraya Ramunong juga berfungsi sebagai rumah atau Hometrees atau Kelutral bagi klan Omaticaya dimana sang tokoh utama berada. Dapat dikatakan pohon tersebut menjadi pusat peradaban yang memiliki nilai sejarah. Sehingga terbentuklah keterikatan yang kuat di antara keduanya.
Keterikatan serupa juga terdapat di masyarakat Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Mereka memiliki hubungan khusus dengan pohon tertentu, yang disebut ‘Pohon Resan‘. Pohon raksasa berusia puluhan, bahkan ratusan tahun yang tumbuh di tempat-tempat tertentu. Dalam Bahasa Jawa, Resan merupakan turunan dari kata dasar “rêksa” yang berarti “rangkul” atau “jaga”.
Pohon Resan berasal dari jenis beringin, trembesi, jambu alas, gayam, randu, bambu, timoho, asem, kepuh, bulu, kepuh dan beberapa lainnya. Dari catatan Komunitas Resan Gunungkidul, setidaknya, 548 dari 1.431 dusun di Gunungkidul menggunakan nama dari jenis pohon Resan atau pun tumbuhan lainnya sebagai nama daerah.
Hal tersebut berkaitan dengan peran pohon Resan sebagai spesies kunci (keystone species) yang dapat memelihara keseimbangan ekosistem. Pohon tersebut bermanfaat untuk menjaga sumber air, tanah, penghasil oksigen, penyerap karbon serta mitigasi bencana longsor. Pohon mempunyai fungsi sangat kompleks, sehingga dapat mengurangi dampak bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor yang kerap melanda wilayah Gunungkidul.
Pohon Resan juga memiliki nilai sejarah tersendiri, misalnya pohon beringin yang berada di Padukuhan Seneng, Kalurahan Siraman, Kapanewon Wonosari. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pohon tersebut berkaitan dengan Ki Rangga Puspawilaga dan Nyi Rara Ireng, tokoh bersejarah dalam berdirinya Pasar Seneng atau biasa disebut Pasar Kawak sebagai cikal bakal Pasar Argosari Wonosari.
Baik klan Omaticaya atau pun masyarakat Gunungkidul menempatkan pohon sebagai sesuatu yang sakral. Hal ini dapat kita lihat dari cara mereka memperlakukannya. Seperti saat Vitraya Ramunong dikelilingi klan Omaticaya sembari melakukan ritual dengan merapalkan mantra. Melalui cara itu, mereka mengharap keampuhan dari pohon tersebut dapat menyelamatkan Grace Augustine yang tengah sekarat.
Perlakuan khusus semacam itu juga dilakukan masyarakat Gunungkidul terhadap pohon Resan. Hal itu tercermin dalam tradisi adat atau ritual budaya yang mereka lakukan. Pohon Resan dianggap sebagai penanda sejarah perjuangan leluhur dalam ‘babad alas‘ untuk pemukiman. Salah satu budaya menghormati atau menjaga pohon adalah dengan tradisi ‘nglangse‘. Tradisi ini dilakukan dengan cara melilitkan ‘langse‘ atau kain putih pada batang pohon. Kearifan lokal tersebut mengisyaratkan agar kita tidak memperlakukan pohon secara sembarangan.
Kembali ke film Avatar, aksi penyelamatan pohon menuju klimaks, kita dipertontonkan dengan kebrutalan pasukan Security Operations atau SecOps saat menyerang Utral Aymokriyä atau Tree of Voices atau Pohon Suara. Tentu saja, keberadaan pohon tersebut sangat penting bagi Klan Omaticaya. Sama halnya Vitraya Ramunong, pohon tersebut juga menjadi rumah sekaligus pusat peradaban mereka.
Sesuai rencana SecOps, peristiwa tersebut berhasil memancing amarah Klan Omaticaya sehingga terjadi peperangan. Bagi klan Omaticaya, peperangan tersebut salah satunya demi menjaga keberadaan Vitraya Ramunong. Hal ini dapat dikatakan sebagai aksi penyelamatan pohon yang memiliki peran penting dalam peri-kehidupan mereka.
Hal serupa juga dilakukan komunitas Resan Gunungkidul bersama masyarakat. Namun, tidak melalui jalan peperangan layaknya Klan Omaticaya. Mereka menempuh aksi damai, bergotong royong untuk menyelamatkan keberadaan pohon Resan yang tidak kalah penting bagi mereka.
Seperti beberapa aksi penyelamatan mereka terhadap pohon beringin pada 2021 lalu. Pohon Resan tersebut diracun oleh seseorang hingga terancam kematian. Maka dilakukanlah penyulaman menggunakan 207 bakal atau bibit resan pada batang, kulit, dan sekeliling pohon tersebut. Mereka juga melakukan aksi lain dalam upaya penyelamatan pohon Resan yang akan ditebang karena dijual. Aksi yang lain adalah melalui penanaman bibit pohon Resan di tempat yang dekat dengan sumber air atau tempat rawan longsor. Hal ini merupakan cara untuk mengembalikan keberadaan pohon tersebut pada habitatnya.
Aksi penyelamatan sekaligus upaya pemulihan alam tersebut telah dilakukan Resan Gunungkidul sejak 2018 lalu. Setidaknya, lebih dari 15 ribu bibit pohon sudah mereka tanam sampai tahun 2022.
Peperangan klan Omaticaya bersama makhluk Pandora sama halnya dengan upaya pemulihan alam yang dilakukan Resan Gunungkidul bersama masyarakat. Sejatinya, mereka ingin menghindarkan alam dari kerusakan. Berjuang demi kelestarian alam yang telah menjadi ruang hidup dan memberi kehidupan, bukan hanya untuk saat ini, tapi juga untuk keberlangsungan kehidupan generasi.