Lingkungan(rebowagen.com)– Sosok-sosok makhluk mengerikan itu bernama Gollum. Ia adalah makhluk ‘perayap’ dinding gua bawah tanah yang gelap abadi di wilayah terpencil bernama Appalachians. Gollum bersembunyi dalam hitamnya bayangan. Menyerang mangsa dan kemudian memakannya mentah-mentah. Gollum mempunyai kulit dan mata berwarna putih, karena tidak kenal dengan sinar matahari. Mereka berburu pada malam hari, menyerang hewan ternak dan membawa hasil buruannya ke dalam gua bawah tanah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Enam orang petualang yang terjebak dalam Gua Appalachians dalam sebuah ekspedisi, akhirnya harus berjibaku dengan ketakutan dan maut, karena Gollum menjadikan mereka sebagai mangsa buruan.
Penggalan diatas adalah sedikit sinopsis dari cerita film The Descent. Sebuah film thriller dengan mengambil seting gua bawah tanah dengan segala kesuraman dan kegelapan yang menguasainya. Film ini bercerita tentang enam wanita petualang yang terjebak dalam ekspedisi penelusuran gua bawah tanah belum terjamah di daerah terpencil bernama Appalachians. Nuansa horor dan seram dibangun dalam suasana suram dan gelap. Konflik internal antar tokoh, dan kehadiran Gollum yang memburu mereka untuk dijadikan mangsa, menjadikan The Descent sukses membius penonton dan membawa imajinasi kengerian yang betul-betul mencekam.
Film horor yang ditulis dan disutradarai oleh Neil Marshal ini, sequel pertamanya dirilis tahun 2005. Adegan demi adegan dalam The Descent sukses menghadirkan suasana kengerian tentang phobia ruang gelap dan sempit (clausthrophobia). Alur cerita film, terbangun apik dari konflik internal dan masa lalu yang membayangi para tokohnya dalam upaya bertahan hidup dan mencari jalan keluar. Hal ini menjadikan The Descent bukan sekedar tontonan yang menyajikan kengerian, tapi ada pesan tersirat tentang keangkuhan egoisme manusia terhadap alam dan rahasia-rahasia yang tersimpan di dalamnya.
Cerita Mbah Sumiyar
“Iwake sidat sak glugu-glugu, gur do meneng bae, nek iwak lele utawa nila wernanĂ© putih (ikannya sidat sebesar batang pohon kelapa, cuma pada diam saja, kalau ikan lele atau nila warnanya putih)” begitu kata Mbah Sumiyar. Ia adalah ‘juru kunci‘ Kali Baron, yang terletak di Kalurahan Kemadang, Kapanewon Tanjungsari, Gunungkidul.
Kali Baron adalah sebuah muara sungai bawah tanah yang muncul di bawah tebing sebelah kanan pantai Baron, Gunungkidul. Jika tidak sedang banjir, maka bagi beberapa orang yang bernyali bisa masuk ke dalam ruang gua yang merupakan muara sungai bawah tanah. Beberapa waktu lalu, secara tak sengaja saya sempat ngobrol dengan Mbah Sumiyar, ia adalah salah satu orang yang berani untuk masuk ke dalam gua. Menurutnya, hanya beberapa orang saja yang pernah masuk dan itupun tidak terlalu jauh, hanya sekitar 1 Kilometer ke dalam.
“Njerone niku mbingungke mas, peteng, kula nak mlebet kedah mbeta senter sing padang. Teng njero katah lorong-loronge, wonten sing jembar, wonten sing ciut, nak mboten biasa ta saget ilang, mboten isa bali”
(di dalam gua itu membingungkan mas, gelap, saya kalau masuk harus membawa senter yang terang. Di dalam banyak lorong-lorongnya, ada yang lebar, ada yang sempit. Kalau tidak biasa bisa tersesat dan hilang tidak bisa kembali)
cerita Mbah Sumiyar.
Lelaki yang saya perkirakan berusia lebih dari 60 tahun ini masih tampak sehat dan kuat. Badannya yang tidak terlalu besar, bahkan bisa dikatakan kurus kelihatan berotot dan liat dalam balutan kulitnya yang hitam. Mbah Sumiyar memang akrab dengan Pantai Baron dan sekitarnya. Selain memiliki beberapa kios di pantai, ia sering membantu Tim SAR jika ada kecelakaan laut yang terjadi. Ia juga dianggap sebagai ‘orang tua‘ atau ‘sesepuh‘ bagi warga Kalurahan Kemadang dan sering dimintai pertolongan terkait hal-hal yang bersifat ghaib.
Cerita yang disampaikan Mbah Sumiyar tentang gua muara sungai bawah tanah Pantai Baron, tentu agak berbau mistik, dan jika ingin membuktikannya harus ikut masuk ke dalam ruang gua.
Video Muara Kali Baron yang meluap (sumber: @updatedisini)
“Mboten Mbah, mboten wantun (tidak Mbah, tidak berani)” saya langsung menolak saat ditawari kapan-kapan kalau ingin ikut masuk. Selain tidak berani, saya juga sama sekali tidak punya pengalaman atau peralatan ‘caving‘ atau penelusuran gua bawah tanah. Disamping memang, jujur saya sendiri merasa tidak nyaman jika berada di dalam ruang yang sempit dan gelap, meski belum masuk kategori ‘clausthrophobia‘.
Obrolan dengan Mbah Sumiyar mengingatkan akan film The Descent yang dulu pernah saya tonton. Meski tentu tak sedramatis adegan film, tapi saya mulai membayangkan tentang sebuah alam kehidupan bawah tanah yang ada di Gunungkidul. Ikan sidat sebesar batang pohon kelapa, atau ikan-ikan lain yang berwarna putih karena tidak pernah terkena sinar matahari yang disebut oleh Mbah Sumiyar, mulai tergambar di imajinasi saya. Makhluk-makhluk itu bisa dikatakan masih berada pada pintu keluar gua, karena Mbah Sumiyar baru masuk sekitar 1 km dari muara. Sedangkan sedikit yang saya tahu, jalur sungai bawah tanah ini hulunya berada di wilayah utara Gunungkidul. Dengan kata lain, rongga-rongga dan ruang-ruang bawah tanah ini mempunyai panjang puluhan kilometer. Imajinasi saya semakin liar membayangkan, ada kehidupan apa di ruang-ruang gelap abadi yang bisa dikatakan belum pernah ada yang memasukinya atau dengan kata lain sama sekali belum terjamah.
Diketahui bahwa, Sungai Baron bukan satu-satunya sungai bawah tanah yang bermuara di pantai atau laut selatan Jawa. Pernah saya ke Pantai Renehan, di wilayah Kalurahan Kanigoro, Kapanewon Saptosari. Waktu itu air laut berwarna keruh seperti banjir, menurut seorang nelayan, sekitar 200 meter dari bibir pantai terdapat muara sungai bawah tanah yang muncul, sehingga ketika sungai itu banjir air laut berubah menjadi keruh. Teman saya yang seorang pemancing juga pernah bercerita, saat memancing di laut selatan juga ada beberapa titik spot yang disebut ‘umbul‘. Titik ini merupakan muara sungai bawah tanah yang muncul di dasar laut.
“Itu titik spot mancing favorit, karena banyak ikan yang berkumpul, kalau nelayan pasti hafal titik-titik ini,” kata temanku
Topografi geografis Gunungkidul
Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1485,36 km² atau sekitar 46,63% dari seluruh wilayah DIY. Dibanding tiga kabupaten yang lain, wilayah Gunungkidul adalah yang terluas. Secara geografis, wilayahnya dibagi dalam tiga zona, yakni Batur Agung Utara, Ledoksari Tengah dan zona Pegunungan Seribu (Gunung Sewu). Di bagian selatan, wilayahnya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, dengan garis pantai sepanjang lebih dari 70 km.
Bumi Gunungkidul terbentuk dari proses geologi pengangkatan kerak bumi yang berlangsung selama jutaan tahun. Topografi permukaannya merupakan dasar laut yang terangkat karena desakan geologi dari dasar bumi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil hewan laut di atas bukit-bukit seribu wilayah selatan Gunungkidul, serta jejak aliran Bengawan Solo purba yang dulunya bermuara di Pantai Sadeng wilayah Kapanewon Girisubo
Melalui proses ini, akhirnya terbentuk ragam jenis karakter wilayah yang membagi Gunungkidul dalam tiga zona di atas. Pada bagian selatan, terdapat ratusan gua vertikal yang oleh warga lokal disebut ‘luweng‘, atau ‘puser bumi‘, orang tua dulu sering mengatakan kalau ‘luweng‘ adalah lubang untuk ‘lemah ambegkan‘ (lubang untuk bumi bernafas). Lubang-lubang ini mempunyai ragam ukuran, mulai dari kecil maupun besar yang terhubung dengan jalur sungai bawah tanah sebagai sistem drainase alami. Beberapa sungai bawah tanah kadang juga muncul sebagai sungai permukaan sebelum masuk ke dalam perut bumi.
Kali Ngreneng, bagian dari hulu Sungai Baron
Dalam beberapa tahun terakhir, di Gunungkidul sering terjadi beberapa fenomena alam terkait siklus hidrologi. Mulai dari banjir, baik luapan sungai permukaan akibat rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS), maupun banjir genangan akibat tertutupnya ‘luweng‘ sehingga sistem drainase alami air hujan terganggu. Awal bulan lalu juga ada fenomena air yang memancar (squirting) dari bawah tanah yang diakibatkan tekanan air akibat jalur air bawah tanah kemungkinan tersumbat.
Penasaran dengan fenomena ini membawa perjalanan saya sampai di Kali Ngreneng, Padukuhan Wediutah, Kalurahan Ngeposari, Kapanewon Semanu, Gunungkidul. Sebuah kali bawah tanah yang menampakkan diri di antara dua belahan bukit. Akibat hujan, aliran sungai bawah tanah ini sempat meluap dan merendam akses jalan serta lahan pertanian penduduk.
Fenomena air yang memancar (squirting) sungai bawah tanah di Semanu (video oleh warga sekitar)
Pada awal bulan Desember lalu, saya sampai di Kali Ngreneng dengan ditemani seorang kawan dari Karangmojo, yang biasa saya panggil Nyemuk. Hujan deras yang mengguyur sempat membuat Kali Ngreneng meluap. Pada badai Cempaka tahun 2017, Kali Ngreneng memang pernah meluap cukup tinggi, hingga airnya merendam pucuk pohon-pohon jati dan tiang listrik di sekitarnya. Untuk tahun ini, luapan memang tidak setinggi tahun 2017, namun genangan air yang biasanya cepat surut mengalir masuk ke perut bumi, kali ini sampai tiga hari belum menunjukkan tanda akan surut secara signifikan.
Saat kami tiba di lokasi, terlihat air masih menggenangi jalan cor blok yang berada di samping atas kali sehingga akses jalan tertutup. Menurut cerita Nyemuk, sungai yang muncul di antara dua bukit ini jika tidak meluap airnya sangat jernih. Ia sering sekali ‘jeguran‘ (mandi) di Kali Ngreneng. Titik sumber air keluar dari bukit sebelah utara dan masuk ke kaki bukit sebelah selatan menjadi sungai bawah tanah kembali.
“Tepat pada titik sumber air keluar diatasnya ada resan pohon timo yang besar, dan itu pohon timonya sampai terendam tinggal kelihatan pucuknya,” kata Nyemuk sambil tangannya menunjuk pucuk pohon yang terendam air. Kami berada di punggung bukit sebelah utara sambil mengamati dari atas.
Kali Ngreneng pada saat kondisi normal
“Hati-hati, jangan terlalu ke pinggir airnya sangat dalam,” ucap Nyemuk mengingatkan saya ketika melongok di tepi jurang mengamati air di bawah. Saya juga bisa membayangkan, betapa air yang meluap mengisi celah antara dua bukit ini tentu dalamnya mencapai puluhan meter, sehingga pohon timo saja hanya terlihat bagian pucuknya.
“Niki sampun tigang ndinten mas, naming dereng rot (ini sudah tiga hari mas, tapi kok belum surut)” kata seorang warga yang kebetulan kami jumpai di lokasi.
“Menawi ingkang banjir ageng nggih tahun 2017 nika, toyane dugi ndhuwur, cagak listrik nika we klelep (kalau luapan banjir yang besar ya tahun 2017 lalu, airnya sampai atas, tiang listrik itu terbenam)” lanjutnya lagi sambil menunjuk tiang listrik di belakang kami.
Mbah Adi Suwito, begitu ia memperkenalkan diri saat kemudian kami mengobrol sambil merokok, ia adalah warga Padukuhan Wediutah, menurutnya, Kali Ngreneng sejak dulu tidak pernah meluap seperti ini. Kejadian pertama kali di tahun 2017, setelah itu, saat terjadi hujan dengan intensitas tinggi, Kali Ngreneng kemudian akan meluap lagi.
“Kira-kira kebuntetan napa nggih Mbah kaline ( kira-kira tersumbat apa ya Mbah, aliran sungainya)” tanya saya penasaran.
“Waduh, mboten mangertos kula mas, jarene niku turutane kali mengidul mrika gek tembus segara (waduh, tidak tahu saya mas, katanya aliran sungai itu ke selatan sana, terus tembus ke laut)” jawabnya sambil pamit kepada kami untuk meneruskan niatnya ke ladang mencari pakan ternak-ternaknya
Dari Kali Ngreneng, kami melanjutkan perjalanan ke Sindon atau sering disebut Bribin 2. Lokasi ini adalah pengeboran sungai bawah tanah yang digunakan oleh PDAM Tirta Handayani Gunungkidul untuk jaringan Sambungan Rumah (SR) warga wilayah selatan Gunungkidul. Sindon dibor oleh tekhnisi dari Jerman dimulai tahun 2002 dan diresmikan tahun 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI waktu itu
“Kedalaman pengeboran 104 meter, dengan diameter lubang selebar 2,5 meter, untuk turun harus menggunakan lift,”
kata Fendi, salah seorang penjaga Sindon yang kami temui.
Pria asal Kabupaten Bantul ini sudah puluhan tahun bertugas di Sindon. Ia kemudian banyak bercerita tentang suka duka menjadi penjaga sumber air yang menjadi salah satu andalan PDAM Gunungkidul untuk mencukupi kebutuhan air sebagian warga yang memasang jaringan SR.
“Ini memang satu jalur dengan Kali Ngreneng, dan pengeboran Bribin I, airnya diangkat untuk mensuplay pelanggan PDAM daerah selatan, kalau pengeboran di Seropan yang untuk mensuplay air daerah tengah, sungai bawah tanah Seropan yang dibor sudah beda jalur dengan Bribin,” kata Fendi lagi.
Fendi mengaku, sudah tak terhitung lagi ia dan teman-temannya harus turun ke dalam perut bumi untuk mengecek alat atau memperbaiki instalasi yang rusak. Ceritanya, aliran sungai bawah tanah ini dibendung selebar 12 meter, kemudian dengan tekhnologi ‘mikrohidro‘ air akan dipompa ke atas untuk ditampung di ‘reservoir‘ yang selanjutnya baru disalurkan ke rumah-rumah pelanggan. Aliran air sungai bawah tanah ini menurut Fendi merupakan sungai yang besar dengan debit air melimpah. Pada gempa tahun 2006, ada runtuhan batu yang menutup aliran sungai, sehingga air sempat meluap naik. Oleh teknisi dari Angkatan Laut, batu yang menyumbat terpaksa diledakkan, sehingga aliran air bisa kembali lancar. Sungai bawah tanah ini mengalir ke arah timur, pada jarak sekitar 500 meter, ada pintu gua alami permukaan yang sering disebut Luweng Sindon. Cerita Fendi, sering ada pecinta alam terutama penghobi ‘caving‘ yang masuk ke luweng Sindon ini hingga sampai ke aliran sungai bawah tanah di dasar luweng
Kami kemudian diizinkan untuk masuk ke ruang pengeboran Sindon. Ruangan terasa bergetar seperti gempa, suara aliran air dibawah terdengar bergemuruh hingga mengakibatkan kaca-kaca jendela ruangan bergetar
“Ini belum seberapa, saat banjir besar tahun 2017, akibat aliran sungai bawah tanah meluap seluruh kompleks Sindon bergetar seperti akan runtuh. Bahkan sampai dipasang garis polisi, agar tidak sembarang orang bisa masuk, hal ini berlangsung sampai lebih dari satu minggu,”
cerita Fendi.
Luweng Sindon
Penasaran dengan Luweng Sindon, kami kemudian menyusuri ladang jagung untuk melihat luweng yang berada di dasar sebuah jurang. Sambutan ramah seorang petani yang sedang beristirahat di sebuah gubuk menyambut kami di tengah kebingungan untuk mencari jalan ke arah luweng. Mbah Tukino demikian kami mengenalnya setelah mengobrol beberapa saat. Beliau bercerita bahwa kawasan ladang ini adalah miliknya, termasuk kawasan pengeboran Sindon, dulu adalah tanah milik adiknya yang kemudian dibeli oleh negara.
“Mriki niki namine Alas Singgongan, nek Luweng Sindon mrika nika, mandhap terus, namung mergine angel, mangga kula terke (disini namanya Alas Singgongan, kalau Luweng Sindon turun terus, tapi jalannya sulit, mari saya antar)” kata Mbah Tukino sambil mengikat pakan ternak dan kemudian mengangkatnya di atas kepala. Kami kemudian berjalan membututi di belakang Mbah Tukino
Sambil meniti jalan setapak tanah berbatu, Mbah Tukino bercerita bahwa Luweng Sindon adalah sebuah gua yang mempunyai ruang datar (horizontal) dari pintu masuknya sekitar panjang 10 meter, untuk kemudian menjadi semacam lubang sumur yang sangat dalam, yang terhubung ke jalur sungai bawah tanah di dasarnya
“Mangkih ampun mlebet nggih, teng njaba mawon, ndak gejegur isa langsung ilang (nanti jangan masuk ya, diluar saja, bisa jatuh dan langsung hilang)”
pesan Mbah Tukino wanti-wanti kepada kami.
Luweng Sindon berada di dasar sebuah jurang dengan gerumbul tanaman yang sangat rimbun. Mbah Tukino tidak mengantar kami ke bawah, tapi memandu dari atas dengan patokan pohon-pohon yang kami jumpai. Di tengah perjalanan saya terpaksa mengundurkan diri, seluruh tubuh saya yang tidak terlindungi pakaian bentol-bentol karena sengatan nyamuk hutan yang tak terhitung jumlahnya. Rasa gatal dan panas membuat saya sangat tersiksa dan tidak fokus terhadap sekeliling. Saya kemudian mengundurkan diri kembali ke tempat terbuka. Sementara Nyemuk terus maju, entah kenapa ia bisa tahan dengan sengatan nyamuk sialan ini.
Sejurus kemudian, Nyemuk berteriak dari bawah mengabarkan bahwa ia sudah menemukan pintu Luweng Sindon.
“Mas, nak pun ketemu gek njenengan jak bali rencange. Kula tau reti sawer ageng teng sekitar cangkem luweng (mas, kalau sudah ketemu terus temannya diajak naik saja, saya pernah melihat ular besar di sekitar mulut gua)” ucapan Mbah Tukino membuat saya berteriak keras kepada Nyemuk untuk saya ajak kembali. Ia kemudian membalas teriakan saya untuk sebentar lagi naik karena baru mengambil dokumentasi.
Kami kemudian pamit meninggalkan kawasan Sindon, bentol dan gatal seluruh tubuh saya adalah penderitaan yang sangat menyiksa sepanjang perjalanan. Tak ada persiapan apapun memang dalan perjalanan ini, sebuah botol kecil minyak kayu putih secara tak sengaja saya temukan di dalam tas. Dan olesan minyak sedikit mengurangi siksaan panas dan gatal yang tak kunjung mereda.
Sistem bawah tanah yang kelestariannya tergantung pengelolaan permukaan
Tiga titik yang kami kunjungi, yakni Kali Ngreneng, pengeboran Bribin II dan Luweng Sindon, memberikan sedikit gambaran tentang dunia bawah tanah di Gunungkidul. Tiga tempat ini adalah salah satu jalur sungai bawah tanah, yang menurut peta yang saya lihat di kantor pengeboran Bribin II bermuara di Pantai Baron. Menurut Nyemuk, Kali Ngreneng bukan ujung hilir dari sistem sungai ini. Di atasnya masih ada Gua Jlamprong, dan beberapa titik luweng di daerah Karangmojo dan Ponjong.
Dalam perjalanan ini, saya sedikit mendapat pengetahuan tentang sistem hidrologi bawah tanah Gunungkidul. Ujung muara yang diceritakan oleh Mbah Sumiyar dan ujung hilir yang kami kunjungi. Di tengahnya, jalur atau sistem sungai bawah tanah yang mempunyai panjang puluhan kilometer adalah dunia gelap abadi yang belum terjamah. Dan sistem sungai ini hanya salah satu dari puluhan bahkan mungkin ratusan atau ribuan sistem atau jalur-jalur air berupa sungai, danau ataupun rongga-rongga gelap dengan rahasia purba yang tersimpan abadi.
“Banyak alasan kawasan karst harus dilestarikan. Daya dukung lingkungan harus diperhatikan demi keberlanjutan pencapaian keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan. Karst adalah bagian dari ekosistem. Tangki raksasa penyimpan air bawah tanah. Tempat tinggal berbagai flora dan fauna langka, kawasan mineral tak terbarukan dan wilayah kunci untuk mengetahui sistem hidrologi kawasan. Karst juga menjadi tempat untuk mempelajari masa lalu, karena manusia prasejarah sangat intens dengan kawasan karst. Banyak bukti jejak sejarah yang ditinggalkan dalam gambar pada dinding-dinding gua, fosil, keramik kuno, gerabah, candi ataupun bangunan lainnya”
Sistem hidrologi bawah tanah Gunungkidul memang tak bisa lepas dari kawasan Karst yang membentuknya. Geografis berupa batuan kapur yang dikenal kering dan tandus karena kurangnya sumber air permukaan, ternyata menyimpan cadangan air bawah tanah yang melimpah di bawahnya. Pengelolaan kawasan harus mempertimbangkan azas kelestariannya. Ngawur, atau semena-mena dalam cara memanfaatkan kawasan karst akan sangat riskan mengundang bencana.
Pertambangan batu kapur dalam skala besar akan membuat lapisan karst menipis, sehingga filter cadangan air tanah akan semakin berkurang fungsinya. Bahan peledak yang digunakan untuk menghancurkan bukit pada pembukaan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS), jika terus dilakukan tentu getaran ledakan akan mempengaruhi struktur alami rongga-rongga bawah tanah menjadi rentan runtuh atau ambrol. Dan jika itu terjadi, jalur sungai akan tertutup, aliran air akan tersumbat dan meluap ke permukaan menjadi bencana banjir genangan. Dan fakta yang terjadi, akhir-akhir ini banjir genangan sudah mulai banyak terjadi di Gunungkidul. Saya membayangkan, jika sistem drainase bawah tanah ini banyak yang tersumbat, maka jika hujan turun dengan intensitas tinggi, Gunungkidul bisa tenggelam karena banjir genangan.
Kebijakan peninjauan kembali luasan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) oleh Pemkab Gunungkidul harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Dibutuhkan berbagai pertimbangan dan kebijakan yang visioner agar Gunungkidul tidak kehilangan ruang hidup yang ideal bagi masyarakatnya. ‘Sak kepel cunthel, sak upa dawa‘ adalah filosofi leluhur yang kiranya tepat diterapkan untuk pengelolaan kawasan Karst. Filosofi yang mengandung makna tentang kelestarian, suistainable, ‘dipangan awet‘ untuk masa depan lingkungan sebagai ruang hidup bersama dan ideal bagi kita sekarang dan generasi mendatang.