Sosial(rebowagen.com)– “Ayo cepat, kita sudah ditunggu Mbak Ida,” seruku pada Rizky yang sedang kebingungan mencari jas hujan. Setelah semua bekal dan peralatan pribadi masuk ke dalam tas, kami kemudian berboncengan sepeda motor menerobos hujan yang tak juga mereda, Sabtu, 12 November 2022 lalu.
Jauh hari sebelumnya, kami memang telah berencana mengikuti agenda “Spel Wayang Resan & Penanaman Tanaman Konservasi” di Padukuhan Kedungwanglu, Kalurahan Banyusoca, Kapanewon Playen, Gunungkidul.
Sekitar pukul 16.00 WIB, kami meninggalkan asrama Ratnaningsih Sagan, Terban, Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Hujan kembali menderas dalam perjalanan, saking derasnya aku seperti merasakan airnya menembus mantol yang kukenakan. “Hujan adalah berkah“, kalimat dari Rizky sebelum berangkat seperti sebuah yel-yel yang menyemangatiku. Rizky adalah temanku se-asrama, kata teman-teman kami adalah ‘bestie‘ yang tak terpisahkan. Aku tersenyum membayangkan Rizky yang sedang kubonceng meringkuk dalam jas hujannya yang kegedean.
Setelah beberapa saat, akhirnya aku mulai bisa menikmati suasana perjalanan. Berinteraksi langsung dengan hujan, rasanya ada sensasi tersendiri, karena di saat itulah sentuhan dan pelukan semesta merasuk ke tiap nadi raga ini. Entah akan ada kejutan apa lagi dari keberkahan hujan kali ini, pikirku.
Sebelum berangkat, kami melihat maps sepanjang Jl. Colombo dan Jl. Laksda Adisucipto macet parah. Lantas kami berniat melewati jalan lain, yaitu Jl. Lembah UGM menuju Selokan Mataram. Karena jarang melewatinya, aku pun tak tahu jika jalanan di sana banjir saat hujan. Motorku masih melaju cepat dan alhasil ‘bruuuusshhhh’, menerjang air. Ramainya jalan dan derasnya hujan membuatku tak melihat jelas jalanan itu. Lalu, kulambatkan laju motor sembari menjaga keseimbangan.
Baru beberapa meter melaju menerobos banjir, motorku mati dan macet di tengah jalan. Untung saja kendaraan di belakang tidak melaju cepat. Beberapa kali kucoba hidupkan lagi dan melaju pelan, meskipun macet berkali-kali. Sampai akhirnya, kuputuskan berhenti dan berteduh di depan TK Aba Karangmalang.
“Duhh, gimana Jii…,harus nyari bengkel ini,” ucap Rizky bingung, padahal aku sendiri juga bingung mau bagaimana.
Kami adalah mahasiswi yang masih culun, tak tahu sama sekali soal bengkel-membengkel. Selama ini, yang kami tahu hanya menstater sepeda motor, hidup, lalu ngengg… jalan.
“Tenang, ini adalah bagian dari petualangan,” begitu pikirku untuk menenangkan diri. Akhirnya, aku dapat ide, di tengah bisingnya hujan, aku menghubungi ayah dan bertanya apa yang harus dilakukan untuk mengatasi motor macet itu. Kemudian, beliau memberi arahan untuk membersihkan kabel busi, karena kemungkinan besar pasti kemasukan air. Dan benar saja, setelah membersihkan kabel busi hanya dengan tisu dan kunci motor agar bisa membersihkan bagian dalam, motornya langsung nyala dan bisa jalan lagi.
“Mari kita lanjutkan petualangan Riz…,” ujarku riang yang disambut Rizky dengan semangat.
Masih dengan rintik hujan, kami melanjutkan perjalanan ke Gunungkidul. Sebenarnya, aku sudah janjian dengan Mbak Ida dan Mbak Aulia untuk bertemu di Janti. Karena di sana mati listrik, sinyal internet pun ikut terganggu. Alhasil, kita pun bertemu di tengah jalan sebelum masuk Imogiri. Mbak Ida berboncengan dengan Mbak Aulia. Dua motor kami berjalan beriringan melewati jalan yang bisa dibilang cukup ekstrim. Kata orang-orang, jalan itu disebut jalur ‘Cino Mati’.
Hari sudah mulai gelap, jalan sempit, menanjak, serta kabut tebal mulai turun. Terus terang aku merasa sedikit ngeri, beruntung hujan tinggal rintik-rintik. Aku membayangkan, jika saat itu siang hari sudah dipastikan pemandangan sepanjang jalan ‘Cino Mati’ pasti di dominasi oleh tebing curam. Ini adalah pengalamanku pertama melewati jalur ini.
“Belum sampai lokasi saja jalannya sudah begitu ekstrim, setelah hujan jalanan juga licin,” kata Mbak Ida, setelah kami sampai di Taman Madubronto. Di sini kami beristirahat sejenak sambil menunggu teman Resan Gunungkidul yang akan menjemput menunjukkan jalan sampai ke lokasi kegiatan.
Tidak berselang lama, teman Resan Gunungkidul tiba dengan mobil berwarna merah. Setelah mengobrol sejenak, kami kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Mobil merah itu berjalan di depan sebagai penunjuk jalan dan kami mengikuti di belakangnya. Menuju ke lokasi, keadaan jalan masih sama, sempit, gelap, licin, naik-turun, terkadang berlubang namun tak terlihat karena tertutup genangan air hujan.
Suhu dingin merasuk sampai ke pori kulit, meskipun telah mengenakan jaket tebal dan jas hujan. Suasana sangat Gunungkidul ketika kiri-kanan sepanjang jalan dipenuhi oleh pohon-pohon besar. Bayangannya tampak seram berkelebatan terkena lampu sepeda motor. Kalau tidak salah, itu adalah pohon jati di lokasi area hutan negara (Perhutani).
Terlintas dalam pikiranku apa yang dikatakan teman Resan di Taman Madubronto tadi, bahwa Kedungwanglu merupakan salah satu daerah terpencil/pelosok di ujung barat Gunungkidul. Wilayahnya ada dua sungai, salah satunya adalah Sungai Oya yang merupakan batas wilayah dengan Kabupaten Bantul. Tak heran jika akses jalan yang kami lalui, harus melewati hutan-hutan seperti ini untuk sampai di lokasi.
Aku semakin penasaran di mana Padukuhan Kedungwanglu dan seperti apa kondisi di sana. Sepanjang perjalanan itu otakku hanya memikirkan dan membayangkan kira-kira seperti apa situasi di sana. Hingga…. “bruaakkkk” lamunanku terpecah ketika tiba-tiba aku kehilangan kendali dan keseimbangan hingga akhirnya terjatuh bersama sepeda motor. Terlalu asyik mengikuti mobil dan motor Mbak Ida di depanku, jadi tidak mengira jalan aspalnya ternyata sudah habis. Dalam gelapnya malam, aku tak melihat jalanan aspal yang tiba-tiba berubah menjadi cor blok.
Untuk beberapa saat aku masih terdiam, paling pertama aku memanggil Rizky yang terjatuh bersamaku.
“Aku gak apa-apa, gimana kamu Ji..?” tanya Rizky hampir berbareng dengan pertanyaanku senada.
Sejurus kemudian, teman-teman di depan yang sadar kami terjatuh segera berlari menghampiri kami untuk menolong. Jatuh bukannya segera bangun, aku malah terdiam dengan posisi tengkurap menikmati sensasi ‘cenut-cenut’ karena benturan. Alhamdulillah, untungnya semua masih aman, hanya mentalku yang sedikit shock dan kaget.
“Masih beruntung jatuhnya tidak bablas ke luar jalan,” aku mendengar Mas Ndaru yang menyorotkan senternya ke kiri jalan.
Sejenak aku melirik ke arah senter menyala. Bener kata Mas Ndaru, aku dan Rizky masih beruntung, di bawah jalan yang dalamnya sekitar 4 meteran, tampak gerumbul semak-semak yang gelap. Tiba-tiba ada semacam ketakutan menyelinap dalam hatiku, bercampur rasa syukur kami masih dilindungi.
“Kita betul-betul berpetualang Riz..,” kataku menyemangati Rizky yang kelihatan masih shock.
Setelah memastikan semua baik-baik saja, akhirnya aku dan Rizky melanjutkan perjalanan dengan naik mobil. Sementara sepeda motorku dibawa oleh Mas Ndaru. Di dalam mobil, kami kembali memeriksa diri, ada sedikit luka kecil di telapak tangan Rizky, mungkin pas jatuh terkena kerikil. Sementara aku sendiri merasa kakiku cenut-cenut karena tertimpa sepeda motor. Dari tempat terjadi kecelakaan kecil tadi, ternyata Dusun Kedungwanglu sudah dekat, setelah menyeberangi sungai dua kali akhirnya kami sampai ke Balai Dusun Kedhungwanglu.
Terlihat beberapa anggota komunitas dan beberapa mahasiswa ISI yang akan membuat film dokumenter. Akupun bersalaman dengan beberapa orang lalu duduk di lantai pojok sisi kiri beralaskan tikar. Teman-teman bergantian menghampiri kami dan menanyakan keadaan, setelah mereka tahu kami sempat terjatuh dalam perjalanan tadi. Perasaan haru tiba-tiba menyelinap dalam hatiku. Aku mengenal komunitas Resan belum lama, berawal saat melakukan tugas kuliah untuk menulis tentang gerakan Resan Gunungkidul. Sekarang, aku dan Rizky sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh teman-teman komunitas. Ini yang membuatku haru sekaligus bangga bisa ikut belajar di gerakan relawan lingkungan ini.
Di dekat gamelan, tampak Mas Sigit, sang dalang Wayang Resan sedang berbincang dengan seorang bule. Aku sempat mengenal bule itu di agenda kegiatan penanaman minggu lalu di Alas Tlawah, Nglipar. Ia adalah Mas Jono dan asistennya yang berasal dari Amerika. Nama aslinya adalah Jonatan Smith, oleh teman-teman, ia diberi nama Mas Jono dan dipanggil Mas Jon. Mungkin karena lucu, Mas Jon ini senang sekali diberi nama Jono oleh teman-teman.
Jonathan adalah seorang doktor yang sedang melakukan penelitian tentang merawat alam dengan adat istiadat lokal. Rupanya Mas Jono tertarik dengan kegiatan Resan yang menggunakan media wayang untuk kampanye edukasi tentang lingkungan. Mas Jono dan asistennya memakai sepeda motor juga menerobos hujan untuk sampai ke Kedungwanglu, sama seperti kami.
Sembari mengoles kaki dan tangan dengan minyak urut, aku ikut menyimak pembicaraan orang-orang di sana. Wayang Resan belum mulai, teman-teman baru persiapan untuk pementasan. Mas Nur, teman Resan yang rumahnya Kedungwanglu menghampiriku dan Rizky. Kemudian, ia menunjukkan sebuah video dari HP yang memperlihatkan jembatan satu-satunya akses jalan menuju tempat ini banjir ketika hujan deras mengguyur. Terlihat arusnya sangat deras dan jembatan pendek yang kami lewati tadi tertutup banjir karena luapan sungai.
“Sini kan daerah hilir, jadi kadang ketika daerah hulu di atas hujan deras, Sungai Prambutan akan meluap,”
kata Mas Nur
Dalam video itu, terlihat seorang bapak menyeberang dengan penuh resiko sembari menggendong anak kecil berseragam sekolah. Aku tidak menyangka jika daerah ini masih terisolir separah itu. Jika biasanya hanya melihat fenomena banjir karena luapan sungai di televisi atau media sosial, sekarang aku berada di tempat dengan kondisi demikian.
Tiba-tiba hatiku merasa trenyuh, ternyata yang kulihat di televisi tentang perjuangan anak-anak untuk sekolah dengan menempuh resiko, menyeberang sungai banjir atau melewati jembatan rusak benar-benar masih ada dan terjadi.
Mas Nur kemudian banyak bercerita, Kedungwanglu memang salah satu daerah terpencil di Gunungkidul. Wilayahnya dikelilingi oleh Sungai Prambutan dan Sungai Oya. Sungai Prambutan mengalir dari sisi timur dan membelah Kedungwanglu menjadi dua bagian, barat dan timur. Alirannya bermuara di Kali Oya di sebelah barat dusun. Kedungwanglu memiliki delapan RT, di sisi barat sungai terdapat RT 3, 4, 5, 6, dan 7 sedangkan di sisi timur terdapat RT 1, 2, dan 8. Lima RT di sebelah barat inilah yang terisolir ketika terjadi banjir.
Jika musim hujan, warga padukuhan ini selalu was-was. Sebab jembatan penghubung di tengah dusun seringkali terendam banjir. Aku teringat di perjalanan tadi. Saat memasuki padukuhan, terlihat gapura selamat datang berwarna hijau, setelahnya terdapat jembatan permanen dan setelah itu masih ada jembatan kecil, berbentuk crossway di tengah dusun. Rupanya, jembatan crossway itulah yang kerap terendam air yang terlihat di video.
Hujan deras mengakibatkan aliran sungai menggenangi jembatan sehingga warga terisolasi dan tidak bisa bermobilitas karena arus sungai yang deras. Warga yang berada di Kedungwanglu tidak bisa keluar, dan warga yang hendak masuk pun juga tak bisa. Semuanya harus menunggu sampai arus sungai mereda, itu saja hanya bisa jalan kaki karena jalannya licin penuh lumpur bekas banjir.
“Terdapat sekitar 98 Kepala Keluarga terisolasi. Mereka hanya bisa beraktivitas di sekitar rumah, sambil menunggu banjir mereda dan bisa menyeberang,“cerita Mas Nur.
Dari obrolan di balai dusun malam itu, Kepala Dukuh Kedungwanglu mengatakan bahwa di wilayahnya terdapat delapan RT, dan lima RT diantaranya rawan terisolasi saat musim hujan. Air Sungai Prambutan meluap karena muara sungai adalah tempuran atau pertemuan dengan Kali Oya sehingga alirannya tidak lancar. Namun, tiga RT lain yang tidak terisolasi juga terkena imbasnya, karena sekolah hingga tempat ibadah berada di barat Sungai Prambutan.
Kondisi demikian mengharuskan warga menyeberang kali. Jadi, saat terendam banjir anak-anak tidak bisa pergi sekolah dan semua aktivitas yang memerlukan mobilisasi menjadi off. Sudah puluhan tahun warga Kedungwanglu terisolasi, namun jembatan tidak kunjung dibangun. Bahkan, hal ini sampai dianggap sebagai keindahan yang harus diceritakan turun-temurun.
“Ya intinya, sudah beberapa kali diajukan program pembangunan. Survei pun sudah dilakukan beberapa kali. Namun, dari 2018 sampai sekarang masih belum ada tindakan. Bagi warga, inilah kenyataan yang harus dihadapi dan jadikan pengalaman indah buat anak cucu nanti”,
kata Pak Dukuh.
Beberapa warga yang ikut ngobrol menceritakan, bahwa sekitar tahun 1998 sudah ada jembatan yang tingginya 1 meter dari permukaan air sungai. Kemudian, antara tahun 2007-2008 jembatan ditinggikan sekitar jadi sekitar 1,5 meter. Namun, hal itu masih belum menjadi sebuah solusi, karena kenyataannya, jika banjir besar datang, jembatan masih terendam banjir.
Menurut Pak Dukuh Kedungwanglu, permasalahan utama terkait pembangunan jembatan adalah keterbatasan dana. Program bantuan pembangunan melalui Pemkab sudah pernah diajukan sejak beberapa tahun lalu. Akan tetapi sampai sekarang belum ada realisasinya.
“Permasalahannya, status jalan adalah jalan desa, bukan jalan kabupaten. Semoga besok jembatan bisa segera direalisasikan dengan pendanaan dari Dana Desa,” harap Pak Dukuh.
Kondisi seperti itu menjadi keprihatinan bagi semua pihak. Warga Kedungwanglu yang sejak dulu terisolir pun sampai menganggap hal ini sebagai cerita indah tersendiri. Meskipun menyeberang sungai sangat menguji nyali, namun mereka selalu tertawa dan bersuka ria ketika menyeberang bersama. Seakan-akan hal ini telah menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah, atau justru telah menjadi budaya dan ciri khas daerah ini. Saya kok tiba-tiba merasa miris, ciri khas kok menerjang banjir ketika musim hujan tiba, padahal hal itu sangat beresiko. Jika melihat secara fisik Padukuhan Kedungwanglu, memang wilayahnya masih kurang dari segi pembangunan infrastruktur. Jalanan sempit dan masih full cor blok yang sebagian besar sudah berlubang.
Pertunjukan Wayang Resan sudah selesai, kami yang perempuan kemudian menginap di rumah Mas Nur. Rumahnya sederhana namun suasana terasa sangat nyaman. Saat pagi hari, kami banyak mengobrol dengan istri Mas Nur dan bercanda dengan anaknya. Kami kemudian jalan-jalan ke balai dusun, tempat pementasan semalam. Terlihat tebing-tebing curam mendominasi bentuk lahan di sini. Lereng-lereng bukit itu terlihat sangat hijau namun tak terlihat adanya pohon-pohon penyangga. Wah, bukit-bukit itu jadi rawan bencana longsor, batinku.
Saat berjalan menuju balai dusun, kami melewati jembatan crossway yang sering banjir itu. Terlihat seorang warga sedang mencuci motor di sebelah timur, dan seorang ibu mencuci baju dengan anaknya yang asik bermain air di sampingnya. Suasana terlihat sangat syahdu, mengingatkanku akan kenangan masa kecil di desa tempat asalku yakni Temanggung, Jawa Tengah. Saat itu aku dan teman-temanku sering ke sungai untuk keperluan mandi dan mencuci jika musim kemarau tiba.
Semilir angin, nyanyian sungai, dan kicauan burung melantunkan musik semesta yang menenangkan. Suasana pedesaan terlihat asri. Namun, saat aku teringat video semalam, apa yang terjadi berbanding terbalik saat banjir datang. Semua keindahan bak surga itu menjelma menjadi monster yang menakutkan. Kesedihan juga buatku melihat dan mengetahui kondisi ini masih terjadi di Kedungwanglu. Desa yang sejatinya menyimpan keindahan dengan berbagai potensi, termasuk pariwisata. Bukankah di era seperti sekarang ini seharusnya pembangunan sudah merata? Tapi justru yang kutemui di padukuhan ini, masih terkendala persoalan dana, status jalan, dan rumitnya proses birokrasi yang aku sendiri tidak paham, entahlah…
“Petualangan kita semakin seru Ji…,” ucap Rizky dalam perjalanan pulang ke asrama. Aku mengangguk tanda setuju, sebagai mahasiswa yang jarang keluar kampus, kegiatan bersama teman teman Resan Gunungkidul banyak membuka cakrawala pengetahuan baru bagi kami. Di luar kampus, ternyata banyak realitas sosial yang kami temui, dan itu sangat dekat dengan bidang ilmu yang sedang kami pelajari, Antropologi.