Adat(rebowagen.com) — Seni pertunjukan tradisional telah menjadi pusat perhatian di banyak negara Asia. Pada umumnya, ada anggapan bahwa perubahan teknologi dan perubahan sosial yang deras dapat membawa seni pertunjukan itu ke titik kepunahan. Atau seni pertunjukan itu dipaksa berubah demi mendapat pengakuan. Dengan segala keterbatasan, pada tulisan ini saya mencoba mengkaji sebuah lakon wayang kulit berjudul ‘Pandhu Swarga’. Lakon ini sengaja saya ambil untuk sebuah studi kasus. Terkait korelasi antara seni tradisional dengan spiritualitas atau religi masyarakat Jawa. Tradisi turun temurun dari nenek moyang hingga masih dilakukan sampai pada era modern sekarang ini.
Secara umum, saya berpendapat bahwa pertunjukan-pertunjukan rakyat selalu berubah. Perubahan-perubahan itu tidak cukup dipahami hanya sebagai hasil dari pengaruh faktor kemajuan teknologi. Model yang didasarkan di sini, saya mencoba memperhitungkan kehadiran suatu genre pertunjukan tertentu sebagai suatu interaksi antara teks dan konteks. Teks ditetapkan sebagai suatu struktur dasar berbentuk dramatic. Dimana keterbatasan-keterbatasan, dan kesanggupan-kesanggupannya bisa berubah. Sementara konteks ditetapkan sebagai faktor-faktor sosio-kultural yang berfungsi untuk menciptakan sebuah lingkungan seni pertunjukan.
Saya memulai dari menyajikan deskripsi singkat tentang fungsi pertunjukan wayang kulit dalam masyarakat Jawa. Setelah itu akan kita kaji bersama tentang analisis teks Lakon Pandhu Swarga agar dapat dimengerti maknanya. Selanjutnya, kajian terhadap situasi sosio-kultural masyarakat Jawa pada masa kini. Pada interaksi antara teks dan konteks dalam lakon ini, diharapkan nanti akan dapat memperlihatkan pengertian masyarakat terhadap makna dari lakon Pandhu Swarga. Juga pemanfaatan dari lakon itu dalam kehidupan, khususnya dalam bidang ritual spiritualitas.
Fungsi pentas wayang kulit dalam masyarakat Jawa
Dalam Kakawin Arjunavivaha, yang diubah oleh Mpu Kanva sekitar tahun 1030 TU untuk Sri Maharaja Airlangha (raja yang bertahta di Kerajaan Kahuripan), Indra memberi penjelasan sebagai berikut
“Anânonton ringit mananis asekel mudha hidepan,
Huvus vruh tovin yan valulan inujir môlah anucap,
Atur nin vvan trsnên visaya malaha tan vihikana,
ri tatvanya-n maya sahana-hana nin bhava silunam” (AV V,9)
Kalimat diatas diterjemahkan sebagai berikut,
“Ada banyak orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya,
telah tahu bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak berucap itu,
begitulah rupanya orang yang lekat akan semacam indera, melongo saja,
sampai tak tahu,
bahwa hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka.
(Wiyamartana, 1990:134).
Bait di atas membuktikan bahwa seawal-awalnya, pada abad XI, orang Jawa telah memiliki pertunjukan bayang-bayang, yang pementasannya dengan wayang-wayan kulit. Sejumlah prasasti Jawa Kuna melengkapi indikasi-indikasi tentang penanggalan yang lebih tua. Dalam prasasti tahun 907 M yang dikeluarkan oleh Raja Baiitung diperoleh keterangan, “Si galigi mavayan”, (Si Galigi mementaskan wayang). Dan prasasti untuk Sima yang dikeluarkan tahun 804 M oleh Sri Maharaja Lokapala menyebutkan tokoh-tokoh yang ikut ambil bagian dalam ‘Aringit’.
Seorang sejarawan dan arkeolog J.L.A. Brandes berpendapat bahwa pentas wayang kulit di Jawa tidak dipinjam dari India. Seperti halnya dengan kasus hasil-hasil arsitektur dan arca-arca Jawa Kuna. Menurut penelitian Brandes keduanya merupakan ciptaan orang Jawa pribumi dari masa silam. Dalam mendukung pendapatnya Brandes menunjuk pada nama-nama berbagai macam peralatan teknis yang digunakan untuk pentas wayang kulit. Nama-nama itu bukan bahasa Sansekerta, melainkan bahasa Jawa Kuna (Brandes 1889: 123-124)
Pandangan Brandes disetujui oleh Filolog Hazeu (Hazeu, 1894:145). Hazeu berpendapat bahwa pentas wayang Jawa mempunyai sifat religius. Pentas wayang diselenggarakan dalam upacara-upacara yang sangat khidmad pada saat orang Jawa mempunyai hajat (nduwe gawe) (keeler, 1987:142), misalnya upacara perkawinan, khitanan, nyewu, dan sebagainya. Wayang kulit dipentaskan juga untuk tujuan-tujuan ritual ruwat. Dalam pentas wayang itu, kemenyan dibakar dibawah ‘kélir’. Sesajian-sesajian tertentu dipersembahkan kepada roh halus. Oleh karena itulah menurut kepercayaan yang telah menyebar secara luas, roh-roh orang yang telah meninggal dunia muncul diantara orang yang masih hidup sebagai roh halus atau bayang-bayang.
Hazeu berpendapat bahwa bayang-bayang yang dihasilkan pada ‘kélir’ wayang kulit dimaksudkan untuk menggambarkan semua orang yang telah meninggal dunia. Dan pada mulanya pentas wayang mempunyai suatu fungsi dalam suatu sistem ritual pemujaan nenek moyang (Ras, 1976:50-51:73-74: Sastri, 1949;cf. sears, 1984:22: Krom, 1931:45: Pischel, 1906: 482-502).
Untuk keperluan pemujaan nenek moyang maka tema-tema viracarita Mahabharata dan Ramayana dipakai sebagai landasannya. Pentas wayang Jawa yang dikenal dengan wayang Purwa, menyajikan cerita-cerita yang mempunyai kaitan dengan sastra Parva dan Kakavin. Lalu, bagaimanakah relasi antara pentas wayang kulit yang memuat naratif Mahabharata dan Ramayana dengan upacara ritual masyarakat Jawa?.
Untuk mencoba mencari relasi itu, saya coba mengkaji pentas wayang kulit yang mengambil Lakon Pandhu Swarga. Lakon ini akan saya kaitkan dengan salah satu upacara penting yang hidup dalam tradisi masyarakat Jawa, yaitu upacara ritual ‘Nyewu’ (peringatan seribu hari orang meninggal).
Analisis Tekstual Lakon Pandhu Swarga
Sebelum masuk dalam kajian lebih dalam, saya coba ceritakan secara ringkas alur cerita Lakon Pandhu Swarga.
“Para Pandhawa yang dipimpin oleh Wêrkudara sedang bertapa di Tegal Kurusetra. Laku ini mereka maksudkan untuk memohon pengampunan bagi roh ayah mereka, yakni Pandhu bersama Madrim. Dengan pengampunan, mereka berharap agar orang-tuanya terbebas dari hukuman di kawah Candradimuka dan supaya diperkenankan masuk ke Swarga.
Niat para Pandhawa itu tidak mendapat persetujuan dari Bhatara Guru. Bahkan, Pandhawa dianggap bersalah oleh Dewa. Akhirnya mereka mereka malah diikut- sertakan dosa-dosa ayah mereka. Namun, berkat usaha Sembadra dan Srikandhi yang didukung oleh Bathara Narada, para Pandhawa yang diprakarsai oleh Wêrkudara berhasil mengantar Pandhu dan Madrim masuk ke dalam swarga,”
Dari ringkasan cerita, dapat dilihat dengan jelas bahwa Wêrkudara menjadi tokoh sentral dalam ‘laku tapa’ di Tegal Kurusetra. Laku ini sebagai usaha memohonkan ‘Swarga’ bagi Pandhu dan Madrim yang pada waktu itu masih menderita di kawah Candradimuka.
Dalam Vracarita Mahabharata, Werkudara yang juga disebut dengan nama Bhima digambarkan sebagai seorang tokoh yang berbadan raksasa, kokoh, penuh semangat, dan kekuatannya tidak dapat dikalahkan. Kekuatan fisiknya, semangatnya yang tak pernah padam dalam menghadapi bahaya, kesetiaannya yang luar biasa kepada Pandhawa kerap kali ia di puji-puji oleh para Suta dan Magada dari masa silam. Di Indonesia konsep India tentang Bhima di tambah oleh para bumi putra dengan elemen baru yakni elemen mistik. Karya sastra yang sangat penting yang mempunyai kaitan dengan keberadaan Wêrkudara dalam lakon Pandhu Swarga adalah Nawaruci dari tradisi Jawa Pertengahan. Devaruci, tradisi Jawa Baru (Poerbatjaraka 1940:7-55) dan Bima Suci yang di ungkapkan dalam Sêkar Agêng (Prijohoetomo, 1934:140-190).
Pada umumnya, teks-teks itu menyajikan tema yang sama, yakni perjuangan Wêrkudara untuk mendapatkan air suci atau air hidup. Dalam Navaruci disebut dengan nama ‘San hyan amartanjivani’, sementara itu teks Bima Suci menyebut air suci atau air hidup dengan istilah ‘Pravitra: nulatana inkan tirta pravitra di (BS 150:2a). Kegunaan ‘Tirta pravitra’ itu dapat diketahui dari penjelasan Drona kepada Werkudara yang di ungkapkan dengan ‘Sêkar agêng kusumavicitra’.
“Lamun iku katêmu yêkti minulya/nirmala,
Mapangah visesa in urip/kabeh vus kavênku,
aji kan sampurna/pinunjul in
jangat paramusesa ya”// (BS 151,3).
“Anaubi maran bapa biyanira/mulya
sakin sira tur sira linêvih/ in triloka langên
ananira kaki”// (BS 151, 4a-c)
Dari ungkapan itu dapat dimengerti apabila ‘Tirta pavitra’ dalam teks Bima Suci juga disebut dengan nama ‘Banyu urip nirmala’ (BS 167, 8a). Berkat kegigihan Wêrkudara, akhirnya ‘tirta pavitra’ berhasil diperolehnya dari Devaruci. Setelah menerima ‘tirta pavitra’ yang diuraikan dengan sangat terperinci oleh Devaruci (BS 162-189), akhirnya Wêrkudara menjadi manusia yang sempurna seperti yang ditulis dalam teks Bima Suci dengan menggunakan ‘Sêkar agêng Bramaravilasita’.
“Yus mangkana san vrêkudara mulih/
datan menen batin pan gumavan/
nora panlin maran sariranipun/
tan kaliru panuksmane savujud”// (BS 184,1)
“Nanin laranipun sasab pininit/
reh sarehipun manulah kasatriyan/
pamurvanin jagattraya dumadi/
kalairan hatine tan kasilih”// (BS 184,2)
“Apan kadya satu mugen rimbangan/
yus pralêbda jati purusatama/
sugagnyana sadana vrêdening tyas/
darma-punya nitya tyas nirmala licin”// (BS 184,3).
Dari kutipan-kutipan teks di atas dapat diketahui bahwa Wêrkudara diperkenalkan sebagi ‘Pembayat’ yang sangat saleh dan pemilik kebijaksanaan yang sangat esoteris. Peran itulah yang kiranya kelihatan nyata dan jelas dalam Lakon Pandhu Swarga. Dengan dimilikinya ‘tirta pavitra’, Wêrkudara dapat melakukan ‘atmaprasansa’ (mengantarkan roh menuju ketenangan yang abadi dan juga membebaskan para leluhurnya dari siksa). ‘Tirta pavitra’ ini juga sangat berguna bagi Wêrkudara dalam melepaskan Pandhu dan Madrim dari penderitaan dan siksa kawah Candradimuka. Dengan usaha Wêrkudara yang berbekal ‘tirta pavitra’, Pandhu dan Madrim dapat mencapai kelepasan akhir dan kemudian memperoleh kedudukan yang kekal di surga.
Analisis konstekstual upacara ritual Nyewu
Lakon Pandu Swarga dipentaskan dalam acara ritual yang berkaitan dengan kematian. Dalam masyarakat Jawa, bahkan sampai masa kini, masih sering dipentaskan wayang kulit yang mengangkat Lakon Pandhu Swarga untuk upacara ritual ‘Nyewu’.
Peringatan Seribu hari meninggalnya seseorang (Nyewu) ini sebagai upacara peringatan yang terakhir. Orang Jawa percaya bahwa pada hari ke seribu ini merupakan titik waktu roh orang yang telah meninggal menjadi seorang ‘Pitara’ dan berhenti mempunyai tuntutan pada yang masih hidup. Titik kompromi yang lebih lanjut pada transisi akhir ini adalah diparafrasekan bahwa roh kembali ke wilayah keabadian.
Orang Jawa percaya dengan upacara Nyewu, roh orang yang telah meninggal mendapatkan kelepasan secara otomatis. Dalam kenyataannya, Nyewu merupakan ungkapan simbolis keinginan-keinginan sanak keluarga dan ungkapan harapan-harapan untuk menyatukan kembali roh orang yang telah meninggal dengan Dzat Yang Mutlak(Beatty, 1999:2331).
Dalam upacara ritual Nyewu juga dibuat sesajian-sesajian dan air suci yang berasal dari buah kelapa, pada saat berlangsung pemasangan ‘maejan’ pada ‘kijing’ (nisan). Secara fungsional sesajian-sesajian itu menjadi tebusan yang dengan sarana itulah, keluarga dapat memperoleh ‘linggih’ (meru) dan kemudian mempersembahkanya kepada roh orang yang telah meninggal sebagai tempat duduk di ‘Swarga’.
Dengan demikian, perhatian pada orang yang telah meninggal merupakan masalah kehidupan sehari-sehari yang lebih eksplisit. Dengan acara ritual Nyewu ini para sanak keluarga yang ditinggalkan menyempurnakan elemen-elemen ragawi. Roh telah menjadi ‘Pitara’ namun diantara kedua belah pihak tidak terputus secara spiritual.
Rangkaian upacara ritual merupakan bagian dari proses yang panjang dari pembenaran, tetapi orang tidak pernah mengira bahwa kesempurnaan roh dituntun dengan ritual itu
Hubungan analisis tekstual dan kontekstual untuk memahami orang Jawa masa kini
Tradisi dan masa lalu adalah dua istilah yang tidak dapat ditukar. Tradisi dapat dipahami sebagai bagian masa lalu yang telah dipilih orang Jawa untuk dipelihara sebagai sesuatu yang normatif demi masa sekarang. Para nara sumber sebagai orang Jawa yang Islam, Katholik, Kristen, atau yang lain tidak hanya berdiri pada tradisi sendiri tetapi juga diprasangkai oleh tradisi mereka. Mereka tidak dapat mendekati kepercayaan dan praktek secara menyeluruh. Masa lalu agama masing-masing adalah bagian dari horizon hermeunitik mereka. Dan dapat menyadarkan bahwa dimensi pemahaman mereka merupakan langkah pertama yang penting ke arah pengetahuan yang valid.
Dalam ritual Nyewu dengan pementasan wayang Lakon Pandhu Swarga, mereka menganggap bahwa makna ritual itu sebagai pengertian abstrak. Hal itu dapat terjadi karena adanya pluralisme tologis, sehingga pengertian makna lakon Pandhu Swarga dalam upacara ritual nyewu mengalami perubahan dalam masyarakat Jawa masa kini.
Dapat dikatakan bahwa orang Jawa selalu menguraikan dunianya hanya melalui pengalaman yang interpretasi. Mereka tidak mempunyai dasar berpijak, tempat untuk mengevaluasi, menilai, dan mengamati. Mereka lepas dari landasan yang diberikan oleh beberapa tradisi yang spesifik (cf. Maclntyre, 1998: 350).
Dalam pengertian ini, interpretasi bekerja dalam proses penemuan yang ilmiah seperti yang hadir dalam bentuk-bentuk pengetahuan naratif yang berbeda-beda. Interpretasi berjalan secara ulang-alik, baik bagi mereka yang bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan, moralitas, seni, maupun religi.
Alhamdulillah. nambah ilmu. matur suwun penulis
Sangat bermanfaat.. joss lanjutken
lanjutkan pak.. enteng dipahami