Seni(rebowagen.com)– Sebuah perhelatan seni rupa kembali digelar di Gunungkidul pada Minggu 9 Oktober sampai Rabu 12 Oktober 2022. Agenda ini adalah pameran tunggal yang menampilkan karya-karya dari seniman Intan GS Bono. Seorang seniman difabel dari Padukuhan Kernen, Kalurahan Ngunut, Kapanewon Playen, Gunungkidul.
Pameran diselenggarakan di Sanggar Kayu Angin, Padukuhan Sumbermulyo, Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari. Dan dibuka oleh mantan Bupati Gunungkidul yang sempat menjabat dua periode, Hj Badingah S.sos.
Pengasuh Sanggar Kayu Angin, Iba Ibok menyampaikan bahwa pameran dimaksud untuk ‘haul‘ (peringatan) mengenang sembilan tahun wafatnya Intan GS Bono.
“Agenda ini juga sebagai bentuk penghargaan dari teman-teman seniman Gunungkidul terhadap perjuangan almarhum dalam eksistensinya di dunia seni rupa,” terang Iba, pada agenda pembukaan pameran.
Bagi dunia seni rupa Gunungkidul, nama Intan GS Bono memang tidak asing lagi. Seniman difabel yang belajar apapun secara otodidak ini, namanya memang sempat popular di Ibu kota. Dengan fasilitasi Dinas Sosial RI waktu itu, Ia banyak mengikuti event-event pameran tingkat nasional maupun internasional.
Dalam perjalanannya di dunia seni rupa Gunungkidul, Intan GS Bono sempat berkolaborasi dengan seniman-seniman muda membentuk sebuah sanggar bernama ‘Kayu Angin‘. Sanggar ini dibentuk pada kurun waktu tahun 2003, bersama Hardi, Iba, Iwan, Ima dan beberapa nama yang lain. Namun, dengan keadaan iklim seni rupa Gunungkidul waktu itu yang memang masih sangat minim kegiatan, Sanggar Kayu Angin akhirnya banyak mengalami pasang surut.
Setelah Intan GS Bono meninggal pada tahun 2013, Sanggar Kayu Angin mengalami kevakuman kegiatan. Hingga akhirnya, Julian Arif Umar sebagai ahli waris almarhum, bersama Iba Ibok kemudian berinisiasi memindahkan Sanggar Kayu Angin ke Padukuhan Sumbermulyo, Kalurahan Kepek, Wonosari.
“Tujuan pemindahan ini yakni untuk meneruskan perjuangan serta eksistensi almarhum bagi dunia seni rupa Gunungkidul. Semangat pantang menyerah sampai akhir hayat Intan GS Bono semoga dapat menginspirasi kami dan teman-teman perupa yang lain untuk terus berkarya,” lanjut Iba.
‘Ndang Tumandang‘ adalah tajuk dari pameran ini. Kalimat yang dipahami sebagai kata-kata spirit dari almarhum. Di masa hidupnya, Intan GS Bono memang dikenal sebagai seniman yang sering bersilaturahmi. Dengan diboncengkan sepeda ontel (kayuh) atau sepeda motor, ia senang menyambangi teman-teman perupa yang lain, untuk sekedar ngobrol dan memberi semangat untuk terus bertahan dan berkarya.
“Gek ndang, sat-set, ora sah mikir sing ora-ora, penting berkarya terus (ayo, segera berkarya, tidak usah berpikir yang tidak-tidak, penting berkarya dan terus berkarya). Kata kata itu yang selalu saya kenang dari almarhum. Beliau adalah seniman yang mempunyai energi besar untuk selalu berkarya. Semangat ini bahkan sering melebihi seniman-seniman yang mempunyai fisik normal seperti saya,” kenang Herlan Susanto, ketua Ikatan Perupa Gunungkidul (IPG).
Herlan menyebut terbentuknya Ikatan Perupa Gunungkidul pada medio 2011, memang juga tak lepas dari peran Intan GS Bono sebagai salah satu inisiatornya. Terbentuknya IPG dengan agenda pameran tahunan ‘Babad Seni‘, tercatat sebagai salah satu tonggak sejarah bangkitnya dunia seni rupa di Gunungkidul.
“Banyak karya saya lahir setelah Mas Bono dolan ke tempat saya, padahal kami sekedar mengobrol sambil ‘wedangan’. Energi positif yang selalu ia bawa mampu memberikan semangat, menginspirasi hingga saya berkarya kembali,” tambah Agung Karyono. Agung adalah seorang seniman rupa dari Kalurahan Kepek, Wonosari.
Selain selalu memberikan semangat kepada yang lain, Intan GS Bono juga sangat produktif menghasilkan karya secara personal. Dengan keterbatasan fisik yang ia miliki, puluhan karya berbagai aliran lahir dari tangannya.
Bahkan, banyak karya lukisan realis yang bisa ia kerjakan. Lukisan ‘Gerobak Sapi‘, seri lukisan ‘Mobil Antik‘, hingga seri lukisan ‘Mata Uang Kertas‘ adalah bukti ia menguasai teknik melukis realis. Mendekati akhir usia, Intan GS Bono banyak menghasilkan karya-karya bercorak dekoratif. Hewan kucing menjadi salah satu yang paling ia gemari untuk menjadi obyek lukisan.
Biografi Intan GS Bono, dalam bingkai 17 tahun ingatan kebersamaan
Mengenang Almarhum Intan GS Bono bagi saya seperti mengaduk kisah dan lelakon dari suatu perjalanan panjang. Laku dari sebuah pencarian jati diri di rimba raya ragam, bentuk dan spiritual seni rupa. Saya mengenal beliau di sekitaran tahun 1997, waktu dimana cat minyak Maries tube 12 warna masih seharga 12.500 rupiah. Itupun harus membeli di kawasan Malioboro, Yogyakarta.
Di kurun waktu tahun 90an nama Intan GS Bono sebagai seorang pelukis sudah lumayan berkibar khususnya di Ibu kota. Dengan fasilitasi dari Kementrian Sosial RI, beliau banyak mengikuti perhelatan pameran seni rupa nasional maupun internasional. Di tahun 1997 itulah saya terdampar, Ibarat seorang pengelana saya ‘nunut ngeyup‘, ikut nyantrik di sanggar seniman yang bernama asli Subono ini.
Bersama beberapa teman yang lain, kami merangkai berjuta cerita dalam kurun waktu puluhan tahun, di rumahnya, Dusun Kernen, Kalurahan Ngunut, Kapanewon Playen, Gunungkidul. Rumah sederhana yang merangkap sebagai sanggar lukisnya. Di keluarga Intan Gs Bono, kami sudah dianggap seperti keluarga sendiri, kami memanggil beliau dengan panggilan Pak De.
Intan GS Bono adalah seniman otodidak, murni otodidak, baik dalam belajar menulis, membaca ataupun belajar melukis. Sejak lahir Pak de memang ditakdirkan memiliki fisik yang tidak sempurna atau (maaf) dalam keadaan cacat. Anatomi tubuhnya tidak berkembang secara sempurna. Bahkan hingga memasuki masa dewasa Pak de hanya memiliki tinggi badan sekitar 60 Cm. Tak heran waktu itu tidak ada satupun sekolah formal yang mau menerima dia sebagai murid, bahkan untuk sekedar belajar mengenal huruf dan angka.
Beliau belajar sendiri, dengan cara ‘niteni‘ atau melihat gambar wayang kecil-kecil (gambar templek), yang dulu umum menjadi mainan anak anak seusianya. Dari ‘niteni‘ visual tokoh wayang yang tergambar di kartu-kartu itu, Pak De belajar mengenal angka dan huruf satu persatu. Dia mulai belajar menulis di media apa saja, karena keterbatasan kertas, Subono kecil sering memanfaatkan kertas bekas bungkus teh.
Almarhum Mbah Karto (ibu dari Intan GS Bono), banyak bercerita suka duka mengasuh Pak De dari kecil. Saat itu, Pak De sering minta dibelikan secarik kertas dan pensil untuk berlatih membuat gambar Vignet (Ilustrasi dekoratif yang umum tampil di majalah-majalah tahun 80an).
Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya Pak De tidak pernah surut semangat, perjuangannya di dunia seni rupa dimulai dengan sekedar orek-orekan di kertas. Awalnya dia malu hasil karyanya dilihat orang lain, sehingga sering gambar kertasnya ‘diuntel-untel‘, kemudian disembunyikan di sembarang tempat. Almarhum Mbah Karto sering bilang “kaya susuh tikus, (seperti sarang tikus),” Kisah itulah yang dalam cerita Pak De, mendasari beliau membuat penanda di setiap lukisannya sebuah gambar atau tanda tangan dalam bentuk hewan tikus.
Berjalannya waktu, dari gambar kertas ini Pak De mulai bermain warna, baik pastel maupun cat minyak. Seiring juga mulai ada perhatian dan apresiasi dari publik terhadap karya karyanya. Pameran perdananya terselenggara tahun 1986, di Hotel Ambarukmo Yogyakarta. Kemudian berturut-turut tahun 1987 di Gedung Purna Budaya Yogyakarta. Pada tahun 1989 karya karya Pak De lolos dalam seleksi Eksibisi Tour seni rupa beberapa negara, Malaysia, Singapura, Belanda dan Amerika Serikat. Waktu itu Pak De tidak ikut, karena Mbah Karto tidak mengijinkan. Beliau tidak tega jika anaknya ke luar negeri, takut tidak ada yang bisa mengurus Pak De dengan kondisi seperti itu.
“Sapa sing rep ngurus, mesakne mengko ndak gur di sia-sia” (“siapa yang akan mengurus, kasihan nanti malah di sia-sia”),
Saya ingat betul ucapan Mbah Karto waktu bercerita Pak De mau diajak ke luar negeri untuk pameran. Almarhum Mbah Karto memang cuma seorang petani ‘ndesa‘ yang lugu. Namun totalitas, perjuangan dan kasih sayangnya dalam mengasuh dan melindungi Pak De dari kecil memang luar biasa.
Saat itu walau Pak De tidak bisa ikut ke luar negeri, tapi oleh sponsor karya-karyanya bisa pameran berkeliling di beberapa negara. Dan akhirnya Pemerintah Indonesia lewat Kementrian Sosial mulai melirik keberadaan Pak De, sebagai seorang seniman difabel yang mempunyai potensi dalam bidang seni rupa. Sejak tahun 90an, banyak sekali perhelatan seni rupa yang diikuti oleh Pak De, mulai dari pameran di Rama Plaza Pondok Gede Jakarta, Pameran di Gedung sekretariat ASEAN, Hotel Woman dan Hotel Santika Bandung, dan banyak lagi yang lain. Di tahun-tahun itu nama Intan GS Bono mulai terkenal, sebagai pelukis asli Gunungkidul yang berhasil mengukir namanya di Ibu kota.
Sempat menetap di Jakarta, Pak De akhirnya memutuskan pulang. Mbah Karto yang semakin menua membuat Pak De harus tinggal di rumah agar tidak terus menjadi pikiran. Di sanggar lukisnya yang terbilang sederhana, Pak De banyak menerima murid, atau siapapun yang tertarik dengan dunia seni rupa. Tidak ada hal yang bersifat pendidikan formal di sanggar ini. Ngobrol, wedangan ataupun berkarya bareng menjadi rutinitas kami bertahun tahun. Saya masih ingat teman teman angkatan ‘wedangan bareng’, Windarto, Parno, Hardi, Barek (almarhum), Iba Ibok, Iwan, Ima, dan beberapa teman yang lain.
Pada medio 2003, atas inisiasi bersama, sanggar lukis milik Pak De berganti nama menjadi Sanggar Kayu Angin. Ini menjadi suatu penanda tentang suatu kesepakatan bersama untuk terus bertahan dan memperjuangkan seni rupa, khususnya di Gunungkidul.
Kita ketahui bersama, sejak dulu Yogyakarta adalah salah satu kiblat seni rupa nasional, dengan iklim seni rupa yang gayeng dan dinamis. Keadaan ini sangat berbanding terbalik dengan Gunungkidul. Wilayah Kabupaten terluas di DIY ini hanya berjarak tidak lebih dari 35 kilometer dari Yogyakarta. Kedekatan jarak dan kesatuan wilayah tidak serta merta membuat seni rupa Gunungkidul bernasib sama dengan Yogyakarta. Seni rupa Gunungkidul berjalan sangat lambat, apresiasi masyarakat dan pemerintah juga masih sangat rendah. Profesi seniman terutama seni rupa bukan hal yang menjanjikan, tak heran banyak seniman potensial asli Gunungkidul yang memilih merantau dan berkarier ke wilayah lain.
Minimnya kegiatan seni rupa Gunungkidul juga berpengaruh pada pasang surut Sanggar Kayu Angin. Seiring waktu, anggota sanggar akhirnya banyak yang ‘pergi’ untuk mencari jalan lain. Menikah, bersekolah, atau mencoba menggeluti bidang pekerjaan yang lebih menjanjikan. Beberapa tahun berjalan akhirnya Sanggar Kayu Angin mengalami kevakuman.
Angin segar dunia seni rupa Gunungkidul berhembus pada awal tahun 2011. Beberapa seniman rupa dari berbagai daerah di Gunungkidul bersepakat untuk membuat wadah ruang ekspresi bersama bernama Ikatan Perupa Gunungkidul (IPG). Salah satu penggagasnya adalah Intan GS Bono.
IPG mulai bergerak dengan agenda rutin pameran tahunan bertajuk Babad Seni. Pada proses ini, Intan GS Bono dan beberapa seniman-seniman senior yang lain selalu ikut hadir dan berpartisipasi. Mulai dari persiapan, sampai penyelenggarakan pameran. Konsistensinya dalam perjuangan seni rupa Gunungkidul memposisikan Pak De sebagai salah satu senior dan pioner seni rupa Gunungkidul.
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, sempat menganugerahkan piagam penghargaan kepada Intan GS Bono sebagai seniman Gunungkidul yang berjasa dalam bidang Seni Rupa. Dalam daftar ini juga masuk nama Almarhum Manthous di seni Campur Sari, dan beberapa nama seniman yang lain. Waktu itu saya ingat Pak De guyon dengan saya bahwa semua seniman yang mendapat penghargaan sudah almarhum. Dia adalah satu satunya yang masih hidup. Pak De juga bilang bahwa dia bisa mencapai umur 50 tahun adalah suatu anugerah yang luar biasa bagi dirinya.
Bulan April 2013 Pak De menggelar pameran tunggalnya di Pendopo nDe Luweh Kotagede Yogyakarta. Dan ini adalah pameran terakhir dari seorang Intan GS Bono di masa hidupnya. Tanggal 15 September 2013 jam 10 pagi, Pak De menghembuskan nafas terakhir.
Oleh para Seniman Gunungkidul pemakamannya di iringi dengan arak-arakan yang membawa karya karya lukisannya. Ini sebagai bentuk penghargaan terakhir bagi beliau untuk dedikasinya bagi dirinya dunia seni rupa. Publik dan seniman Gunungkidul mengenang beliau sebagai sosok seorang pejuang seni rupa yang konsisten sampai akhir hayat.
Dan kami sebagai orang-orang terdekatnya sungguh merasa kehilangan sosok seorang guru, teman, kanca wedangan, kanca ngobrol, dalam segala hal. Dengan keterbatasan fisik yang ia miliki.
Intan GS Bono adalah pejuang hidup yang sesungguhnya.