Catatan Perjalanan(rebowagen.com)– Berbagai bayangan tentang Bali mulai berkelebatan dalam benak, seiring pesawat AirAsia yang saya tumpangi ‘landing‘ dengan mulus di Bandara Ngurah Rai siang menjelang sore itu. Sebuah penerbangan yang singkat, kurang dari satu setengah jam. Beda sekali dengan cerita 23 tahun yang lalu waktu saya terakhir mengunjungi Bali. Saya harus menempuh perjalanan darat selama 16 jam lebih. Bersama dua teman, kami menumpang truk pengangkut batu alam untuk bahan ukiran yang dikirim ke Bali dari Gunungkidul. Kami numpang di bak belakang, istilahnya dulu adalah ‘nggembel‘, atau mirip istilah ‘backpacker‘ bahasa keren sekarang. Sebuah tantangan petualangan bagi anak-anak muda untuk bisa melakukan ‘traveling‘ dengan bekal seadanya. Semakin jauh tujuan perjalanan dan semakin sedikit bekal, merupakan prestise tersendiri bagi seorang ‘backpacker‘.
Dari jendela bis yang menjemput selepas dari bandara, otak saya berupaya keras mengaduk kenangan memori 23 tahun yang lalu. Hampir semuanya tak bisa ku kenali lagi, selain patung kereta kuda Ksatria Gatotkaca di Bundaran Ngurah Rai, Tuban, Badung. Patung itu menggambarkan sosok Raden Gatotkaca yang sedang bertempur dengan Adipati Karna menggunakan kereta yang ditarik 6 ekor kuda. Ikon patung yang dibangun pada tahun 1993 ini memang sangat legendaris. Bahkan sempat dijadikan sebagai destinasi wisata favorit, karena kemegahan dan detail penggarapannya. Meski, keberadaannya saat ini sudah kalah tenar dengan Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di kawasan Kuta, Bali. GWK menjadi patung ketiga tertinggi di dunia setelah The Statue Of Unity di India dan Spring Temple Buddha Statue di Henan, China.
Kalau dulu saya berkunjung ke Bali untuk sekedar berpetualang saja, pada kesempatan ini, saya dan teman-media diajak Dinas Komunikasi dan Informatikan Kabupaten Gunungkidul dalam acara Pers Tour rutin tahunan. Studi banding ke Pemkab Badung, Bali dengan tujuan sharing tentang sinergitas antar elemen dalam membangun citra positif pemerintah ke publik berkaitan dengan ‘branding‘ daerah.
Kepala Diskominfo Gunungkidul, Wahyu Nugroho menilai, Kabupaten Badung tepat dijadikan contoh, sebab daerah ini termasuk salah satu yang dianggap sukses mengembangkan citra positifnya ke publik yang berdampak pada kemajuan wisatanya.
“Kalau dibandingkan secara kondisi daerah, antara Gunungkidul dan Kabupaten Badung memang ada perbedaan yang signifikan, terutama dari PAD untuk mendukung operasional daerah. Namun, kami tetap optimis Gunungkidul bisa menerapkan apa yang sudah dilakukan di Badung. Meski upaya tersebut memerlukan proses yang panjang. Hal yang mendasar yang bisa direplikasi adalah soal komunikasi dan publikasi,”
kata Wahyu Nugroho, Kepala Dinas Kominfo Gunungkidul.
Kepala Bidang Pengelola Informasi Publik, Diskominfo Kabupaten Badung, Adi Purwata menyampaikan, bahwa upaya branding yang selama ini pihaknya lakukan memang melibatkan banyak sektor dan stake holder, baik pemerintah maupun pihak swasta, termasuk media.
Selain sinergitas, menurut Adi, salah satu upaya yang berdampak signifikan adalah mengoptimalkan program Smart City. Hal ini menimbulkan dampak positif pada Badung sebagai daerah tujuan wisata di Bali, khususnya secara keamanan. Pemkab Badung memasang 647 CCTV dan 987 titik jaringan WiFi di berbagai tempat strategis dan fasilitas umum.
“Kami menjamin situasi keamanan daerah agar wisatawan nyaman saat berkunjung. Keamanan dan kenyamanan wisatawan adalah prioritas. Mayoritas warga kami hidup dari pariwisata, pasca Pandemi, angka kunjungan wisatawan ke Badung juga sudah berangsur normal,” ujar Adi Purwata.
Pariwisata Bali dan Budaya sebagai Aset Utama
Bali sebagai daerah tujuan utama wisata di Indonesia memang tak terbantahkan. Jutaan wisatawan baik mancanegara maupun domestik membanjiri Bali setiap tahunnya. Selain destinasi wisata alam, adat istiadat, tradisi, kearifan lokal, dan keunikan seni dan budaya yang masih lestari menempatkan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terbaik dunia. Pada tahun 2021, ‘Tripadvissor Travellers Choice Awards‘ menetapkan Bali sebagai destinasi wisata paling populer di dunia.
Merujuk dari berbagai sumber, pariwisata Bali mulai booming pada sekitar tahun 1970an dan menuju puncaknya pada sekitar tahun 90an. Di dunia internasional, ketenaran nama Bali bahkan waktu itu melebihi Indonesia. Ada seloroh yang mengatakan bahwa turis asing sering mengatakan bahwa dia belum pernah berkunjung ke Indonesia, tapi pernah ke Bali.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Bali, sebelum Pandemi, tahun 2019 tercatat 6,3 juta turis (39,1 persen jumlah total kunjungan nasional) dan 10,5 juta lebih wisatawan domestik yang mengunjungi Bali.
“Pariwisata adalah tulang punggung perekonomian Bali, dan telah memberi kontribusi US$ 5,59 milyar atau 28,8 persen terhadap devisa nasional”
– BPS 2019 –
Sempat terpukul karena situasi Pandemi Covid19 selama dua tahun. Di tahun 2022 seiring Pandemi mulai mereda, jumlah kunjungan wisatawan asing ke Bali mulai tercatat masuk 2,3 juta orang dan domestik sebanyak 3,9 juta. Memasuki tahun 2023 ini, Pemprop Bali optimis kunjungan wisatawan akan mulai normal kembali.
Daya tarik wisata Bali memang bukan sekedar keindahan alam. Kesadaran dari masyarakatnya dalam memegang teguh adat istiadat, budaya serta ajaran Hindu sebagai mayoritas kepercayaan yang dianut adalah aset utama. Segala hal terkait warisan budaya leluhur masih dilestarikan oleh masyarakat Bali. Bisa dikatakan bahwa spirit dari pariwisata Bali adalah budayanya. Ada satu catatan penting disini, bahwa masyarakat Bali melakukan semuanya bukan sekedar sebagai tuntutan paket atau sajian wisata, namun berdasar kesadaran bahwa hal itu adalah suatu kewajiban yang mesti dilakukan.
Masyarakat Bali memang sangat menghormati leluhur dan semua yang diwariskan. Mengutip journal I Gusti Ayu Pramuningsih, mahasiswa S2 Universitas Ganesha bahwa keberhasilan Bali dalam membangun pariwisata tak lepas dari konsep Tri Hita Karana (THK). Konsep ini menempatkan tiga unsur utama sebagai filosofi hidup bermasyarakat, dan landasan falsafah ekonomi dalam mencapai kesejahteraan dengan tetap menjaga keseimbangan dan harmonisasi sebagai elemen dasar.
“Tri Hita Karana merupakan budaya lokal yang bersumber dari kearifan lokal. Konsep ini tidak hanya mampu mengakomodir dan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar dalam kebudayaan asli, tapi sekaligus sebagai bingkai tatanan kehidupan masyarakat Bali dalam berbagai sektor,” kata I Gusti Ayu Pramuningsih.
THK adalah landasan pemikiran dalam upaya mencapai kesejahteraan dengan tetap menjaga keseimbangan. ‘Tri‘ (tiga), ‘Hita‘ (kesejahteraan) dan ‘Karana‘ (penyebab). Pada hakekatnya, THK mengajarkan untuk selalu mengupayakan hubungan harmonis manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan) dan manusia dengan alam lingkungannya (palemahan).
Dengan demikian, konsep Tri Hita Karana diharapkan menjadi landasan pemikiran bukan hanya masyarakat, tapi juga para pengambil kebijakan (birokrasi). Konsep ini juga mempunyai arti bahwa pembangunan infrastruktur di Bali harus mengacu pada pengelolaan alam secara arif dalam rangka memeratakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Konsep pembangunan menempatkan alam dan lingkungan sebagai salah satu dari tiga unsur utama yang harus selalu dijaga. Menjaga budaya Bali (alam, manusia dan aktivitas budayanya) dipersepsikan sebagai penjagaan terhadap energi kehidupan perekonomian masyarakat Bali yang bersumber dari pariwisata.
Selain keunikan budaya, ada beberapa hal lain yang menjadi keunggulan Bali sebagai destinasi wisata utama. Salah satunya adalah ikon wisata sebagai perwujudan visual dari kepercayaan masyarakat dan tradisinya. Sempat saya singgung diatas tentang Patung Kuda Kesatria Gatotkaca dan Garuda Wisnu Kencana (GWK). Konsep pembuatan ikon ini memang tidak main-main. Untuk memenuhi segala unsur yang diinginkan, proses desain dan pengerjaannya membutuhkan waktu yang lama dan melibatkan para seniman yang memang berkompeten.
GWK contohnya, patung setinggi 121 meter, lebar 64 meter, dengan berat 4000 ton ini dibangun selama 5 tahun. Dihitung dari peletakan batu pertama di tahun 2013, dan diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 22 September 2018. Ide pembuatan GWK dimulai sekitar tahun 1989, dan disetujui oleh Presiden Suharto pada tahun 1990. Sempat terhalang krisis moneter 1998, pembangunan GWK akhirnya dilakukan secara bertahab dan menghabiskan dana sekitar 450 milyar.
Selain detail bentuk, material pembuatan ikon juga betul-betul dipilih sesuai kualitas mutu untuk pertimbangan keawetan. Oleh I Nyoman Nuarta, sang seniman perancangnya, GWK dibuat dari material tembaga, baja dan kuningan. Proses pengerjaan dibagi menjadi dua tempat, di Bandung dan Bali, dengan melibatkan lebih kurang 1000 pekerja.
“Kami tidak sekedar bikin patung besar, waktu kami membuat modelnya sudah melalui seleksi, pemikiran segala macam, baru kami putuskan bentuk GWK seperti itu,” kata Nyoman Nuarta, dilansir dari Kompas.com, Sabtu (22/9/2018).
Makna yang terkandung dari bentuk visual GWK juga menjadi bahan pertimbangan utama. Melansir dari halaman resmi situs web Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana, patung yang sekarang menjadi maskot Pulau Bali ini berbentuk Dewa Wisnu yang tengah mengendarai Garuda. Dalam mitologi Hindu, Dewa Wisnu dipercaya sebagai dewa pelindung alam semesta. Ia didampingi oleh Garuda yang melambangkan pengabdian dan kesetiaan tanpa pamrih. Sementara ‘kencana‘ adalah emas, artinya keduanya dihiasi mahkota dari mozaik emas.
Setelah budaya dan ikon wisata, keunggulan pariwisata Bali selanjutnya adalah manajemen pariwisata. Komang Tri Kusuma, Tour Guide (TG) yang memandu perjalanan kami menuturkan banyak hal tentang ini. Peran warga lokal Bali dalam pengelolaan dan pelaku langsung wisata sangat diutamakan. Ia mencontohkan dirinya sebagai guide wisata. Untuk mendapatkan sertifikat guide, ia harus menempuh serangkaian pendidikan khusus.
Perempuan asli Bali ini memang tampak sangat profesional melakukan tugasnya. Dengan sangat fasih, ia menuturkan seluk beluk tentang Bali. Tak hanya melulu soal wisata, tapi juga budaya, adat istiadat, bahkan hal-hal yang detail tentang Bali ia kuasai dengan sangat meyakinkan.
“Keberadaan kami sangat dihargai dan dilindungi secara profesional. Salah satu contohnya, jika ada rombongan wisatawan ke Bali melalui agen resmi tidak menggunakan jasa guide, maka hal itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Oleh aturan yang disepakati, rombongan ini bisa didenda dengan nominal sejumlah uang,” kata Komang.
Sisi Lain Pariwisata Bali
Ibarat dua sisi dalam satu keping mata uang yang tak terpisah, pariwisata dimanapun selain mendatangkan dampak positif, pasti juga ada sisi negatifnya. Begitupun juga yang terjadi di Bali. Gemerlap pariwisata dan berbagai keberhasilan yang tadi diulas adalah wajah cantiknya. Pada sisi lain, Bali juga menyimpan berbagai dampak terkait maraknya wisata masif. Permasalahan lingkungan adalah yang utama, selain kemacetan, masalah sampah, kesenjangan sosial, air bersih, listrik (energi), alih fungsi lahan dan juga abrasi pantai.
-
Sampah
Melansir voaindonesia.com, dalam tulisan ‘Pesona Wisata Bali Tercoreng Masalah Sampah‘ (Arif Budiman, 7 Juni 2022), dikatakan bahwa saat ini Bali sedang mengalami masalah darurat sampah. Tak hanya wisatawan yang mengeluhkan hal ini, bahkan media media internasional seperti The Guardian, CNN dan National Geographic juga menyoroti bahwa di pantai-pantai Bali yang terkenal seperti Kuta, Legian dan Seminyak tiap hari dipenuhi dengan sampah.
“Sebuah studi yang dilakukan oleh Bali Partnership pada 2019 mendapatkan data bahwa ada 33.000 ton lebih sampah plastik setiap tahunnya. Sampah ini berasal dari sungai-sungai yang akhirnya menumpuk di laut/pantai. Kita sejauh ini hanya mampu mengumpulkan sekitar 400 ton dalam waktu sekitar 15 bulan. Itu berarti baru sekitar satu persen dari seluruh sampah plastik yang ada di Bali setiap tahunnya,” kata Gary Benchegib, aktivis Sungai Watch, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang lingkungan, terutama masalah sampah. Pria yang sudah 18 tahun tinggal di Bali ini menyebut, bahwa sebetulnya kesadaran masyarakat Bali terhadap sampah, saat ini sudah jauh lebih baik dibanding sebelum Pandemi. Hanya saja, sarana dan prasarana pengelolaannya masih belum memadai.
Persoalan sampah di Bali ini juga disinyalir sebagai salah satu penyebab tersingkirnya Bali dari daftar 10 destinasi favorit dunia di tahun 2022. Hanya berselang satu tahun setelah terpilih sebagai yang paling favorit versi “Tripadvissor Traveller Choice Award” di tahun 2021
-
Pencemaran Lingkungan
Selain masalah sampah, portal berita Balipost juga menyoroti dampak lain pembangunan fisik di Bali dalam sebuah tulisan berjudul ‘Masa Depan Bali Dihantui Pencemaran Lingkungan‘ (27 April 2019).
“Pembangunan fisik di Bali masih terus dilakukan, bahkan implikasinya menyebabkan tingginya tingkat alih fungsi lahan. Data BPS Bali menyebutkan, alih fungsi lahan sawah per-tahun rata-rata mencapai 750 hektar. Jika hal ini terus berlanjut, areal persawahan Bali dengan sistem ‘subak’ yang sudah diakui UNESCO sebagi situs warisan budaya dunia, akan habis tak kurang dari 100 tahun lagi“, begitu tulis Balipost.
Ketua pusat studi Pembangunan Berkelanjutan Universitas Udayana Bali, Dr. Ketut Gede Dharma Putra., M.Sc. juga menyatakan hal senada. Bahkan ia menyebut bahwa dampak pembangunan infrastruktur yang masif di Bali akhirnya memang akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan secara keseluruhan.
“Masalah pencemaran lingkungan, tak hanya akan berpengaruh pada pariwisata, tapi juga pada kehidupan masyarakat Bali secara keseluruhan. Hal ini perlu dihadapi dengan ketersediaan pengendalian program yang terpadu dan konsisten yang diimbangi dengan pertimbangan kecukupan dukungan sumber daya. Keberadaan tiga pilar utama, yakni sektor usaha/bisnis, pemerintah dan masyarakat perlu bersatu padu menghadapi hal ini. Peran serta masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan Bali dari krisis lingkungan,” kata Ketut Gede
Selain peran tiga pilar ini, menurut Ketut Gede, upaya menerapkan strategi ‘green economy‘ harus terus digalakkan melalui program pembangunan ekonomi yang mengedepankan produk bersih dan ramah lingkungan
-
Ketersediaan Air Baku
Dampak lain dari permasalahan lingkungan ini salah satunya adalah ketersediaan air baku, baik untuk kebutuhan industri wisata, maupun kebutuhan masyarakat dan pengairan. Portal berita bali.antaranews.com pernah menyoroti hal ini. Antaranews.com menulis bahwa ratusan hotel berbintang dan pendukung wisata lainnya di Bali, belakangan ini mulai mengalami krisis air bersih. Tak hanya prasarana wisata, air baku sebagai kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari yang disediakan oleh PDAM juga mulai tidak memadai. Termasuk juga air untuk kecukupan pengairan lahan pertanian.
Terkait hal ini, Ray Yusha, Kepala Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, mencontohkan bahwa ketersediaan air bersih yang dikelola oleh PDAM Kabupaten Badung saat ini hanya berkapasitas 296 liter per detik dan PT TB 650 liter per detik. Jumlah ini sekarang memang masih kurang memadai. Untuk itu, Pemprop Bali sekarang memprogramkan untuk membuat bendungan dan saluran air di sungai-sungai yang berada di Bali. Meski tantangannya sekarang adalah masalah sampah yang dibuang di perairan sungai yang harus segera ditangani dengan serius.
“Sekarang kan air bawah tanah yang dieksploitasi, besok tidak boleh lagi, harus kita hitung betul-betul itu. Sekarang itu yang tidak kita hitung, banyak yang mengeksploitasi tanpa ijin, itu salah satunya,” kata I Wayan Wiasthana Ika Putra, Kepala Bappeda Litbang Propinsi Bali.
-
Sosial
Gemerlap wisata Bali yang tentu mendatangkan pundi-pundi rupiah, dan perputaran ekonomi yang besar tentu akan ada yang ‘terkorbankan’. Perputaran roda besi kapital akan melindas orang-orang yang tidak memiliki kesempatan atau peluang, lalu menyingkirkan mereka di sudut-sudut sepi ruang marginal.
Saya jadi teringat saat rombongan habis makan di sebuah restoran atau berkunjung di pusat oleh-oleh. Beberapa anak-anak kecil, dan ibu-ibu tua membututi kami sambil menawarkan sekotak tissue untuk kami beli. Bahkan beberapa diantaranya terang-terangan meminta belas kasihan.
“Om ganteng, tante cantik, tolong dong dibeli, atau minta uangnya dong buat beli makan,” rengek mereka
Fenomena ini memang umum terjadi di kota-kota besar di manapun. Pemandangan buram dalam bingkai gemerlap modernitas dan kemewahan. Meski tidak bisa digeneralisasi, hal ini bisa menjadi sebuah ‘tanda’ bahwa ada kesenjangan sosial yang terjadi, berdampak pada masyarakat secara umum dan sudah muncul di permukaan. Walaupun hal ini tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya dasar untuk menarik sebuah kesimpulan, karena permasalahan terkait hal ini memang sangat kompleks.
“Masih ada persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi Bali, seperti infrastruktur, kemiskinan, pengangguran, dan persoalan-persoalan sosial lainnya. Bahkan kalau kita lihat, masih cukup banyak desa-desa di Bali yang kondisinya tertinggal,” kata Ketua Yayasan Pendidikan Gajah Wahana, Dr. Wayan Sukla Ananta (bali.antaranews.com)
Prof. Dr. I.B. Mantra, dalam bukunya, ‘Bali, Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi‘ menyatakan keoptimisan bahwa, Bali masih bisa terus bertahan dari gempuran jaman asal masih bisa memegang teguh prinsip prinsip hidup masyarakat yang sudah diyakini dan berlangsung selama berabad-abad.
“Saat pembangunan menampakkan wajah barunya, dengan cepat merebak pandangan cemas, pesimis, sangsi bahwa Bali akan segera kehilangan ke-Bali-annya. Orang-orang kembali sibuk mencari-cari bentuk formasi baru yang akan menjadi tulang punggung kehidupan sistem kemasyarakatan, tradisi, agama, dan budaya. Padahal, dengan tetap memegang teguh dan mempertahankan apa yang selama ini diyakini dan telah berjalan selama berabad-abad lampau, kehidupan masyarakat Bali akan terus bergerak, dan bercampur di antara aliran budaya modernisasi”
– tulis Prof Dr. I. B. Mantra –
Wacana Gunungkidul untuk menjadi Bali Kedua
Bali dan Gunungkidul memang tak bisa begitu saja dibandingkan secara general. Ada banyak perbedaan mendasar diantara keduanya. Secara tingkat pemerintahan Bali adalah Provinsi, sedang Gunungkidul adalah sebuah Kabupaten. Dari sisi kewilayahan Bali adalah pulau yang otomatis batas wilayahnya semua garis pantai, sedangkan Gunungkidul hanya di bagian selatan saja. Secara sosial historis ada kemiripan, dimana Gunungkidul adalah bagian dari Keraton Yogyakarta, sementara di wilayah Bali, dulunya ada beberapa kerajaan yang berbeda yang sempat mewarnai sejarah Bali.
Saat ini, Gunungkidul mempunyai 59 pantai yang sudah dijadikan sebagai destinasi wisata, sedangkan Bali mempunyai 150an lebih pantai, baik yang sudah tersohor maupun yang masih ‘hidden gems‘. Secara budaya, Bali sudah panjang lebar kita ulas di atas, sementara Gunungkidul atau secara luas DIY juga dikenal sebagai daerah yang kaya akan adat, tradisi dan budaya. Meskipun saat ini, kita sebagai orang Gunungkidul juga harus mau memeriksa diri, apakah identitas budaya kita sekarang masih kuat atau setidaknya masih ada untuk menghadapi wisata masif, modernisasi dan dampak positif maupun negatif yang tentu akan menyertainya (?).
Ulasan tentang Bali di atas, memang sengaja saya tulis dari dua sisi yang berbeda. Sebagai asli ‘anak gaplek‘ Gunungkidul, saya tentu akan bangga jika tanah kelahiran ini bisa mendunia laiknya Bali. Namun, pada sisi lain kita juga harus memikirkan banyak hal tentang Gunungkidul ke depan.
Booming wisata Gunungkidul yang baru mulai satu dekade terakhir bisa dijadikan momen untuk kita bersiap. Jika kita berkaca pada Bali dengan segala kelebihan baik alam maupun modal sosial masyarakatnya, ternyata setelah hampir 50 tahun berkutat dengan pariwisata juga mulai menghadapi banyak permasalahan.
Ini tentu tak hanya tugas Pemerintah, sudah selayaknya kita sebagai masyarakat Gunungkidul juga harus berfikir dan bersiap jika benar-benar akan menjadi Bali kedua. Kita jangan terjebak hanya pada pemikiran tentang besarnya PAD wisata di Bali, atau gemerlapnya nama Bali di kancah nasional maupun internasional. Pada sisi lain, masalah-masalah yang dihadapi Bali saat ini, bisa kita gunakan acuan untuk mempersiapkan langkah mitigasinya.
Berikut, secara sederhana akan kita bahas beberapa hal yang akan sangat mungkin segera kita hadapi saat Gunungkidul benar-benar menjadi destinasi wisata masif.
-
Lingkungan
Selain membawa uang, wisatawan datang dengan kendaraan dan sampah yang akan menyebabkan polusi. Persoalan lingkungan yang paling pertama akan terdampak. Poin-poin yang bisa kita lakukan:
-
- Mempertahankan hutan desa
- Memperbanyak pohon perindang dan zona hijau
- Edukasi untuk pelaku wisata dan wisatawan tentang pengelolaan sampah sederhana dan upaya-upaya ramah lingkungan yang lain
- Membuat mekanisme yang jelas tentang pengelolaan sampah secara komperehensif.
Selain soal sampah, kita juga perlu berfikir tentang ketersediaan air baku yang memadai untuk pendukung fasilitas wisata (baca: hotel, restaurant dan yang lain). Selama ini, persoalan kesulitan air di Gunungkidul seakan tidak ada ujung dan pangkalnya. Dan banyak pihak sepakat menggunakan cara eksploitasi sumber air bawah tanah untuk mengatasi hal ini. Pada sisi ini, kita juga harus berfikir tentang kelestariannya. Faktanya, ketersediaan air bawah tanah sangat tergantung pada pemeliharaan dan kelestarian permukaan (sistem karst dan vegetasi).
-
Sosial ekonomi
Meski secara otomatis menaikkan perekonomian masyarakat, namun secara pemerataan ekonomi lazimnya belum menyentuh secara menyeluruh. Pasti ada yang mendapat banyak keuntungan, tapi juga banyak yang hanya menjadi penonton. Dalam hal ini, perlu regulasi tentang pemerataan pembangunan dalam konteks perekonomian masyarakat di luar wisata. Hal ini juga bertujuan agar tidak menumbuhkan ketergantungan masyarakat hanya pada sektor pariwisata.
-
Sosial Budaya
Membuka wisata membawa konsekuensi terbuka terhadap kebiasaan dan kebudayaan baru. Penguatan terhadap budaya lokal harus dijaga agar tidak kehilangan identitas.
-
Keseimbangan Pembangunan
Berbicara wisata juga berbicara tentang pendukung wisata. Hotel, Restoran, jalan dll. Perlu diperhatikan tentang daya dukung dan daya tampung sumber daya. Jangan sampai dengan eksploitasi pembangunan akan menimbulkan ketidaknyamanan baik kepada wisatawan maupun penduduk lokal sendiri.
-
Kontrol
Wisata juga erat kaitannya dengan pemodal dan investor dari luar. Perlu kehati-hatian dan regulasi yang jelas agar tercipta keseimbangan dalam berbagai bidang. Perlu juga dicatat bahwa hal ini berpotensi akan adanya kontrol dari luar yang berlebihan.
Pada artikel rebowagen.com yang berjudul ‘Analisis Sosial Obyek Wisata di Gunungkidul Yang Saat Ini Keadaanya Sekarat‘ (19 Januari 2003), sedikit kami bahas tentang realitas obyek wisata di Gunungkidul pasca Pandemi. Sekali lagi, ini bukan soal pesimistis terhadap wacana (cita-cita) Gunungkidul untuk menjadi Bali kedua, namun harus kita sadari bahwa banyak hal yang tentunya harus kita siapkan. Jangan sampai kita hanya terjebak hanya sebatas wacana naif, euforia, atau latah yang ujungnya menjadi suatu hal yang absurd untuk Gunungkidul dan kehidupan generasi setelah kita.