Budaya(rebowagen.com)– Kematian adalah suatu hal yang sudah bisa dipastikan akan dialami oleh semua makhluk yang bernyawa. Mati adalah suatu proses dimana ruh meninggalkan ‘badhan wadag‘ (jasad lahir). Semua bangsa dan suku di dunia mempunyai ritual masing-masing dalam mengiringi proses kematian. Manusia percaya, bahwa mati bukanlah akhir dari segala-galanya, tapi sebuah awal dari perjalanan baru pada alam kehidupan yang abadi.
Kepercayaan Jawa mengartikan bahwa kematian adalah sebuah proses pembebasan bagi ruh manusia untuk kembali pada hakekat asal kehidupannya. Dari mana berasal dan kemana akan kembali (sangkan paraning dumadi). Atau, dengan kata lain, kematian adalah pintu masuk manusia untuk kembali kepada Tuhan Sang Pencipta kehidupan. Pemahaman yang demikian membuat orang Jawa mempunyai tradisi ‘slametan‘, sebuah ritual doa sekaligus memelihara hubungan batin dengan mendiang keluarganya atau leluhurnya.
Upacara menghormati keluarga yang meninggal bagi orang Jawa dimulai saat hari kematian (geblak) yang kemudian berlanjut ‘nelung ndina‘ (tiga hari), ‘mitung ndina‘ (tujuh hari), ‘matang puluh‘ (empat puluh hari), ‘nyatus‘ (seratus hari), ‘mendhak pisan‘ (mendhak pertama), ‘mendhak pindho‘ (mendhak kedua) dan ‘nyewu‘ (seribu hari). Setelah itu diteruskan dengan tradisi ‘ruwahan‘ yakni tradisi mengirim doa bagi arwah di Bulan Ruwah.

Dalam rangkaian ‘slametan‘ ini, masing-masing mempunyai arti dan makna tersendiri. Pemaknaan ini terkait tahapan perjalanan dari ruh orang yang meninggal dalam prosesnya untuk kembali bertemu dengan Sang Pencipta. Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti kenduri ‘nyewu‘ atau seribu hari di tempat tetangga. Lingkungan tempat tinggal saya memang masih ‘nguri-uri‘ (melestarikan) adat tradisi khususnya selamatan bagi keluarga yang sudah meninggal.
“Ritual pertama adalah upacara adat ‘ngesur tanah’ atau ‘surtanah’. Ini dilakukan pas hari kematian mendiang, ‘Ngesur’ mempunyai arti menggeser, artinya bergesernya alam kehidupan almarhum dari kehidupan dunia ke alam baka. Ini juga mempunyai makna manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah,” kata Mbah Salimin, sesepuh yang biasa menjadi ‘kaum‘ untuk memimpin upacara penguburan jenazah. Beliau juga terbiasa menjadi ‘modin‘ yang ‘masrahke ubarampe‘ atau memimpin ritual kenduri pada acara ‘slametan‘
“Pas hari ‘geblak’ ini, ada satu syarat ‘ubarampe’ berupa ‘ungkur-ungkuran’, yaitu ayam yang disembelih, kemudian dimasak utuh dengan cara dibakar. Ayam ini kemudian dibelah menjadi dua, dan disajikan saling membelakangi antar bagiannya (ungkur-ungkuran). Ini mempunyai makna ‘ngungkurke’ atau meninggalkan, artinya sebuah simbol bahwa mendiang telah meninggalkan segala urusan dunia,”
lanjut Mbah Salimin – Salah satu sesepuh yang menjadi Kaum.
Sebelum acara kenduri dimulai saya memang sempatkan ngobrol banyak dengan Mbah Salimin. Ia banyak memberikan penjelasan tentang rangkaian upacara selamatan orang meninggal menurut tradisi adat Jawa. Setelah hari ‘geblak‘, kemudian dilakukan selamatan ‘nelung ndina‘ atau hari ketiga setelah hari kematian. ‘Nelung ndina‘ ini mempunyai arti sebagai sebuah bentuk penghormatan keluarga terhadap mendiang, karena dipercaya bahwa arwahnya masih berada di rumah dan baru persiapan untuk melakukan perjalanan selanjutnya. Do’a dan harapan kemudian dilantunkan agar si arwah bisa menemukan jalan yang mudah.

Selanjutnya adalah ‘mitung ndina‘ atau selamatan tujuh hari. Pada hari ke tujuh ini, dipercaya bahwa arwah almarhum mulai meninggalkan rumah, untuk memulai perjalanan mencari jalan ke alam kubur. Pada beberapa desa, selamatan ‘mitung ndina‘ ini ditandai dengan tradisi membuka jendela atau salah satu genting rumah, sebagai simbol agar arwah almarhum mudah dalam memulai perjalanannya.
Selanjutnya adalah ‘matang puluh‘ (empat puluh hari), ini masih dalam rangkaian doa penghormatan kepada mendiang, dan permohonan agar arwahnya diberi kelancaran dalam perjalanan. Rangkaian selanjutnya adalah ‘nyatus‘ (seratus hari), diartikan bahwa pas seratus hari meninggalnya mendiang, maka ‘slametan‘ diadakan dengan tujuan untuk menyempurnakan hal hal yang bersifat ‘badan wadhag‘ (jasad lahir) dari mendiang.
“Selanjutnya adalah ‘mendhak sepisan’ (mendhak pertama), dilaksanakan pas setahun setelah hari kematian. ‘Mendhak’ sering disebut upacara ‘meling’ atau ‘eling’ (mengingat), mempunyai arti agar keluarga selalu mengingat atau mengenang jasa-jasa dari mendiang, sehingga jangan sampai lupa untuk terus mendoakannya,” kata Mbah Salimin lagi.
Pada tahun kedua kematian, dilaksanakan slametan ‘mendhak pindho‘ (mendhak kedua). Tujuannya adalah untuk menyempurnakan jasad fisik jenazah yang berwujud kulit, daging dan darah. Pada tahun kedua setelah kematian, dipercaya bahwa jenazah sudah hancur dan tinggal tulang belulang yang tersisa.
“Terakhir yaitu ‘nyewu’ (seribu hari), ini adalah puncak dari seluruh rangkaian ‘slametan’. Saat seribu hari, arwah sudah lepas (lepaso parane, jembaro kubure). Arwah sudah berada di alam ‘kelanggengan’ (keabadian)” terang Mbah Salimin.

Setiap proses ‘slametan‘ selain mengirim doa, juga ditandai dengan sedekah dan syarat ‘ubarampe‘ tertentu. Keluarga akan memasak makanan untuk kemudian mengundang tetangga dan saudara untuk kenduri (genduren). Hadirin yang hadir di acara ‘genduren‘, ketika pulang akan membawa ‘berkat‘ yang berwujud nasi dan segala lauk-pauknya.
“Berkat ini biasanya dalam bentuk ‘matengan’ (matang), tapi dalam perkembangan zaman sekarang, sudah banyak yang diganti dalam bentuk bahan makanan mentah,”
imbuh Mbah Salimin.
Pada adat ‘slametan‘, biasanya pada peringatan ‘mitung ndina‘ atau ‘nyewu‘, keluarga akan memberikan sedekah berupa kambing atau sapi untuk disembelih dan dimakan bersama-sama. Sedekah ini disebut sebagai ‘tumpakan‘ atau ‘kewan tunggangan‘ buat arwah mendiang dalam perjalanannya pulang ke alam keabadian.
Setelah ‘slametan nyewu‘, setiap tahun yakni di Bulan Ruwah, warga secara bersama-sama akan mengadakan adat tradisi ‘ruwahan‘. Dengan membawa makanan berwujud ‘apem‘ (mempunyai makna memohon ampunan). Warga akan ziarah kubur bersama, membersihkan area pemakaman dan mendoakan arwah leluhur masing-masing.

Tradisi ‘slametan‘ orang meninggal ini memang sangat kental dengan tradisi kuno masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu dan Budha. Namun, dengan masuknya agama Islam yang dibawa para wali, terjadi akulturasi antara budaya dan agama. Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa, dalam ajarannya tidak lantas menghilangkan budaya yang telah berkembang sebelumnya. Mereka justru menggunakan media budaya untuk menyebarkan Agama Islam. Strategi ini notabene lebih bisa diterima oleh masyarakat, ketimbang menggunakan cara yang frontal atau radikal. Agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa, tanpa harus menghilangkan hakekat ajarannya, dan kemudian berakulturasi menjadi sebuah budaya yang terus ‘diuri-uri‘ (dilestarikan) hingga sekarang.
Salah satu pengaruh ajaran Islam pada acara ‘slametan‘ orang meninggal adalah tradisi mengirim doa dengan ‘tahlilan‘, ‘yasinan‘ atau ‘tadarus Al-Quran‘. Dalam acara ‘genduren‘ juga ada salah satu ‘ubarampe‘ yang berwujud ‘ingkung sekul suci ulam sari‘ (ingkung ayam dan nasi uduk). ‘Ubarampe‘ ini dikhususkan untuk ‘caos dhahar‘ atau menghormati Nabi Muhammad SAW, keluarga serta para sahabatnya.
Melansir tulisan Laduni.ID, bahwa dalam sudut pandang Islam, Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan manusia yang memberikannya kehidupan dengan dilahirkan ke dunia. Kemudian menjemputnya dengan kematian untuk kembali kepadaNya. Hal itu adalah garis yang sudah ditentukan, semua yang bernyawa akan merasakan mati, dan tak ada yang kekal hidup selamanya di dunia. Dalam artikel yang ditulis oleh Ahmad Syah Alfarabi ini, tradisi memperingati kematian bagi masyarakat Jawa sesungguhnya memang adat dan budaya sebelum masuknya ajaran Islam. Dengan mulai masuknya Agama Islam, tradisi ini mengalami akulturasi, sehingga menjadi tradisi khas Islam Jawa dan daerah lainnya di Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain.
“Sinergi ajaran Islam dan budaya Jawa, membentuk budaya baru yang mempunyai makna dan tujuan-tujuan tertentu,”
“Budaya adalah ‘fitrah’ yang diberikan Tuhan kepada seluruh manusia. Dan Allah menciptakan manusia di muka bumi ini memang dalam berbagai suku dan bangsa yang mempunyai keragaman budaya masing-masing. Sejauh nilai dan ajarannya tidak bertentangan dengan agama, tidak seharusnya budaya kemudian dijustifikasi menjadi suatu hal yang sesat,”
tulis Ahmad Syah Alfarabi.

Tradisi ‘slametan‘ mempunyai makna yang mendalam yang berkenaan dengan kepercayaan masyarakat Jawa tentang ‘sankang paraning dumadi‘. Pemahaman ini mempunyai arti tentang proses penciptaan manusia yang bersumber pada Dzat asal (Tuhan) dan tujuan untuk kembali kepadaNya. Proses rangkaian tradisi ‘slametan‘ penuh berisi doa dan harapan baik untuk arwah mendiang agar bisa diterima Tuhan. Dan yang lebih mendasar lagi, tradisi ‘slametan‘ juga tanda pengingat bagi yang masih hidup, bahwa apapun yang telah kita capai selama hidup entah itu derajad, pangkat, harta dan segala kemegahan dunia, akan ditinggalkan dan tidak akan dibawa ketika ajal menjemput.
Terima kasih informasinya. Unutk menghitung Selametan atau sewu hari meninggal bisa menggunakan Aplikasi Online dibawah ini :
Aplikasi Online Menghitung Selametan Orang Meninggal Menurut Budaya Jawa, Mudah dan Cepat Tanpa Ribet