Pertanian(rebowagen.com)- Aulia bersolek di depan cermin, memastikan pakaiannya sudah ‘memper’ (pantas) dan nyaman untuk beraktivitas. Pagi ini menjadi hari yang ia tunggu-tunggu selama hampir satu bulan. Ia akan berangkat mengikuti kelas Sinau Tetanen Gunungkidul (STG) yang diadakan oleh Sekolah Pagesangan. Aulia Puspanjali adalah remaja putri asal Padukuhan Sokoliman, Kalurahan Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Gunungkidul. Aulia bergabung menjadi peserta STG sejak Bulan Oktober tahun 2021 lalu, tepatnya kelas STG yang ke 7.
Program STG diprakarsai oleh Sekolah Pagesangan (SP). Sebuah kelompok belajar berbasis komunitas yang berada di Padukuhan Wintaos, Kalurahan Girimulya, Kapanewon Panggang, Gunungkidul. Proses belajar yang diterapkan di Sekolah Pagesangan memang berbeda dengan sekolah-sekolah lain. Di Sekolah Pagesangan tidak ada yang namanya guru dan murid, tidak ada kurikulum serta tidak ada ruang kelas atau seragam. Semua pembelajaran dilakukan dalam bentuk partisipatif. Prinsipnya, meletakkan peserta (manusia) sebagai tokoh utama dalam perencana dan pelaksana.
Semua yang ingin dipelajari berdasarkan apa yang dibutuhkan di Wintaos. Salah satunya adalah mempelajari soal pertanian. Kelas belajar pertanian ini dikemas dengan nama STG (Sinau Tetanen Gunungkidul). Dirumuskan tahun 2020 dan saat ini sudah berjalan rutin setiap sebulan sekali.
“Kita di Sekolah Pagesangan menyebut pertanian sebagai kegiatan ‘tetanen’. Tetanen di sini, bukan hanya soal tanam menanam, tapi lebih dari itu. Bercocok tanam berarti ada ikatan tradisi dan kebudayaan yang terbentuk dalam proses ‘tetanen’. Maksudnya proses bercocok tanam bisa sangat mempengaruhi pola hidup sehari-hari terutama di Gunungkidul” Ujar Diah Windureto, penggagas Sekolah Pagesangan.
Wanita yang biasa dipanggil Mbak Diah ini kemudian banyak bercerita tentang proses lahirnya Sekolah Pagesangan. Berawal dari keprihatinan tentang semakin minimnya pembelajaran pertanian yang berbasis pengetahuan lokal. Menurutnya, sekarang ini banyak yang membuat sekolah atau kelas-kelas atau komunitas yang membahas soal pertanian. Namun belum ada media belajar yang membahas soal pertanian lahan kering Gunungkidul yang khas. Terlebih lagi belajar pertanian yang ada relevansinya dengan kehidupan sehari-hari.
“Lebih spesifik lagi tidak ada yang menyediakan media belajar untuk pertanian di daerah Wintaos. Hal ini yang menjadi alasan Sekolah Pagesangan membuat STG, sebagai media belajar yang membahas soal pertanian terkhusus pertanian Gunungkidul,” lanjut Mbak Diah.
Kegiatan STG melibatkan orang di luar Wintaos untuk turut bergabung. Sekolah Pagesangan membuat STG menjadi semacam kelas terbuka untuk umum, tapi diutamakan orang Gunungkidul dan mau berkomitmen mengikuti pembelajaran. Harapannya proses belajarnya bisa lebih kaya, karena setiap peserta yang hadir pasti tidak berangkat dari nol, melainkan sudah ada pengalaman-pengalaman sebelumnya.
“Ketika bisa mengumpulkan berbagai pengalaman soal ‘tetanen’ dari peserta, harapannya pengetahuan bisa menjadi beragam dan kaya bersama,” harapnya.
Saat ini ada sekitar 20 peserta yang tergabung dalam proses kelas STG, yang berasal dari berbagai desa-desa di Gunungkidul. Salah satunya adalah Aulia. Ia rela menempuh jarak kurang lebih 40 kilometer dari desanya di Bejiharjo, Karangmojo untuk belajar ‘tetanen’ di Sekolah Pagesangan.
“Sebetulnya aku bukan petani, tapi aku seneng ikut berproses di STG. Ada banyak pengetahuan dan pengalaman soal bertani yang baru kutemukan di Sekolah Pagesangan. Terutama soal pangan lokal. Gabung di Sekolah Pagesangan, jadi salah satu caraku untuk merawat kesadaran tentang hubungan manusia dengan alam” Ujar Aulia
Sekolah Pagesangan dengan STGnya memang menjadi gerakan yang cukup melawan arus. Pasalnya, saat ini gempuran modernitas membuat mental masyarakat menjadi serba instan, cepat, dan berteknologi tinggi.
Program belajar ‘tetanen’ dari Sekolah Pagesangan memberikan sebuah alternatif. Di zaman seperti ini, masih ada sebuah kelompok kecil yang mau mempelajari ‘tetanen’, dan berusaha untuk mengajak yang lain.
Mbak Diah menyebut, bahwa apa yang ia lakukan dengan teman-temannya ini bukan hal yang mudah. Banyak sekali tantangan dan kendala yang harus ia hadapi selama merintis Sekolah Pagesangan.
“Jangankan belajar ‘tetanen’, tertarik membahas soal isu pertanian saja itu sudah menjadi kegiatan yang mulai langka di era modernitas seperti saat ini,” kata Mbak Diah.
Mengajak peserta dari luar Wintaos sejatinya juga sebuah keprihatinan yang dirasakan oleh Sekolah Pagesangan. Lantaran saat ini makin sedikit anak muda Wintaos yang tertarik dengan dunia pertanian. Pertanian dianggap sebagai sebuah profesi yang sangat tidak menjanjikan untuk ditekuni. Apalagi menjadi sebuah pilihan profesi. Mayoritas anak mudanya lebih tertarik ke pekerjaan lain di luar pertanian.
“Kami menghitung di Wintaos sendiri, orang yang mau bekerja di lahan atau masih mau bertani hanya 2% saja tidak lebih. Itu pun termasuk kader-kader Sekolah Pagesangan. Selebihnya lebih tertarik ke sektor lain” ujar Mbak Diah sambil membetulkan posisi duduknya.
“Faktornya banyak mbak, Saya sudah mengamati hal ini cukup lama. Faktor paling banyak ya modernitas. Dulu orang Wintaos bertani ya untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri, karena kalau tidak bertani tidak ada makanan. Kalau sekarang karena mobilitasnya jauh lebih mudah, jadinya sudah bergeser. Tidak ada keharusan lagi untuk bertani, karena selama punya uang bisa membeli bahan pangan di warung. Jadi saat ini ya lebih penting uang” ungkapnya panjang lebar.
Mbak Diah mengamati, bahwa banyak perubahan yang cukup besar di Wintaos semenjak akses mobilitas dibuka. Berubahnya pola pertanian masyarakat Wintaos dari yang mulanya bertani subsisten akhirnya menjadi bergantung.
Kapital menjadi jauh lebih penting daripada memproduksi pangan secara mandiri. Dan cara mendapatkan kapital paling cepat dalam kamus masyarakat Wintaos adalah menjadi buruh/bekerja menjadi karyawan pabrik atau toko-toko. Hal ini yang menyebabkan menurunnya minat untuk menjadi petani.
Selain itu dalam contoh kasus anak generasi 2000an, mereka sudah jarang menyentuh tanah/lahan pertanian. Maksudnya, kegiatan kesehariannya saat ini habis di bangku sekolah, sehingga minim sekali berinteraksi dengan tanah. Misal ada waktu luang, anak-anak lebih memilih bermain HP atau bermain motor daripada harus ke sawah atau bermain dengan hewan ternak.
“Dulu orang Wintaos menyebut tanah sama dengan pangan, tapi sekarang menyentuh tanah saja sudah jarang bagaimana bisa timbul rasa cinta?” lanjut Mbak Diah dengan sebuah pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa.
Apa yang disampaikan Mbak Diah, saya pikir memang banyak benarnya. Saya jadi teringat kalimat Cak Nun “bahwasanya generasi saat ini merupakan generasi paling bergantung pada hal-hal di luar dirinya”. Artinya manusia hari ini sangat rentan terhadap banyak hal, dan yang paling terdekat adalah persoalan pangan.
Belajar tetanen sejatinya bukan untuk orang lain namun untuk diri sendiri. Kerapuhan manusia modern dapat dilihat dari masa Pandemi Covid-19. Ketika semua akses ditutup semua aktivitas dibatasi, banyak orang kelimpungan tidak bisa memproduksi makanannya sendiri.
“Saat ini bisa jadi menjadi generasi terakhir petani. Saya memprediksi mungkin 20 sampai 30 tahun lagi petani di wintaos sudah habis. Bisa dilihat dari umur berapa petani terakhir di keluargamu?” pungkas Mbak Diah dengan mata menerawang.