Budaya(rebowagen.com)– Bahasa adalah salah satu identitas sebuah bangsa. Dengan bahasa orang saling berkomunikasi, berinteraksi dan bersosial. Bisa juga dikatakan bahwa bahasa adalah salah satu produk budaya. Kita mengenal istilah ‘bahasa ibu’ sebagai bahasa asli, artinya bahwa bahasa inilah yang dikenalkan orang tua kepada kita sejak dari lahir. Dengan modal ‘bahasa ibu’, manusia akan mengembangkan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan hidupnya.
Dalam perkembangan kebudayaan, bahasa saling berinteraksi sejalan dengan hubungan manusia lintas suku dan negara. Bahasa ibu, atau bisa dikatakan bahasa daerah/adat kemudian banyak mengadopsi kosakata-kosakata baru itu untuk menyebut nama benda-benda yang berasal dari luar. Sebutan untuk beberapa benda ini, lambat laun ternyata juga berubah dari generasi ke generasi mengikuti perkembangan zaman.
Untuk lingkup Gunungkidul yang secara administratif terdiri dari 144 desa, kadang sebutan untuk sebuah benda berbeda antar daerah. Belum ada penelitian yang menyebutkan faktor atau penyebab perbedaan penyebutan itu. Dari beberapa referensi yang saya baca, kosakata penyebutan benda ini, sebetulnya sebagian besar sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ada beberapa memang yang berasal dari kata kerja sesuai fungsi benda tersebut.
Berikut beberapa kosakata yang dulu umum digunakan dan sekarang sudah terdengar asing di telinga,
-
Mojah
Mojah adalah sebutan untuk kaos kaki. Dalam KBBI tidak diterangkan tentang asal kata dari mojah. Namun yang jelas, mojah masuk dalam perbendaharaan kosakata Bahasa Indonesia. Penggunaan kata mojah dalam keseharian, saat ini bisa dibilang sudah tidak ada yang mengucapkan. Orang umum akan menyebut kata kaos kaki untuk benda ini, beda dengan sebelum tahun 90an, kata mojah akan lebih umum digunakan.
“Mojah aja lali dikumbah, ndak mambu sesuk nek dienggo sekolah (kaos kaki jangan lupa dicuci, bisa berbau besok kalau dipakai sekolah)” wanti-wanti Simbok dulu, saat saya masih SMP, ketika mencuci baju di hari Minggu.
-
Cemung/polong
Kosakata ini adalah sebutan untuk kaleng bekas susu. Dulu kemasan bekas produk pabrikan bisa dibilang sangat jarang dimiliki oleh warga desa. Bekas kaleng susu ini kemudian digunakan untuk menakar beras yang akan dimasak.
“Pirang cemung/polong le rep ngliwet? (berapa kaleng mau menanak nasi?)” begitu biasanya pertanyaannya. Untuk takaran beras yang lebih besar, biasanya menggunakan ‘bêruk‘. Perkakas ini terbuat dari tempurung kelapa, atau dari tempurung buah maja. Untuk sekarang, takaran menanak nasi berganti dengan menggunakan gelas
-
Lodhong
Arti kata lodhong adalah toples dari kaca untuk tempat kue. Merujuk dari pengucapan kata, ukuran lodhong memang cenderung besar. Biasanya, lodhong akan keluar di meja depan waktu lebaran untuk menyambut tamu yang datang. Isi lodhong adalah kue-kue atau makanan kecil buatan sendiri.
-
Gendul
Gendul adalah botol bekas minuman pabrik berbahan kaca (beling). Biasanya gendul digunakan untuk tempat penyimpanan air putih (jarang putih) untuk diminum di rumah atau dibuat bekal ke ladang. Biasa juga digunakan sebagai wadah minyak goreng ataupun minyak tanah. Dulu, sebagai anak-anak, gendul ini biasa kami buru untuk ditukar kerupuk asin (kerupuk minil) pada tukang rosok keliling.
-
Lenga liun/potro/setroli
Ini adalah sebutan untuk minyak tanah. Kegunaan minyak tanah sebelum ada listrik adalah untuk bahan bakar lampu penerangan tradisional (gêlèk, ting, sênthir, tèplok). Sebutan untuk minyak tanah bermacam-macam, ada lenga mambu, lenga liun, patra atau setroli (kemungkinan dari asal kata petrolium).
Saat ini, jenis minyak tanah memang sudah sangat terbatas diproduksi oleh Pertamina. Teriring dengan pembatasan penggunaan minyak tanah di masyarakat berganti dengan jenis bahan bakar yang lain
-
Gogok/kempong
Gogok adalah wadah air yang sekarang umum disebut jeligen (jerigen/jirigen). Ukurannya bermacam-macam, ada yang kecil hingga yang berukuran besar. Terbuat dari plastik mika, kegunaannya dulu untuk wadah air putih atau minyak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata gogok berasal dari kata kerja ‘menggogok‘ atau menenggak. Ini salah satu benda yang disebut/dinamai berdasar fungsi kegunaannya. Gogok sebagai wadah air putih, maka ketika orang akan meminumnya secara langsung harus dengan cara menggogok/menenggak. Di beberapa wilayah Gunungkidul, gogok juga sering disebut kempong.
-
Plentong
Plentong adalah sebutan orang desa dulu untuk bolam lampu listrik (lightbulb). Namun ternyata, kata plentong sudah masuk dalam perbendaharaan kosakata dalam KBBI. Plentong juga digunakan untuk menyebut bolam lampu senter yang ukurannya lebih kecil.
“Waduh plentonge pedot, njaluk diganti iki (waduh plentongnya putus, minta diganti ini)”
-
Sentolop
Kata ini digunakan untuk menyebut senter sebagai alat penerangan. Dulu sebelum ada listrik, hampir setiap orang tua di desa memiliki sentolop atau senter ini. Senter paling legendaris adalah yang tutup bawahnya bergambar kepala macan.
Tingkat terang dari senter bermacam-macam, tergantung senternya isi baterei berapa. Jumlah baterei senter semakin banyak akan semakin meningkatkan prestise dari empunya. Saat ini, senter/sentolop menggunakan baterei sudah sangat jarang digunakan oleh warga, karena ada senter yang lebih praktis dengan cara di cash/chatrge/isi ulang (senter cash).
-
Beter
Masih kaitannya dengan sentolop, orang dulu menyebut baterei dengan sebutan beter. Lidah orang desa mungkin agak sulit mengucapkan kata baterai, sehingga latah disebut beter. Beter ini bermacam ukuran, ada yang besar untuk isi senter, atau untuk menghidupkan pesawat radio sampai yang ukuran kecil untuk daya jam dinding atau jam tangan.
Senter yang ‘mbleret‘ (redup), berarti daya beter sudah mulai habis. Orang dulu punya cara untuk sedikit membangkitkan energi dari beter, yakni dijemur atau dipukul-pukul perlahan.
-
Tesmak
Arti kata tesmak adalah kaca mata, ada juga yang menyebut ‘kaca belor‘. Dulu, Bapak sering kebingungan mencari tesmaknya saat akan membaca. “Golekno tesmakku le, lali aku ndeleh mau (carikan kaca mataku le, lupa aku taruh dimana tadi)”
-
Kacu
Kacu adalah sepotong kain kecil yang sekarang jamak disebut sebagai sapu tangan. Kata kacu juga masuk dalam perbendaharaan KBBI. Kacu digunakan untuk mengelap muka, atau membersihkan sekitar mulut setelah makan. Saat ada anak kecil pilek, maka kacu akan dipeniti di bawah kerah bajunya untuk mengelap ‘umbel‘ (ingus) jika keluar.
-
Penatu
Penatu adalah sebutan untuk setrika. Sebelum ada setrika listrik, penatu dengan pemanasan arang digunakan untuk merapikan baju. Penatu terbuat dari besi tebal, yang legendaris adalah penatu yang kancingnya berbentuk jago. Setrika listrik sekarang penggunaannya sangat praktis. Tinggal ditancapkan pada stop kontak, maka akan panas sendiri, derajat panasnya juga bisa diatur sesuai keinginan. Penatu berbahan panas dari arang, dulu sangat repot penggunaannya. Dan ini sering menjadi dilema bagi anak sekolah yang sudah harus ‘menatu‘ sendiri. Kalau tidak di-penatu, maka seragam sekolah akan ‘ting klinthing‘ (berlipat tak beraturan), tapi kalau ‘menatu‘, harus persiapan ekstra, belum kalau salah arang, percikan bara apinya bisa membuat lubang kecil-kecil pada baju/celana.
Demikian beberapa kosakata lawas yang saat ini sudah sangat jarang diucapkan. Selain daftar itu, sebetulnya masih banyak yang lain, dan itupun baru dari kata sebutan untuk benda, belum dari kata kerja atau logat ucapan sehari-hari. Perbendaharaan kosakata Jawa memang sangat variatif, dan karena perkembangan zaman, generasi sekarang banyak yang tidak mengetahui artinya lagi. Namun, bagi orang yang pernah mengalami pada masanya dulu, kata-kata atau nama benda yang terdengar aneh tadi menjadi suatu kenangan tersendiri untuk sedikit bisa tersenyum sambil mengenang masa lalu.