Pekan Climen(rebowagen.com)- Alkisah, dahulu kala di suatu masa purwa, di Pegunungan Ardi Kidul atau Dhaksina Arga, tepatnya di pinggir Jaladri Kidul di Gunung Batur Selatan terdapat wilayah yang bernama Girisuba. Disebutkan oleh Sang Maha Cerita tentang sebuah pertapaan bernama Gedhong Lengis. Ki Ajar Bedhah Sela, seorang ajar sekaligus ‘among tani‘ ‘wutun‘, membeberkan ajaran ilmu pertanian dan pranatamangsa kepada siapapun yang berkenan belajar di sana. Salah satu ‘cantrik‘ (murid) Ki Ajar yakni Jaka Pangreksa adalah seorang pemuda yang gigih dan penuh semangat. Ia berniat menyejahterakan kehidupan warga di sekitar tempat tinggalnya dengan ‘ngenger’ kepada Ki Ajar.
Ki Ajar memberikan ‘wewarah’ kepada si pemuda demi tercapainya niat Jaka Pangreksa untuk menyejahterakan wilayahnya. Jaka Pangreksa diminta untuk melaksanakan ‘lelaku teki-teki’, yakni mencari Air Suci Situganda ke arah Batur Agung Utara. Wilayah dimana di sisi selatannya terdapat Alas Basangen yang dibelah Kali Oya nan agung. Air Suci Situganda terdapat dalam sebuah sumber air di tepi Kali Oya, yakni petilasan bathari-bathari kahyangan bernama Belik Girang. Belik Girang dijaga oleh Resan Girang.
Ditemani dua panakawan, Kanil (manusia-cacing) dan Pungkring (manusia-garengpung), Jaka Pangreksa berangkat mencari Belik Girang untuk mengambil air suci. Peksi Sriti (manusia-burung), cantrik Pertapaan Gedhong Lengis, diminta Ki Ajar mengikuti dari kejauhan perjalanan Jaka Pangreksa.
Jaka Pangreksa beserta panakawan Kanil dan Pungkring akan memasuki Alas Basangen yang dibelah oleh Kali Oya. Tiba-tiba dari lebatnya kekayuan hutan muncul para ‘sato kewan‘ penguasa hutan, macan, kidang, dan wanara (monyet) yang mencoba melukai mereka. Berkat kepiawaian panakawan para ‘sato kewan‘ berhasil dihalau masuk hutan. Sejurus kemudian Si Gajah Oya muncul dan menunjukan arah tujuan Jaka Pangreksa yakni jalan ke Belik Girang.
Di dalam jantung hutan di tepi Kali Oya, tempat yang terkenal angker bernama Hutan Basangen itu, ada sebuah belik kecil yang mengalirkan air bening bagai kaca. Di sanalah air suci Situganda memancar dari bawah Pohon Girang. Pohon Girang nan agung menaungi kanan-kirinya, melahirkan namanya.
Canthaka Birawa, raksasa-katak, dan Mina Pranjala, raksasa-lele, adalah abdi raseksi bernama Puspa Girang. Puspa Girang telah menjaga dan menguasai Belik Girang beserta isinya sekian ratus warsa. Tugas mereka memukul balik orang-orang yang berniat buruk di Belik Girang.
Jaka Pangreksa dan para panakawan tiba di Belik Girang. Tanya-jawab terjadi antara Puspa Girang dan Jaka Pangreksa beserta panakawan. Jaka Pangreksa mengutarakan maksud kedatangannya: meminta air suci kepada Sang Raseksi penjaga. Upaya itu ternyata tidak segampang membalik telapak tangan, Si Raseksi mengancam membunuh Jaka Pangreksa dan para panakawan jika berani mengambil Air Suci Situganda di Belik Girang.
Peperangan terjadi antara Canthaka Birawa dan Pungkring. Keajaiban terjadi, setelah peperangan sengit memuncak, sekejap mata mereka berdua berubah wujud ke bentuk asli mereka. Canthaka Birawa berubah menjadi seekor katak. Ia dulu selalu memimpin keluarganya bergembira bernyanyi di genangan air hujan. Pungkring beralih rupa menjadi hewan garengpung. Dulu kehadiran ia dan keluarganya menjadi penanda musim penghujan. Turunnya air hujan disambut nyanyian mereka.
Sementara itu Mina Pranjala bertempur melawan Kanil. Mereka pun berubah ke wujud aslinya. Mina Pranjala menjelma ikan lele, sedangkan Kanil menjadi cacing. Meskipun keduanya adalah seteru abadi, namun pertentangan mereka mampu menghasilkan kesuburan tanah.
Raseksi Puspa Girang berperang melawan Jaka Pangreksa. Jaka Pangreksa sedang melaksanakan laku suci mencari air suci. Puspa Girang juga melakukan tindakan suci menjaga sumber air suci. Maka, peperangan keduanya adalah perang suci. Perang suci melahirkan pernikahan dan buah suci.
Telah menjadi ketentuan Sang Maha Cerita, Puspa Girang yang berwujud raseksi berubah menjadi bidadari cantik bernama Puspa Perwita. Kelak Puspa Perwita hidup abadi menjadi kebaikan di dalam air. Jaka Pangreksa berubah wujud menjadi Ikan Sidhat yang selama-lamanya tidak bisa berpisah dengan ‘situ’ (sumber air) dan ‘ganda’ (bau air). Kelak kemudian hari Iwak Sidhat menjadi ‘pangreksa‘ sumber air. Sementara waktu, Iwak Sidhat kembali ke pesisir Girisuba di pinggir Jaladri Kidul, tempat asalnya, untuk bertelur dan berkembang biak. Kelak ia pasti akan kembali.
Ki Ajar Bedhah Sela dan para sato kewan mengetahui dan menyaksikan semua peristiwa di Alas Basangen itu. Atas petunjuk Ki Ajar Bedhah Sela para sato kewan berpencar ke berbagai penjuru Ardi Kidul yang di kemudian hari melahirkan cerita mitologis di wilayahnya masing-masing. Burung Sriti terbang ke arah Batur Agung utara, melahirkan sejarah wilayah Sriten. Macan menuju arah timur laut Ardi Kidul, menjadi dongeng turun-temurun di sana. Kidang menuju pegunungan karang arah tenggara, juga menjadi legenda masyarakat sana. Wanara pergi ke arah barat daya, tinggal dan menunggui beberapa pegunungan hutan. Gajah Oya dipersilakan oleh Ki Ajar menjaga hutan lebat di tengah Ardi Kidul yang sejak purwa dibelah kali agung. Kali agung itu mengular jauh hingga Jaladri Kidul. Namanya lestari hingga masa-masa berikutnya: Kali Oya.
Kisah di atas adalah sinopsis cerita dari Wayang Resan yang berjudul Situganda. Sebuah pertunjukan wayang kontemporer yang ditampilkan oleh Komunitas Resan Gunungkidul. Pagelaran wayang dengan durasi 2,5 jam ini dibawakan oleh Ki Dalang Sigit Nurwanto, ditampilkan pada agenda Pekan Climen Rebowagen, Sabtu (22/10/2022). Ini adalah salah satu rangkaian acara Pekan Climen Rebowagen yang dihelat selama 7 hari (20-27 Oktober 2022) di Sinambi Farm, Sumbermulyo, Kepek, Wonosari.
Alur cerita lakon Situganda masih terkait dengan tema lingkungan khususnya air yang menjadi konsen gerakan dari Resan Gunungkidul. Dari dalang hingga penabuh (wiyaga) semuanya adalah anggota aktif Komunitas Resan Gunungkidul. Berbagai karakter tokoh dalam wayang ini juga dibuat dari daun-daun kering.
Laiknya tokoh pewayangan Werkudara yang ditugasi mencari air suci ‘Banyu Perwitasari’, Jaka Pangreksa adalah representasi dari semangat warga Gunungkidul. Wilayah selatan DIY ini sejak dulu memang terkenal sebagai daerah yang kering. Para petani mayoritas mengandalkan air hujan untuk sawah dan ladang mereka. Meski begitu, kegigihan, semangat kerja keras warganya mampu membuat mereka bertahan. Bahkan justru, kesulitan geografis ini banyak memunculkan budaya masyarakat petani yang beragam. Kearifan lokal budaya pertanian yang zaman sekarang sering disebut sebagai ‘permakultur‘. Sikap arif mereka dalam menghargai dan menghormati alam sebagai ruang hidup bersama adalah pondasi budaya kehidupan sehari-hari.
Sang dalang, Sigit Nurwanto menyampaikan bahwa Wayang Resan ini adalah sebagai salah satu upaya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga alam untuk kelestarian kehidupan.
“Ini salah satu bentuk upaya kami dalam kampanye lingkungan dengan media kesenian wayang. Seni wayang notabene lebih bisa diterima oleh masyarakat. Kami berharap pendidikan tentang menjaga lingkungan lebih bisa mengena,”
“Pada zaman sekarang, banyak dari kita yang telah melupakan kelokalan kita, sehingga bentuk penghormatan terhadap alam juga mulai tergerus,”
kata Sigit Nurwanto.
Ide Wayang Resan sendiri lanjut Sigit berawal dari keinginan teman-teman Resan Gunungkidul untuk berekspresi dan menghibur diri di sela kegiatan menanam pohon dan merawat sumber air di Gunungkidul. Dalam diskusi selanjutnya, ide kemudian berkembang untuk menjadikan Wayang Resan ini sebagai salah satu media kampanye pelestarian lingkungan.
Lakon Situganda sendiri menurutnya adalah lakon pertama yang dipentaskan oleh kelompok ‘Blêg Blêg Thing‘ yang mementaskan Wayang Resan dari Komunitas Resan Gunungkidul. Aroma ke-Gunungkidulan memang sangat kental terasa dalam lakon perdana ini. Nama-nama tokoh yang disebut, merupakan akar cerita tutur dari nama asal usul berbagai daerah di Gunungkidul.
Selaras dengan tema Pekan Climen yakni ‘Belajar Menjadi Gunungkidul‘, lakon Situganda seakan mengajak kita untuk berlayar dalam luasnya imajinasi tentang masa purwa bumi Dhaksina Arga atau Gunungkidul. Romantisme yang membawa kita untuk kembali mengingat, merasakan dan menengok kembali spirit dasar peradaban Gunungkidul.