Pertanian(rebowagen.com)– Ketela pohon (Manihot Esculenta) adalah tanaman perdu tropis dan subtropis tahunan dari suku Euphorbiaceae. Akarnya yang membesar menjadi umbi dikenal sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat. Sementara daunnya dimanfaatkan sebagai sayuran yang banyak mengandung protein. Tanaman ini mempunyai banyak sekali penyebutan, ubi kayu, ubi sampa, ubi prancis, singkong, ketela, kaspe dan lainnya.
Singkong ternyata memiliki sejarah yang sangat panjang pada banyak peradaban di seluruh dunia. Melansir Wikipedia, singkong pertama kali dikenal di Amerika Selatan, kemudian berkembang di Brazil dan Paraguay. Pada masa prasejarah, singkong sudah dibudidayakan sejak kurang lebih 10.000 tahun yang lalu. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya bukti-bukti penemuan arkeologis dari suku-suku Indian Maya di kawasan Meksiko dan El Savador.
Tanaman singkong masuk ke pulau Jawa diperkirakan pada sekitar tahun 1852. Ada sebuah tulisan dari Pieter Creutzberg dan J.T.M Van Laanen dalam Sejarah Catatan Ekonomi Statistik Indonesia. Dalam catatan itu menyebutkan bahwa di suatu kabupaten di Jawa Timur, bupati yang menjabat di wilayah tersebut diperintahkan untuk memberikan contoh dan menjadi pelopor menanam singkong, agar rakyatnya mau mengikuti. Pada awalnya, peran tanaman singkong di pulau Jawa sebagai komoditi pangan memang belum mampu berkembang sesuai yang diharapkan. Hal ini dicatat oleh seorang ‘kontrolir‘ di Trenggalek, H.J Van Swieten dalam bukunya, De Zoete Cassave (Jatropha Janipha). Van Swieten menulis bahwa sampai tahun 1876, singkong kurang dikenal, bahkan tidak ada sama sekali di beberapa wilayah pulau Jawa. Singkong ditanam dalam skala besar hanya di beberapa wilayah saja.
Baru pada awal tahun 1900, singkong mulai berkembang pesat di pulau Jawa. Peningkatan produksi ini dipicu dengan jumlah penduduk yang semakin pesat dan kebutuhan pangan yang meningkat. Produk olahan pangan dari singkong akhirnya mulai bisa diterima dan banyak diminati oleh masyarakat.
“Singkong menjadi salah satu bahan pangan tambahan yang mulai banyak diminati,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V.
Hingga saat ini, singkong menjadi bahan pangan pokok nomor tiga setelah padi dan jagung di Indonesia dan dunia. Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 192 juta ton di tahun 2004. Nigeria menjadi negara produsen singkong terbesar dengan produksi 52,4 juta ton, disusul Brazil 25,4 juta ton, dan nomor tiga Indonesia dengan produksi 21,9 juta ton (FAO 2004).
Produksi singkong di Gunungkidul
Kabupaten Gunungkidul mempunyai wilayah paling luas di DIY. Mayoritas penduduknya juga bermata-pencaharian sebagai petani. Namun, lahan pertaniannya didominasi lahan kering tadah hujan. Hal inilah yang membuat tanaman singkong sangat cocok dikembangkan di wilayah ini. Dengan sistem tanam ‘tumpang sari‘, singkong menjadi salah satu varietas wajib yang ditanam selain padi dan ‘palawija‘. Masa panen singkong yang setahun sekali, dianggap sebagai lumbung pangan di dalam tanah oleh para petani.
Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul, Sustiwiningsih, S.TP beberapa waktu lalu menjelaskan, bahwa sekarang ini para petani di Gunungkidul baru melaksanakan panen raya singkong.
“Total luas lahan singkong di Gunungkidul mencapai 48.038 hektar. Diharapkan dari luasan lahan itu mampu menghasilkan 990.000 ton ketela,”
kata Sustiwiningsih, S.TP.
Dari pantauan di beberapa desa di Gunungkidul, untuk harga jual ketela basah saat ini harganya anjlok hingga per kg hanya dihargai 700 rupiah. Sedang harga gaplek berkisar antara 2.000 sampai 2.500 rupiah per kilonya. Saat ini, pemerintah sedang gencar melakukan sosialisasi program pengolahan hasil pertanian. Tujuannya adalah agar nilai jualnya bisa bertambah, jika dibanding dijual secara mentahan. Singkong sebetulnya bisa diolah menjadi produk Modified Cassava Flour atau tepung Mocaf. Gunungkidul sebagai wilayah dengan produksi ketela yang besar, sebetulnya sangat potensial untuk produksi Mocaf. Namun, dibutuhkan upaya berbagai pihak untuk mengurai permasalahan tekhnologi, harga jual produk hingga pemasarannya.
Mbah Paimin, warga Padukuhan Monggol, Kalurahan Monggol, Kapanewon Saptosari mengeluhkan bahwa singkong yang ia jemur agar menjadi gaplek, beberapa waktu lalu sempat terkena hujan. ‘Rendheng Gandhok‘ atau kemarau basah yang terjadi saat ini memang sempat menyebabkan turunnya hujan di musim kemarau, dengan intensitas sedang dan ringan di beberapa wilayah Gunungkidul. Singkong yang dijemur oleh petani, saat terkena air hujan maka akan tumbuh jamur yang membuat hasil gaplek menjadi hitam.
“Menawi sing ireng ngeten, regine namung 2.000 per kilo, nek sing radi putih nggih dugi 2.200″ (kalau yang berwarna hitam ini harganya hanya 2.000 rupiah per kilo, kalau yang agak putih mencapai 2.200 rupiah), terang Mbah Paimin.
Mantan Kepala Dukuh ini menyatakan bahwa saat ini warga desa sudah sangat jarang yang mengolah gaplek menjadi ‘thiwul‘ untuk menjadi makanan pokok. Para petani, biasanya menjual hasil panen singkongnya dalam wujud gaplek.
“Pun mboten kados riyin, sakniki nedhi thiwul namung nak kepingin mawon. Sakmenika sampun jaman makmur, beras pun kathah. Benten jaman cilikan kula riyin, nak nedi nggih thiwul”
(sudah tidak seperti dulu, sekarang makan thiwul hanya kalau kangen atau kepingin saja. Sekarang zamannya sudah makmur, banyak beras. Beda ketika zaman saya kecil, thiwul adalah makanan pokok sehari-hari),
imbuh Mbah Paimin.
Hal senada disampaikan oleh Pardiyo, seorang petani warga Padukuhan Tanjung, Kalurahan Bleberan, Kapanewon Playen. Ia menyatakan, bahwa hasil panen ketela miliknya tidak pernah ia jual. Ia mengaku gaplek yang telah kering ia simpan untuk dijadikan campuran ‘komboran‘ (minum) atau makanan ternak-ternaknya.
“Saya tidak pernah menjual gaplek, ini saya jadikan campuran konsentrat untuk ‘ngombor’. Lumayan, bisa lebih ngirit, harga konsentrat juga mahal,” terangnya.
Kemajuan zaman memang telah membuat peran gaplek dan thiwul bagi masyarakat Gunungkidul menjadi berbeda. Jikalau dulu, thiwul adalah makanan pokok, saat ini hanya sekedar menjadi ‘tamba kangen‘, atau makanan nostalgia. Benar kata Mbah Paimin, zaman sekarang memang sudah makmur. Beras atau nasi sudah menggantikan peran thiwul sebagai makanan pokok sehari-hari.
Saat melihat singkong yang dijemur Tiba-tiba saya jadi teringat masa-masa kecil sekitar tahun 80-an. ‘Usum Nggaplek‘ seperti sekarang ini, biasanya pasti berbareng dengan ‘usum bediding ketiga dawa‘ (hawa dingin di malam musim kemarau). Saat seperti ini adalah suatu musim yang menggembirakan bagi anak-anak. Bapak dan Simbok membuat ‘tratak‘ atau semacam panggung darurat untuk menjemur gaplek di ‘kebonan‘ depan rumah (dulu halaman rumah pasti luas). Saat bulan bersinar terang, maka saya dan teman-teman akan menutup bagian bawah ‘tratak‘ dengan sarung-sarung. Kami membayangkan sedang membuat rumah persembunyian atau sedang berkemah. Saat sudah bosan bermain rumah-rumahan, maka dibawah sinar bulan kami kemudian bermain ‘gobak sodhor‘, ‘luru-luru mundhu’ atau ‘jethungan‘.