Kuliner(rebowagen.com)–Makan dari kebun sebetulnya adalah konsep kuno, bahkan sedari awal manusia memang hidup dan mengkonsumsi apa yang ada di sekitarnya. Namun karena perkembangan zaman modern, terbentuklah ruang-ruang bernama desa dan kota. Di mana kota adalah ruang padat penduduk yang menyebabkan minimnya lahan-lahan pangan dan memang masyarakat perkotaan didesain sebagai masyarakat yang konsumtif. Sedangan desa menjadi ruang yang lebih sedikit penduduknya sehingga masih banyak dijumpai lahan pangan. Baik sawah, ladang, hutan, maupun pekarangan.
Di Gunungkidul, ‘farm-to-table’ adalah hal yang sangat lumrah, makan dari kebun bukan menjadi hal yang istimewa, karena hal ini sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. ‘Ngramban’ menjadi satu istilah yang sering digunakan warga Gunungkidul untuk menunjukkan aktivitas mengambil bahan-bahan makanan dari sekitar yang berupa dedaunan.
Salah satu tanaman yang seringkali menjadi target ramban di pekarangan adalah daun ‘peli kancu‘ atau ‘tayuman‘ atau ‘gedaglek‘ atau daun ‘kupu-kupu’. Saya mengamati, kancu selalu tumbuh hampir di setiap pekarangan rumah orang Gunungkidul. Kancu biasanya ditanam berjejer mengelilingi rumah hingga menjadi pagar hidup bagi pekarangan.
Mulanya saya acuh dengan tanaman ini, bahkan kepikiran untuk memikirkannya saja tidak. Namun, karena mencicipi gudangan kancu, yang ternyata sangat nikmat, saya jadi mendadak putar balik untuk berkenalan dengan tanaman yang banyak tumbuh di pekarangan dan sering untuk makanan kambing ini.
Kancu memiliki nama latin ‘Bauhinia purpurea L.’ Konon menurut penelitian Dyah Aryantini dari Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri, tanaman kancu berasal dari daratan Asia yang masuk dalam suku polong-polongan. Tanaman kancu memiliki daun serupa kupu-kupu yang sedang membentangkan sayapnya, dan memiliki bunga berwarna merah muda yang menyerupai anggrek, batangnya berwarna coklat muda keabu-abuan.
“Sik nandur kancu iki ora ngerti sapa, ngerti-ngerti wis ana ket mbiyen. lha iki tandurane wis ana sak mengetan, sak mengulon kana
(Yang menanam tayuman ini tidak tau siapa, tahu tahu sudah ada dari dulu. Tanamannya sudah ada dari timur sampai ke barat)”
Ujar Pak Man, seorang lelaki paruh baya yang tinggal di Dusun Sokoliman, Kalurahan Bejiharjo, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul.
Belum diketahui secara pasti kapan persisnya tanaman kancu masuk ke daerah Gunungkidul. Literatur yang membahas tentang kancu minim sekali. Namun jika dilihat secara selayang pandang, kancu lebih banyak tumbuh di Gunungkidul dibandingkan dengan kabupaten lain di Yogyakarta.
“Kancu kui nek pas okeh tak nggo makani wedhus, nek ora ya diramban dinggo nggawe kulupan apa digudang gek nganggo sambel bawang, biyuhhh wis enak tenan (tayuman itu kalau lagi banyak saya gunakan untuk pakan kambing, kalau tidak ya dipetik untuk membuat kulupan atau digudang/urap dicampur dengan sambel bawang, enak sekali)” Ujar Pak Man sambil bersemangat.
Ternak atau ‘raja kaya’ menjadi salah satu tabungan hidup bagi masyarakat Gunungkidul. Berbicara soal ternak memang tak bisa lepas dari ketersediaan pakan. Masih lestarinya tanaman kancu di Gunungkidul karena memang masih dibutuhkan oleh warga setempat, selain sebagai cadangan pangan hewan, kancu juga dijadikan bahan pangan paling terjangkau dan mudah didapat oleh masyarakat desa di Gunungkidul.
Cara konsumsi tanaman kancu juga sangat mudah, cukup petik daun-daun yang masih muda, cuci bersih, lalu rebus sebentar sudah bisa langsung dikonsumsi untuk kulupan. Atau bisa juga dalam bentuk urap, dengan dibumbui parutan kelapa. Sebuah praktik ‘farm-to-table’ yang sangat sederhana dan telah dilakukan sejak dahulu kala oleh warga desa.
“Arak’a urip neng ndesa kae, alhamdulillah tetep cukup, isa mangan. Pokoke sik penting ya pekarangane isa ditanduri, raketang kancu karo telo kae sik penting ya ditanduri. (Walaupun hidup di desa, alhamdulillah tetap cukup, bisa makan. Yang penting pekarangan bisa ditanami, walaupun hanya kancu dan singkong yang penting bisa ditanami)”
Ujar Pak Man sambil menikmati ‘gembili’ rebus hasil dari pekarangannya.
Di beberapa penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prodi Kimia, tanaman tayuman ternyata juga memiliki manfaat bagi kesehatan. Salah satunya yaitu bisa dijadikan sebagai obat penurun panas (demam). Karena diketahui bahwa daun tayuman mengandung zat flavanoif, tanin, saponin, terpenoid, alkanoid, dan polifenol yang terbukti dapat menurunkan demam.
Ibarat kata, orang Gunungkidul tidak akan mati kelaparan selama masih ada tanaman di pekarangan adalah hal yang nyata. Orang Gunungkidul punya daya hidup serta taktik ‘survive’ yang tidak sepele. Terbukti di beberapa kali ‘mangsa pageblug’, baik zaman gaber atau pandemi covid, orang Gunungkidul mampu melaluinya dengan berbagai siasat, yang semuanya berpijak pada alam sekitar.