Mitos(rebowagen.com) — Kisah atau cerita tentang hantu memang sangat menarik minat banyak orang. Bahkan di era modern dan serba digital saat ini. Zaman di mana logika menjadi kiblat berpikir realistis. Unggahan sosial media yang bernuansa mistis akan gampang sekali trending dan menarik minat banyak kalangan.
Belum lama ini, publik sempat dihebohkan dengan sebuah film berjudul ‘KKN di Desa Penari‘. Dalam film bergenre horor ini, sebagian besar adegan diambil di salah satu rumah warga di Kapanewon Playen, Gunungkidul. Film ini konon diangkat dari kisah nyata. Berawal dari sebuah tulisan di akun Twitter Simple Man di tahun 2019 yang trending. Film produksi MD Picture yang ‘berjualan’ dunia ‘perhantuan’ ini menjadi film box office. Pada tayangan perdana mampu menyedot animo jutaan penonton.
Menu horor memang terus laris manis sepanjang zaman. Melansir dari detikjateng.com yang mengutip pernyataan dari Dosen Sastra Jawa UGM Rudy Wiratama. Ada dua pendekatan yang bisa menjelaskan soal kepercayaan masyarakat terhadap makhluk halus ini.
Pertama dari ilmu ‘neurosains‘, atau ilmu tentang syaraf yang dianggap bagian dari sebuah fenomena biasa. Yang di maksud di sini adalah fenomena ketika manusia mengalami gelombang elektromagnetik otak yang tidak stabil. Lonjakan gelombang ini ditangkap oleh otak manusia yang ditransmisikan dalam bentuk halusinasi. Pengalaman masing-masing personal kadang berbeda dalam kasus ‘neurosains‘ ini. Namun rata-rata mereka mengaku melihat penampakan ‘sak klebatan‘ (sekilas) bentuk atau rupa yang diyakini sebagai hantu.
Faktor kedua yakni terkait kebudayaan. Dalam artian, manusia sebagai makhluk beradab dan bagian dari peradaban, pasti menangkap, merekam dan menyerap fenomena-fenomena yang ada disekitarnya. Artinya, kata Rudy, manusia yang berbudaya dan beragama pasti memiliki kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat ghaib. Kepercayaan ini, kemudian diterjemahkan dengan konteks kebudayaan dan kepercayaan masing-masing.
Rupa, bentuk dan nama hantu di setiap daerah memang berbeda-beda, meski kadang yang dimaksud adalah sama. Konteks kebudayaan dan geografis masing-masing akan sangat menentukan hal ini. Di China kita memang tidak akan menemui hantu ‘pocong‘. Namun hantunya berwujud ‘vampire‘ sesuai pakaian adat mereka. Hantu di daerah pedalaman, pegunungan, pesisir atau rawa-rawa akan berbeda nama dan bentuknya.
Di kota-kota juga banyak cerita hantu ‘urban legend‘. Jenis hantu ini dipercaya berasal dari roh orang mati yang bergentayangan. Sebut saja ‘Si Manis Jembatan Ancol’, ‘Hantu Jeruk Purut’, ‘Kolor Ijo’, ‘Suster Ngesot’ dan banyak lagi yang lainnya. Hantu ‘urban legend‘ ini juga menggoda banyak produser film untuk mengangkatnya ke layar lebar. Dan nyatanya, animo masyarakat selalu tinggi dengan genre film seperti ini.
Hantu ‘Legend‘ dari Gunungkidul
Wilayah Gunungkidul yang luas dan terdiri dari berbagai landscape geografis memunculkan banyak ‘spesies‘ hantu yang bervariatif. Di Gunungkidul hantu disebut sebagai ‘memedi‘. Generasi seperti saya yang lahir pada tahun 80an, sangat akrab dengan cerita ‘memedi‘. Apalagi saya lahir dan dibesarkan di desa.
Di kurun tahun itu, listrik belum ada, sehingga ketika malam menjelang, kegelapan mulai menguasai. Sumber cahaya hanya dari lampu minyak ‘senthir‘, ‘teplok‘, ‘obor‘ atau lampu ‘pethromak‘. Untuk jenis lampu terakhir ini dinyalakan hanya saat ada keperluan besar. Orang hajatan atau pertemuan warga. Kegiatan atau aktivitas orang di waktu malam juga sangat terbatas. Hiburan pesawat televisi hanya beberapa rumah yang mempunyai, itupun sumber energinya dari ‘accumulator‘ (aki). Sehingga hanya pas acara tertentu televisi dinyalakan, contohnya acara ‘kethoprak‘, atau ‘Aneka Ria Safari’.
Masa kecil hingga remaja saya dan teman seangkatan sangat akrab dengan cerita tentang ‘memedi‘. Ini adalah ‘hiburan’ tersendiri yang mempunyai sensasi ‘asyik-asyik takut’. Kami banyak mendengar itu dari obrolan orang-orang dewasa. Terkadang teman sebaya juga ada yang punya cerita bertemu ‘memedi‘ (entah benar atau hanya sok pemberani).
Tempat-tempat yang diyakini ditunggu oleh jenis ‘memedi‘ tertentu juga sudah sangat dihafal. Hal ini karena ada beberapa orang yang punya cerita pernah ‘diwedheni‘ (melihat penampakan) di tempat tersebut. Cerita ini diulang-ulang pada setiap kesempatan, dan menjadi cerita dari mulut ke mulut yang tentunya akan semakin bertambah ‘bumbu’ sehingga semakin ‘sedap’. Jika bukan karena pemberani atau kepepet, orang akan berpikir dua kali untuk lewat di tempat itu, apalagi pada malam hari. Beberapa tempat ‘favorit’ penampakan ‘memedi‘ ini antara lain, sumur tua, rumah kosong, rumpun bambu, ‘buk‘ (box/jembatan untuk jalur irigasi pertanian kecil), pohon besar, sungai, makam atau pohon-pohon tertentu.
Nah, karena saat ini bertepatan dengan bulan Suro/Sura (bulan keramat/mistis bagi masyarakat Jawa), berikut saya sampaikan sesuai ingatan saya, tentang jenis ‘memedi‘ Gunungkidul yang pernah ‘jaya’ pada masanya.
1 Wewe Gombel
‘Memedi‘ ini digambarkan berwujud sosok seorang wanita tinggi besar. Rambut panjang terurai, mempunyai payudara besar dan panjang (‘ngglambreh’). Kuku-kuku tangannya menyerupai tandan pisang. Kuku tangan ini yang ia gunakan untuk ‘menipu’ anak-anak.
‘Wewe‘ memang mempunyai hobi menculik bocah yang ketika pulang bermain sampai menjelang ‘surup‘ (Maghrib). Kalimat yang sering dia ucapkan adalah “Nyo le/nok, tak nei gedang” (mari nak, ini tak kasih pisang). Sambil berkata begitu, sang ‘Wewe’ akan mengulurkan tangannya. Ketika si anak tergoda, maka kuku tangan yang mirip tandan pisang akan meraih dan menangkapnya.

Yang terjadi kemudian, keluarga si anak akan geger. Warga akan heboh karena ada anak yang hilang ‘digondhol‘ (diculik) ‘Wewe‘. Mereka kemudian mencarinya dengan membunyikan ‘Bleg Bleg Thing‘. Alat bunyi ini menggunakan ‘tampah‘ (nampan dari bambu) yang ketika dipukul bersuara ‘bleg’ dan alat besi seperti cangkul, linggis, ‘gathul‘ yang ketika dipukul akan berbunyi ‘thing’.
Beberapa orang kemudian berkeliling sambil membunyikan ‘bleg bleg thing‘ dan memanggil-manggil nama si anak. Biasanya anak akan segera ditemukan, namun dalam keadaan bingung atau linglung. Cerita tentang anak yang pernah ‘digondhol‘ Wewe ini banyak terjadi di desa-desa Gunungkidul.
Ada yang bilang bahwa ‘Wewe Gombel’ adalah istri dari ‘Genderuwo‘. Salah satu reputasi kesaktian dari ‘Wewe Gombel‘ ini adalah tentang ‘Popok Wewe‘ atau ‘Gombal Wewe‘. Banyak yang percaya, saat ada manusia yang mempunyai ‘jimat‘ berupa ‘gombal‘ atau ‘popok‘ bekas pakaian dari sang ‘Wewe‘ maka ia bisa menghilang, tidak bisa dilihat orang lain.
2 Genderuwo
‘Memedi‘ ini digambarkan sebagai sosok seorang laki-laki tinggi besar. Berkulit hitam, dengan rambut terurai. Dalam dunia pewayangan, mungkin mengacu pada sosok ‘buto‘ atau raksasa. Kegemaran dari sang ‘Genderuwo‘ adalah ‘ongkang-ongkang‘ (duduk dengan menggantungkan kaki) pada dahan pohon besar. Konon pohon yang paling disukai adalah jenis trembesi atau munggur yang menjulur di pinggir sungai.
‘Genderuwo‘ juga mempunyai reputasi bisa ‘memba-memba‘ atau berganti rupa menjadi manusia. Cerita yang paling ngeri adalah saat sang ‘Genderuwo‘ berganti rupa menjadi suami dari salah seorang perempuan. Ia akan menggauli perempuan yang dia sukai, dan jika sampai mengandung dan melahirkan, maka anak hasil ‘hubungan gelap’ ini akan lahir tidak normal.
Menurut cerita, kehadiran ‘Genderuwo’ ini biasanya ditandai bau ketela bakar yang gosong dan beraroma menyengat.
3 Glundhung Pringis
Sosok ‘memedi‘ ini digambarkan sebagai perwujudan sebuah kepala manusia yang menggelinding sambil meringis (glundhung pringis). Diceritakan bahwa ‘memedi‘ ini bisa tiba-tiba jatuh entah dari mana di hadapan orang yang sedang berjalan. Suara jatuhnya seperti buah ‘kambil‘ (kelapa). Dan saat orang yang ‘diwedheni‘ melihat atau menengoknya, perwujudan kepala ini akan menggelinding sambil meringis, memperlihatkan gigi-gigi dan taringnya.
Cerita lain menyebut, sang ‘Glundhung Pringis‘ akan ‘memba-memba‘ atau berganti rupa sebagai ‘babon sak arakan‘ (induk ayam dengan anak-anaknya). ‘Memedi‘ ini akan menggoda seseorang yang sedang berjalan di malam hari. Ketika ayam dan anak-anaknya dibawa pulang, maka saat sampai rumah, waktu dibuka dari wadahnya, induk ayam itu akan berubah menjadi kepala manusia yang menggelinding keluar sambil meringis.
4 Peri
Sosok ‘memedi‘ satu ini digambarkan merupakan perwujudan dari wanita cantik yang berbau sangat harum. Ia sering tertawa cekikikan dan terbang dari pohon ke pohon. Pada beberapa daerah, Peri identik dengan ‘Sundel Bolong‘ atau ‘Kuntilanak‘. Dimana rambut panjang yang terurai sampai ke pinggul, dipercaya untuk menutupi punggungnya yang berlubang (growong).
5 Memedi Krutuk
Definisi dari ‘memedi‘ ini tidak digambarkan sebagai sosok tertentu. Namun ia sering usil menggoda orang yang lewat. Ia sering ‘ngrutuki‘ (melempar) batu-batu atau kerikil kecil-kecil berjumlah ratusan. Suara dari ‘krutukan‘ ini seperti suara hujan. Anehnya, saat dicari tempat lemparan batu jatuh, sama sekali tidak ditemukan kerikil yang berjumlah ratusan tadi. Biasanya, ‘Memedi Krutuk’ ini menunggui rumpun bambu.
6 Thethekan/Kothekan
Untuk jenis ‘memedi‘ satu ini, saya pribadi waktu kecil masih sangat ingat. Ia muncul dalam bentuk suara seperti orang menabuh ‘lesung‘ (alat tumbuk padi dari kayu). Atau bisa seperti rombongan ronda yang sedang ‘toklik‘ atau menabuh ‘kentongan‘ yang berirama. Bisa juga hantu suara ini terdengar seperti suara gamelan yang mengiri pertunjukan wayang. Sumber suara tidak jelas dimana. Kadang terdengar agak keras, kadang lamat-lamat.
Banyak cerita orang yang tertipu untuk melacak sumber suara karena dikira ada yang sedang mementaskan pertunjukan wayang. Mitosnya dulu, ketika mendengar ‘Memedi Kothekan‘, saat kita mengucapkan kata ‘kothekan‘ dengan agak keras, maka suara itu akan berhenti. ‘Memedi‘ ini biasanya muncul saat ‘padhang bulan‘ (bulan bersinar terang/bulan purnama), pada waktu ‘lingsir wengi‘ (lepas tengah malam).
Konon cerita, jika suara yang terdengar ‘lamat-lamat‘ (jauh) maka sebetulnya sumber suara itu dekat. Berbanding terbalik, jika suara itu terdengar keras, maka sumbernya jauh.
7 Wedhon
Wujud dari ‘memedi‘ ini berupa asap putih. Konon cerita, saat ‘Wedhon‘ menampakkan diri, awalnya hanya berupa titik/noktah berwarna putih. Kemudian ia akan semakin membesar dan berwujud suatu gulungan asap putih. Penampakan ‘Wedhon‘ biasanya di area makam atau ‘alas‘ (hutan).
Saya ingat cerita seorang teman, bahwa ‘Wedhon’ adalah perwujudan uap atau gas dari jenazah seseorang. Dikatakan bahwa, seminggu setelah dimakamkan, jenazah seseorang akan mengembung dan meletus. Uap atau gas dari letusan inilah yang keluar dari tanah dan menjelma menjadi ‘Wedhon‘. Masih kata teman saya, jika seseorang berani menubruk dan menghirup sang ‘Wedhon‘ maka ia akan kebal terhadap segala bisa dan racun. Meski pasca menghirup ia akan menderita gatal-gatal dan demam dulu dalam beberapa hari.
8 Banaspati
Sosok ‘memedi‘ ini mempunyai reputasi yang mengerikan. Ia diwujudkan dalam bentuk kepala raksasa yang bertaring tajam. Ada juga yang menggambarkan ‘Banaspati‘ adalah kepala terbang berwujud bola api. Kemunculannya ditandai dengan angin ‘lesus‘ yang berputar-putar.
‘Banaspati‘ sangat ditakuti, karena konon katanya, ia bisa menghisap darah dari ubun-ubun seseorang hingga mati. Tak seperti ‘memedi‘ lainnya, biasanya Banaspati akan muncul pada waktu ‘bedhuk‘ (tengah hari).
Almarhum bapak pernah bercerita, ‘pengapesan‘ (kelemahan) Banaspati adalah dengan ‘dom‘ (jarum). Jika kita pas bertemu dengannya, maka jarum ini segera ditancapkan di tanah. Selain jarum, seumpama kita pas membawa pisau, sabit atau benda tajam lainnya, maka segera bacok-bacokkan di tanah. Dengan ini, ‘Banaspati‘ akan takut dan segera pergi.
9 Pocongan
Jenis ‘memedi‘ ini juga punya reputasi yang menakutkan. Berwujud jenazah manusia lengkap dengan kain kafan dan ‘kucirnya‘. Kalau dulu, teror ‘Memedi Pocong’ ini akan hadir saat ada orang yang meninggal secara tidak wajar.
Ceritanya, kemunculan Hantu Pocong ditandai dengan suara burung yang berbunyi “culi…culi..culi” di malam hari. Katanya, kemunculan hantu pocong ini bisa terjadi pada saat pemakaman seseorang, tali dari kain kafan yang membungkus jenazah tidak ‘diuculi‘ (dilepas) ikatannya.
10 Memedi Dhian/Kemamang
Jenis ‘memedi‘ ini digambarkan berwujud nyala api seperti lentera atau ‘dian‘ dalam bahasa Jawa. Banyak orang menyebut jenis ‘memedi‘ ini sebagai ‘kemamang‘.
Kemunculannya berupa nyala api kecil yang terus bergerak seakan terbang seperti kunang-kunang (namun lebih terang). ‘Kemamang‘ sering muncul tidak hanya satu, tapi berombongan. Waktu kemunculannya selepas Maghrib sampai Isya’. Biasanya ia muncul di daerah sungai, terbang dari satu pucuk pohon ke pucuk yang lain.
11 Lampor
‘Memedi‘ satu ini dipercaya berwujud ‘terbela‘ (keranda) terbang. Konon katanya, keranda (tempat mengusung jenazah) ini diarak oleh makhluk halus, sehingga kelihatan terbang. Sering juga diceritakan bahwa arak-arakan ‘Lampor‘ sering diikuti oleh suara-suara yang keras.
12 Thong-Thong Sot
‘Memedi Thong Thong Sot‘ biasanya diwujudkan dalam bentuk sebuah makhluk yang sangat berwibawa atau menakutkan. Jenis ini identik sebagai penunggu suatu tempat keramat.
Di Gunungkidul, ‘Thong Thong Sot’ banyak diceritakan menampakkan diri dalam bentuk hewan-hewan. Macan putih, naga atau ular besar, ikan besar, kuda terbang, gajah, atau perwujudan hewan berkepala manusia.
13 Mobil Duyung/Penculik
Cerita tentang ‘memedi‘ jenis ini mungkin agak modern. Saya masih ingat betapa dulu Almarhum Simbok mewanti-wanti agar saya harus hati-hati dengan orang yang tak dikenal dan mencurigakan. Dalam cerita itu, digambarkan ada seorang asing mengendarai mobil berwarna putih. Di body mobil itu ada gambar gunting dan pisau dalam satu lingkaran. Kata Simbok, itu adalah mobil penculik. Mereka berkeliaran untuk menculik anak-anak yang bermain jauh dari rumah dan sering lupa untuk pulang.
Narasi yang diceritakan sungguh sangat mengerikan. Bagaimana anak yang diculik akan dibunuh, dijadikan tumbal pesugihan. Bola matanya akan dicukil untuk dijadikan ‘cendhol‘. Hampir terkencing di celana dulu saat saya mendengar peringatan itu.
‘Mobil Duyung‘ adalah suatu hal yang horor dan sangat menakutkan. (nb: pada masa itu, di desa kami jarang ada mobil yang melintas. Jalan juga masih berbatu belum diaspal. Ketika ada mobil lewat, maka anak-anak akan sangat tertarik. Kami kemudian mengejar mobil itu untuk sekedar bisa ‘nggandhul‘ atau menumpang di belakang walau hanya sebentar).
14 Pulung Gantung
Jenis ‘memedi‘ ini sangat popular di Gunungkidul. Ia menjadi ‘tersangka’ terkait tingginya angka kasus bunuh diri dengan cara gantung diri yang terjadi di Gunungkidul. Banyak masyarakat yang masih percaya bahwa ‘Pulung Gantung‘ adalah penyebab bunuh diri seseorang.
Stigma ‘Pulung Gantung‘ sebagai sebuah takdir yang tak bisa dihindari, akhirnya membuat upaya mengurai persoalan gantung diri di Gunungkidul terkendala. Dalam upaya menekan tingginya angka bunuh diri ini, para ahli dari berbagai disiplin ilmu berusaha keras merubah paradigma masyarakat terhadap ‘Pulung Gantung‘. Bahwa bunuh diri bukan melulu soal ‘takdir’ atau ‘mistis’, tapi sebuah persoalan sosial dan kemanusiaan yang bisa ditekan dengan kepedulian bersama.
Demikian tulisan nostalgia singkat tentang ‘era eksistensi ‘memedi’ yang masih membekas di sudut ruangan pikiran masa kecil dan remaja saya. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan jenis ‘memedi‘ yang lain di Gunungkidul. Setiap desa atau daerah akan berbeda penyebutannya. Ketika sudah dewasa, saya bisa merasakan hikmah dari segala cerita tentang ‘memedi‘.
Terlepas dari hal mistis, narasi tentang ‘memedi‘ sebetulnya banyak menyimpan pembelajaran bagi anak-anak. Salah satunya adalah untuk disiplin waktu. Anak harus sudah kembali ke rumah sebelum ‘surup‘ (Maghrib) atau pas waktu ‘bedhuk‘ (tengah hari). Anak harus sudah berada di rumah dan istirahat jika malam sudah larut (tidak kelayapan).
Ada pembelajaran untuk berhati-hati terhadap orang tak dikenal yang mungkin bisa berniat jahat. Juga banyak tersirat nilai-nilai pembelajaran untuk menghormati atau menjaga alam (suatu tempat yang dianggap keramat).
Cerita ‘memedi‘ juga memberi pesan moral, bahwa kita sebagai manusia buka satu-satunya makhluk yang diciptakan olehNya. Namun banyak makhluk lain yang juga memiliki hak berbagi ruang hidup, dan berdampingan bersama secara damai. Sederhananya, jika kita bisa menghargai yang tak kasat mata, tentu hubungan dengan alam yang tampak dan sesama manusia juga akan harmonis.