Seni(rebowagen.com)– Siang menjelang sore, agak tergesa saya memacu sepeda motor ke pusat kota Wonosari. Hari itu, saya diberi undangan dan kesempatan oleh seorang teman, untuk ikut mengapresiasi agenda ‘Solo Exhibition Women Disability Artist Gunungkidul‘. Sebuah event pameran tunggal seni rupa dari seorang perupa perempuan asli Gunungkidul bernama Rofitasari Rahayu. Akhirnya saya datang sudah telat, pembukaan pameran sudah selesai sekitar satu jam yang lalu. Suasana sudah tampak sepi, namun sisa kemeriahan ‘opening‘ masih sedikit terlihat. Beberapa petugas berseragam coklat sedang memberesi kursi-kursi yang digunakan para undangan di upacara pembukaan.
Tempat pameran yang dipilih memang tidak biasa. Sebuah gedung institusi penegak hukum milik negara. Ruang depan Polres Gunungkidul yang biasanya digunakan untuk acara resmi Kepolisian, disulap untuk memajang sekitar 26 karya lukisan dari Rofitasari Rahayu. Terkait tempat pameran, Kuswandi, Babinkamtibmas Kalurahan Bejiharjo tempat Ayu tinggal, berperan aktif dalam fasilitasi tempat menggelar pameran tunggal ini.
Dari katalog yang saya dapat, pameran akan digelar selama tiga hari, dari tanggal 24-25 Agustus 2022, dengan tema ‘Merdeka Berkarya‘. Tema yang diusung terasa sangat pas dengan nuansa bulan Agustus, sebagai bulan Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Rofitasari Rahayu adalah perupa perempuan kelahiran 2 Januari 1997. Saat ini tinggal di Padukuhan Grogol V, Kalurahan Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Gunungkidul. Secara otodidak, ia mulai mengenal dunia seni sejak sekitar tahun 2014. Dengan media berkarya seadanya, perupa difabel yang akrab dipanggil Ayu ini mulai menunjukkan minat dan bakatnya pada bidang seni berawal dari mengenal bentuk anatomi wayang.
“Ayu mengalami disabilitas tuna rungu dan wicara sejak dari kecil, akibat mengalami sebuah kecelakaan sepeda,” kata Eri Setiawan. Eri adalah pendamping sekaligus penerjemah dari Ayu. Ia juga seorang seniman rupa Gunungkidul yang kebetulan rumahnya masih satu desa dengan Ayu. Selama ini, Eri dan beberapa seniman lain mempunyai peran yang sangat besar dalam membantu menyiapkan proses berkarya dari Ayu. Lewat obrolan dengan Eri, saya sedikit bisa mendapatkan gambaran tentang bagaimana perjuangan pelukis difabel ini dalam berkarya, dengan segala keterbatasan fisik yang ia miliki.
Eri bercerita, bahwa dirinya mulai aktif mendampingi Ayu sejak tahun 2018 akhir. Sebelum itu, dengan segala keterbatasannya, Ayu jarang keluar rumah atau berkomunikasi dengan orang lain. Sehingga Eri mengaku, meski satu desa, sebelumnya ia hanya sebatas tahu, tapi belum mengenal keseharian dan bakat dari Ayu. Awalnya, bakat seni Ayu juga ditemukan secara tidak sengaja oleh Marsono, seorang pengrajin ‘Wayang Sada‘.
“Awalnya Ayu dilatih Pak Marsono membuat ‘Wayang Sada’ di yayasan El Yakin. Pas diantar pulang, Pak Marsono melihat karya karya lukisan ayu dari kertas dan kardus bekas mie instant. Saat ditanya, Ayu menunjukkan sebuah buku, rupanya ia meniru gambar gambar itu dari buku,” cerita Eri.
Melihat karya gambar itu, Pak Marsono menyadari bakat luar biasa yang ada pada diri muridnya ini. Ia kemudian berusaha mencarikan guru melukis. Salah satu perupa Gunungkidul yang ia kenal adalah Sumarno Keling, asal Kapanewon Semin. Keling inilah yang pertama dia hubungi untuk membantu mengajari Ayu melukis.
“Oleh Pak Keling, akhirnya Ayu dikenalkan dengan saya dan pak Bernard. Waktu itu kami memang sedang menggarap progres sanggar di Bejiharjo. Mulai saat itu, kami intens untuk mendampingi Ayu, juga mengenalkan teknik dan material melukis dengan cat di atas kanvas,” lanjut Eri.
Ayu adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ia pernah belajar formal di Sekolah Luar Biasa (SLB) di kawasan Bintaran, Yogyakarta. Waktu itu orang tuanya berdagang mie ayam di Yogya sehingga Ayu menempuh pendidikan formal di sana. Saat terjadi gempa 2006, tempat usaha orang tua Ayu ambruk, sehingga mereka memutuskan untuk pulang ke Gunungkidul. Mulai saat itu, karena tidak punya biaya, Ayu terpaksa berhenti sekolah.
Beranjak waktu, dalam sepi dan keheningan dunianya, Ayu mulai belajar dan mengamati apa yang ada di dekatnya. Mulai dari buku, televisi, hingga ponsel. Keterbatasannya dalam membaca huruf, tak menyurutkan niatnya untuk belajar melalui bentuk gambar. Visual yang dapat ia rekam kemudian berusaha ia pindahkan dengan alat dan media seadanya berwujud sketch atau lukisan. Kertas bekas, kardus sampai dinding rumah ia jadikan media untuk ‘berbicara’. Ayu mencoba mengatakan tentang apa yang ia rasakan dan ingin ia ungkapkan.
Lewat karya-karya yang terpajang, dengan segala keterbatasan kemampuan ‘rasa’ yang saya miliki, saya berusaha masuk dalam ruang sepi dan keheningan Ayu. Karya-karya Ayu didominasi oleh gaya dekoratif sesuai dengan kegemarannya terhadap ‘Wayang Sada‘. Dalam memilih warna karyanya, tampak beberapa sangat kontras. Ada beberapa karya yang cenderung ‘muram’ dengan pemilihan warna ‘monochrome‘, tapi di beberapa karya, sangat jelas warna-warna terang dan meriah yang Ayu pilih. Pewarnaan ini mungkin sangat tergantung dengan tema yang ia angkat, yang tentunya sangat berpengaruh pada perasaan sang perupa saat proses berkarya. Meski Ayu hidup dalam keheningan, namun saya bisa merasakan gejolak rasa dalam ruang pemikirannya sangat dinamis dan berenergi.
Pada sepenggal prolog tulisan diatas, saya berusaha membaca sebuah karya Ayu berjudul ‘Harapan Dalam Sunyi‘. Energi keinginan yang begitu kuat memancar dalam karya ini. Simbol-simbol dari tangan yang saling mendekap, mata terpejam, bibir tertutup rapat namun dengan gestur figur seakan ingin menggelorakan dan meneriakkan hasrat dan semangat yang menggebu. Mahkota bulu serta sayap yang bersiap untuk merentang adalah terjemahan dari tekad Ayu untuk bisa terbang sebebas burung. Ia ingin mengembara dalam semesta luas. Dalam heningnya, Ayu seakan bisa merasakan setiap bunyi, nada dan harmoni alam dan ruang hidupnya. Perasaan ini ia ‘suarakan’ dalam lukisan ‘Burung Cinta‘, ‘Saat Menebar‘, ‘Nglanggeran‘, ‘Rama Sinta‘, ‘Keseimbangan Ekosistem‘ atau ‘Brajoet‘. Sementara optimisme dan semangat yang menggelora dalam dirinya, ia tuangkan dalam sebuah karya yang sangat ‘manis’ berjudul ‘Sada Ayu‘ .
Intuisi Ayu dalam membaca keadaan zaman yang sedang terjadi juga sangat peka. Ia merekamnya dalam beberapa karya kontekstual yang memiliki ‘taste‘ kental dan menggigit. Lukisan berjudul ‘Kabar Duka‘ adalah salah satunya. Dalam lukisan hampir ‘monochrome‘ berukuran 80×120 cm itu, Ayu merekam situasi Pandemi Covid-19 yang beberapa waktu lalu sempat memporak-porandakan tatanan kehidupan masyarakat secara luas. Ketidak pastian keadaan, ketakutan, kesedihan, perasaan lelah seakan akan menyerah, direkam dengan sangat dramatis oleh Ayu.
Keadaan ini digambarkan oleh Ayu dengan figur wajah dua orang tua yang tampak sedih dan letih. Kabar duka kematian ia simbolkan dengan tangan renta yang memegang bendera putih. Sementara satu tangan yang lain berusaha menutup mata. Menarik saat diperhatikan bahwa salah satu masker yang dipakai, digambarkan oleh Ayu berbahan koran bekas. Saya kok menafsirkan, bahwa Ayu ingin berkata bahwa situasi Pandemi yang begitu mencekam sangat dipengaruhi oleh maraknya pemberitaan negatif yang ‘bombastis‘ bahkan ‘hoax‘. Baik oleh media masa ataupun media sosial, tanpa sering diimbangi dengan pemberian informasi yang positif. Dalam karya ‘Kabar Kemarin’, Ayu seakan semakin menegaskan pendapatnya bahwa Pandemi bisa dihadapi dengan semangat positif yang akan menjadi kekuatan bersama seluruh bangsa. Tampak seorang bocah memakai rok masih dari koran bekas bergambar peta Indonesia membuang masker dengan wajah yang ceria dan bersemangat. Gelora kesatuan tekad ini semakin terasa dengan latar belakang Bendera Merah Putih dan Lambang Burung Garuda yang mengepakkan kedua sayapnya dengan perkasa.
Tema pameran ‘Merdeka Berkarya‘ yang diusung pada pameran tunggal ini terasa sangat pas dengan momen bulan kemerdekaan. Lukisan 7 tokoh nasional yang pernah memimpin Indonesia ditampilkan oleh Ayu dengan apik dengan ciri khasnya masing-masing. Nano Warsono, pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) yang menjadi kurator pameran menulis kalimat ‘Rupa Wicara‘ pada judul kuratorialnya. Nano ingin mengatakan bahwa dengan kekurangannya, Ayu ingin mengatakan dalam bahasa visual tentang proses kontemplasi rasa yang menggerakkan hatinya sehingga lahir sebuah karya. Sang kurator mencontohkan tentang karya panel lukisan 7 tokoh nasional yang pernah memimpin Indonesia. Pada karya ini Ayu sangat pas menggambarkan suasana yang merefleksikan keadaan masing-masing tokoh pada masa kepemimpinannya.
Salah satu karya berjudul ‘Satriyo Piningit‘ menurut Nano menjadi semacam ‘titik puncak’ dari lukisan 7 tokoh nasional. Dalam lukisan itu digambarkan adegan pertemuan besar 7 Presiden RI dalam suasana yang hangat. Dengan pewarnaan yang minimalis, ‘simpingan Wayang Sada‘ dan Burung Garuda menjadi latar belakang lukisan ini. Menariknya, dalam lukisan ditambahkan satu sosok misterius yang wajahnya tidak digambar. Tokoh misterius ini menjentikkan jari telunjuk tangan kanannya, sedang tangan kiri menunjukkan simbol damai.
“Simbol-simbol ini menjadikan karya ini menarik. Apalagi menuju suksesi kepemimpinan nasional tahun 2024. Sang perupa seakan ingin menyampaikan pesan atau harapan bahwa persatuan dan kedamaian bangsa ini sangat penting diatas kepentingan politik sesaat saat Pilpres. Atau juga harapan, siapapun nanti yang memimpin harus tetap membawa kedamaian bersama,” tulis Nano.
Saat ini menurut Nano, Ayu sudah mulai bereksplorasi dengan teknik dan gaya lukisan yang variatif. Ia juga mulai menggarap tema-tema yang kontekstual dengan zaman. Ini menjadi cara Ayu yang efektif untuk berkomunikasi tentang kegelisahannya serta opini tentang kejadian disekitarnya.
Nano juga menyebut Pameran tunggal ini menjadi penting bagi Ayu untuk menunjukkan proses dan capaiannya dalam dunia seni rupa. Sebagai difabel yang tidak pernah mendapat pendidikan formal seni rupa, disini Ayu mampu membuktikan, bahwa semangat, kerja keras, tekad belajar pantang menyerah serta kecintaannya pada dunia seni mampu membawanya ke dunia yang lebih luas.
“Banyak hal yang ingin disampaikan Ayu lewat karya-karyanya. Dengan kepedulian dan dukungan seniman pendamping dan pihak pihak yang lain, Ayu akan terus berproses untuk mencapai kemerdekaan dalam berkarya, menemukan jati diri dalam bentuk maupun makna,”
tulis Nano Warsono.
Sayap yang digambarkan Ayu dalam karya ‘Harapan Dalam Sunyi‘ adalah semangatnya untuk terus berkembang. Iklim seni rupa Gunungkidul saat ini sudah sedemikian dinamis. Banyaknya seniman, komunitas, sanggar dan even-even pameran adalah indikasi nyata tentang kemajuan dunia seni rupa Bumi Handayani. Tahun ini, berkolaborasi dengan Jogja Difabel Arts (DJA), bersama Wiji Astuti, seniman batik yang juga difabel asal Kapanewon Ponjong, Ayu juga lolos seleksi mengikuti pameran ‘Expanding Awareness‘ ArtJog NMXXII Arts in Common. Sebuah even seni rupa internasional bergengsi yang diselenggarakan di Yogyakarta. Sebelumnya, Ayu juga banyak berpartisipasi dalam agenda eksebisi, salah satunya adalah Jogja International Difability Arts Biennale 2021 di RJ Katamsi Gallery Yogyakarta.
Selain dibimbing para pendampingnya, kemampuan seni rupa Ayu juga terasah dalam ‘Wening’, Komunitas Perupa Perempuan Gunungkidul. Dan bersama Wiji Astuti, Puji Lestari dan Alfian, Ayu juga bergabung dalam ‘Difa Kembang Selatan’, komunitas seniman khusus difabel Gunungkidul.