Seni(rebowagen.com)– Iklim seni rupa di Kabupaten Gunungkidul saat ini sudah benar-benar dinamis. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya event pameran maupun kegiatan berkesenian oleh para perupa asli Gunungkidul. Komunitas berlatarbelakang seni rupa juga marak bermunculan. Bahkan bisa dikatakan saat ini keberadaanya merata hampir di semua wilayah kapanewon. Booming wisata Gunungkidul dan Keistimewaan DIY, mau tidak mau menjadi salah satu pemantik perkembangan ini.
Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan beberapa dekade yang lalu. Hiruk pikuk iklim seni rupa Yogyakarta sebagai salah satu kiblat seni rupa nasional, ternyata belum banyak berpengaruh terhadap Kabupaten Gunungkidul. Selama puluhan tahun, seni rupa Gunungkidul bisa dikatakan mati suri, padahal notabene jaraknya tidak terlalu jauh.
Pada medio tahun 2011, beberapa perupa mencoba memulai sebuah gerakan membangkitkan seni rupa Gunungkidul. Mereka tergabung dalam sebuah wadah yaitu Ikatan Perupa Gunungkidul (IPG). Agenda bertajuk ‘Babad Seni‘ menjadi agenda rutin pameran tahunan. Efek dari gerakan komunitas ini akhirnya berpengaruh terhadap gairah seniman rupa Gunungkidul yang telah lama tertidur pulas dalam mimpi-mimpi panjang.
Sebelum IPG terbentuk, memang tercatat beberapa gerakan seni rupa di Gunungkidul. Meski kenyataannya, minimnya inisiasi seniman dan fasilitasi dari pemerintah, membuat gerakan-gerakan ini belum mampu memberi dampak yang signifikan. Seniman-seniman muda dari ‘nggunung‘ yang ‘turun’ untuk belajar di akademi seni di Yogya mewadahi gerakannya dengan label ‘Kukomikan‘.
Mereka beberapa kali juga mengadakan kegiatan atau event seni rupa di tanah kelahirannya. Secara personal, beberapa seniman senior juga membentuk sanggar seni. Salah satunya adalah almarhum Intan GS Bono. Ia adalah perupa dari Kapanewon Playen. Dengan beberapa seniman yang lain, pada sekitar tahun 2003 mereka membentuk Sanggar Kayu Angin, yang berlokasi di Padukuhan Kernen, Kalurahan Ngunut, Kapanewon Playen.
Sanggar ini sempat eksis selama beberapa tahun. Meskipun, keadaan dunia seni rupa Gunungkidul waktu itu masih belum memungkinkan untuk menggelar suatu even eksebisi atau pameran. Kegiatan sanggar lebih pada bentuk edukasi atau les menggambar untuk anak-anak. Sanggar Kayu Angin juga menjadi tempat ‘persinggahan’ bagi para pemuda yang mempunyai minat dan bakat pada bidang seni, tetapi tidak mempunyai kesempatan untuk sekolah di Yogya.
Seiring berjalannya waktu, para personil pendiri Sanggar Kayu Angin akhirnya berproses secara personal. Sebagian bergabung dalam IPG untuk meneruskan perjuangan membangun seni rupa Gunungkidul. Intan GS Bono sendiri wafat pada tahun 2013. Julian Arif Umar, keponakannya yang waktu itu bersekolah di Institut Seni Indonesia (ISI) banyak tinggal di Yogya. Setelah wafatnya Intan GS Bono, Sanggar Kayu Angin akhirnya vakum dari semua kegiatan.
Mboyong Sanggar
Sabtu Pahing, 3 September 2022, sebuah event seni rupa bertajuk ‘Ngreksa Rasa‘ diselenggarakan di Padukuhan Sumbermulyo, Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari. Kegiatan ini masih dalam rangkaian menyambut ‘rasulan‘ Kalurahan Kepek. Agenda yang diinisiasi Agus Wibawanto ini sekaligus sebagai momen memboyong Sanggar Kayu Angin dari Kapanewon Playen ke rumahnya. Agus adalah salah satu dari pendiri Sanggar Kayu Angin. Sebagai bentuk niatan untuk tetap ‘nguri-uri‘ tinggalan almarhum, seniman yang akrab disapa Iba ini berinisiatif menghidupkan kegiatan Sanggar Kayu Angin di rumahnya.
“Setelah berembuk dengan beberapa teman pendiri sanggar, dan juga Julian sebagai pewaris almarhum Mas Bono, saya kemudian memutuskan untuk ‘mboyong’ Sanggar Kayu Angin ke rumah. Ini adalah niatan untuk ‘nguri-uri’ tinggalan almarhum, sekaligus meneruskan perjuangan beliau di dunia seni rupa,” cerita Iba di sela-sela acara.
Agenda bertajuk ‘Ngreksa Rasa‘ ini dilaksanakan dalam satu hari, diikuti oleh sekitar 20 seniman dari Komunitas Ngangsu Kawruh dan Ikatan Perupa Gunungkidul. Rangkaian kegiatan, yakni melukis On The Spot (OTS), Performance Art oleh seniman Waluyo, Sundi, dan Handoko serta diskusi kecil tentang seni rupa Gunungkidul.
“Ngreksa Rasa, adalah maksud kami untuk menyambungkan rasa antar personal dengan media warna, bentuk dan gerak. Dengan ini, kami berharap agar rasa dan ikatan batin sesama pelaku seni bisa lebih dekat. “Ngreksa rasa’ hakekatnya memelihara rasa dan luapan rasa rindu yang berkepanjangan untuk melangkah bersama,”
lanjut Iba.
Iba juga berharap, bahwa Sanggar Kayu Angin ini bisa terus eksis. Sebagai salah satu sanggar seni yang telah lama berdiri, diharapkan ke depan akan bisa ikut memberi warna dalam dunia seni rupa, khususnya Gunungkidul.
Pendiri sanggar, yakni Intan GS Bono, dikenal sebagai salah satu pejuang seni rupa. Sampai akhir hayatnya, ia tetap eksis dan semangat dalam berkarya. Dengan fisik yang tidak sempurna, perupa otodidak ini mampu bertahan dan konsisten pada dunia seni rupa sebagai pilihan hidupnya
Herlan Susanto, salah satu perupa senior Gunungkidul yang ikut dalam acara juga berpendapat, bahwa sanggar adalah salah satu tempat belajar seni yang sudah lama eksis. Keberadaanya menjamur di Yogyakarta sebagai pusat seni dan budaya. Banyak seniman-seniman besar nasional yang lahir dari hasil didikan sanggar.
“Dulu, dengan keadaan seni rupa Gunungkidul yang masih sangat minim, untuk mendirikan sanggar seni butuh sebuah nyali dan tekad yang besar. Iklim seni rupa belum seperti sekarang, Sanggar Kayu Angin adalah salah satu bentuk eksistensi berkesenian dari para pendirinya,” kata Herlan.
Saat ini, lanjutnya, perkembangan dan iklim seni rupa Gunungkidul sudah sangat pesat dan dinamis. Perkembangan ini diharapkan mampu mengangkat seni rupa Gunungkidul agar bisa lebih banyak bicara di berbagai kancah kesenian.
Seniman sekaligus guru seni rupa ini berharap kiprah seniman muda dengan segala semangat dan wacana yang lebih progresif akan membawa dampak positif bagi Gunungkidul.
“Lha nek saya ki sekarang sudah tua, saya tak ‘tut wuri’ saja. Seneng rasanya melihat perkembangan seni rupa Gunungkidul saat ini. Pas zaman saya dulu, dengan Pak Untung, Mas Agung dan beberapa seniman lain, mau pameran saja sulitnya bukan main. Paling kalau bisa pameran, ya ikut di bawah tenda acara Pameran Pembangunan di alun-alun,”
pungkas Herlan bernostalgia.