Lingkungan(rebowagen.com)-Telaga adalah sebuah sistem penampungan air alami permukaan yang banyak bertebaran di wilayah Gunungkidul, terutama bagian selatan. Keberadaannya memang identik dengan wilayah kawasan karst Pegunungan Seribu. Selama ratusan tahun, telaga menemani dan mencukupi kebutuhan akan air bagi masyarakat sehari-hari. Pohon- pohon besar di sekeliling telaga, dan kesejukan yang diciptakannya membuat tempat ini menjadi rest area alami bagi warga sekitar. Sebuah kawasan yang nyaman untuk melepas lelah setelah seharian bekerja di ladang.
Banyaknya aktivitas keseharian yang dilakukan juga membuat telaga menjadi pusat interaksi sosial masyarakat. Air sebagai sumber kehidupan, akhirnya membentuk ikatan batin yang kuat antara warga dengan telaga. Hubungan masyarakat petani dengan sumber air juga menciptakan ragam budaya agraris, dimana hampir semua ritual atau upacara adat masyarakat berpusat di telaga sebagi sumber air. Pada akhirnya, telaga menjadi ‘sumbu’ ataupun pusat kehidupan sehari-hari masyarakat
Pada lokasi telaga terdapat lubang pembuangan air alami yang disebut ‘luweng‘. Kelebihan debit air hujan yang tertampung dibuang secara otomatis melewati lubang ‘luweng‘ yang terletak di bagian pinggir telaga. Luweng adalah drainase alami yang terbentuk dari lapuknya batuan karst. Lubang ini merupakan gua vertikal yang terhubung dengan rongga atau sungai bawah tanah dan akhirnya bermuara di laut selatan. Ukuran luweng beragam, ada yang berdiameter besar (luweng Grubug, Jaran, Njomblang, dan lain lain), dan ada ratusan lainnya yang berukuran lebih kecil.
Keberadaan luweng ini tidak mesti berada di telaga, pada dataran yang lebih rendah di antara bukit seribu sering juga terdapat lubang luweng yang berfungsi untuk membuang air yang terkumpul. Kasus banjir yang terjadi di wilayah selatan Gunungkidul akhir-akhir ini banyak terjadi ketika lubang luweng tertutup. Atau bangunan didirikan di lokasi bekas telaga, sehingga jenis banjir yang terjadi adalah banjir genangan.
Keberadaan luweng di telaga seringkali jumlahnya tidak hanya satu. Ada luweng yang terletak agak ke tengah, sehingga ketika luweng terbuka, maka air akan mengalir ke lubang dan telaga akan mengering. Oleh para orang tua dulu, hal seperti ini sudah diperhitungkan. Dengan pengetahuan dan kearifan mereka, lubang luweng yang berada di tengah-tengah telaga kemudian ditutup secara gotong royong.
Ritual dan upacara khusus kemudian dilakukan dalam proses penutupan luweng. Ada beberapa syarat dan ‘ubarampe‘ yang disiapkan untuk sarana permohonan kepada Yang Maha Kuasa, agar hajat warga untuk melestarikan sumber air berupa telaga bisa terkabul.
Di setiap desa atau tempat, syarat ubarampe yang diperlukan berbeda-beda. Yang paling sering digunakan adalah ‘ijuk’, ‘damen‘ (jerami padi), kain atau kayu kayu tertentu. Cerita rakyat yang lebih tua menuturkan beberapa material yang tidak lazim juga disebut, meski mungkin hal itu berbau ‘sanepan‘ atau isyarat. Beberapa diantaranya adalah ‘dandang kencana‘ (semacam periuk), ataupun ‘bathok mengkurep‘ ( batok kelapa). Syarat khusus yang lain juga sering dihadirkan sebagai ‘tumbal‘, misal kepala kerbau, atau benda tertentu yang ikut dikubur saat upacara menutup luweng.
Pada hari Jumat Legi kemarin, saya berkesempatan mengikuti upacara adat ‘Tilik Telaga‘ Boromo, Padukuhan Trowono, Kalurahan Karangasem, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul. Sempat terkendala hujan, sehingga acara kenduri yang biasanya dilaksanakan di tepian telaga berpindah ke balai padukuhan. Setelah hujan mereda, warga bersama-sama mengadakan kerja bakti membersihkan lokasi sekeliling telaga.
“Saat banjir Badai Cempaka tahun 2017, luweng telaga Boromo terbuka, sehingga telaga mengering, padahal sejak dulu telaga tidak pernah kering sepanjang tahun,”
kata Sigit Purnomo, Lurah Kalurahan Karangasem
Pria yang akrab disapa Wage ini sambil berkeliling telaga kemudian menceritakan bagaimana proses dari penutupan telaga yang terbuka. Dengan keringnya telaga Boromo, masyarakat beberapa padukuhan merasa kehilangan, karena meski fungsi telaga Boromo tidak sepokok dulu, namun keberadaanya sudah sangat dekat dan melekat dengan warga sekitar.
“Ada beberapa luweng di telaga Boromo, kebetulan yang terbuka yang berada agak di tengah, sehingga air dengan cepat meresap dan telaga jadi mengering,” lanjutnya
Ukuran luweng, menurut Wage, sebetulnya tidak terlalu besar, berdiameter sekitar 1,5 meter. Namun air yang tersedot dengan cepat membuat debit air telaga menyusut dan berkurang.
“Waktu itu, saya masih menjadi RT, dan karena menunggu tindakan dari dusun atau desa tidak juga dilakukan, saya kemudian berinisiatif mengumpulkan warga bermusyawarah untuk mencari solusi,” imbuh Wage lagi.
Dalam musyawarah yang dilakukan, menurut Wage, semua masyarakat boleh usul tentang cara menutup luweng. Akan tetapi dengan catatan setiap yang usul maka harus bertanggung jawab terhadap usulannya, dalam arti menyediakan syarat dan ‘ubarampe‘ yang diusulkan. Dalam musyawarah ini akhirnya banyak warga yang memberikan usulan misalnya menutup dengan kayu, batu, kain dan yang lain.
“Salah seorang warga bernama Lik Bagong mengusulkan untuk menutup luweng dengan kain jarik bermotif ‘truntum’. Pemilik toko besar di Pasar Trowono memberi kain ‘mori’ (kain putih) satu bal (gulung). Saya sendiri mengusulkan untuk tepat diatas luweng ditanami pohon beringin, harapannya agar akar akar pohon bisa membantu menutup lubang luweng“,
terang Wage.
Pada hari yang telah ditentukan yakni Jumat Legi, upacara penutupan luweng telaga Boromo dilakukan. Masyarakat bahu membahu bergotong royong kerja bakti di telaga. Semua syarat yang diusulkan kemudian dilakukan dengan satu permohonan agar luweng kembali tertutup dan air telaga bisa kembali awet dan bertahan sepanjang musim. Setelah penutupan luweng Masyarakat juga bersama-sama menyelenggarakan prosesi upacara adat dan ritual kenduri, dan ditutup dengan doa bersama.
Kerja dan ikhtiar warga yang dilakukan pada tahun 2018 itu, saat ini sudah membuahkan hasil. Air telaga Boromo akhirnya kembali awet dan bertahan sepanjang tahun. Pohon beringin yang ditanam tepat di atas luweng, sekarang sudah mulai besar dan subur. Hingga saat ini, setahun sekali pada hari Jumat Legi kemudian dilakukan tradisi ‘Tilik Telaga‘ secara rutin. Masyarakat membawa berbagai makanan yang kemudian dilakukan kenduri bersama. Setelah itu secara bersama-sama mereka melakukan kerja bakti bersih-bersih lingkungan telaga.
Kasus telaga mengering di Gunungkidul saat ini memang marak terjadi. Melansir artikel KONTAN.CO.ID Yogyakarta, dari data Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPUPRKP) Gunungkidul tahun 2019, terdata ada 460 telaga di Gunungkidul. Dari jumlah itu, DPUPRKP mencatat sebanyak 355 telaga yang mengering ketika datang musim kemarau. Jika musim kemarau berlangsung lebih lama, maka jumlah telaga yang mengering akan semakin bertambah.
Selain itu, DPURKP Gunungkidul juga mencatat, ada 28 telaga yang lokasinya dialih fungsikan untuk mendirikan bangunan dan lahan pertanian. Kasus banjir yang merendam gedung sekolah di SMK Negeri Tanjungsari, di Kapanewon Tanjungsari dan SMP N 2 Girisubo Kalurahan Jepitu, Kapanewon Girisubo adalah beberapa contohnya. Ketika hujan turun dengan intensitas lebat, maka dapat dipastikan lokasi sekolahan ini akan terendam banjir genangan. Dua lokasi sekolahan ini memang dulunya adalah bekas telaga yang dialih fungsikan.
DPURKP Gunungkidul juga mencatat, saat musim penghujan, seluruh telaga di Gunungkidul mampu menampung air sebanyak 5.149. 954,75 meter kubik. Saat musim kemarau tiba, debit air yang tertampung di telaga akan menurun drastis yakni tersisa 1.119. 386,70 meter kubik. Sejak dulu, air telaga digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari hari oleh warga, namun mulai awal tahun 2000, fungsi telaga mulai berkurang. Warga sudah mulai menggunakan sambungan air PDAM maupun SPAMDes.
Meski telaga tak lagi menjadi tumpuan utama kecukupan kebutuhan air warga, namun demikian, keringnya air telaga ini adalah keadaan yang sangat memprihatinkan. Fungsi pokok telaga dalam mencukupi kebutuhan air dan menemani perikehidupan masyarakat pegunungan seribu selama ratusan tahun adalah sebuah ikatan sejarah yang tidak bisa begitu saja hilang dari memori komunal masyarakatnya. Bahkan sebetulnya, saat ini keberadaan air telaga juga masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat, baik untuk mencuci ataupun memandikan dan memberi minum ternak-ternak mereka.
“Setelah Telaga Petir mengering paska dibangun permanen, warga Ngurak Urak membeli tangki air tidak hanya untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, tapi juga untuk memberi minum ternak. Dulu, sebelum telaga mengering warga membawa sapi-sapi ke telaga untuk dimandikan dan diberi minum,” saya ingat ucapan Ribut, pengasuh Sanggar Lumbung Kawruh, Padukuhan Ngurak Urak, Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop beberapa waktu lalu.
Menurut Ribut, tidak semua warga yang telah memasang jaringan PDAM otomatis tercukupi kebutuhan airnya. Hingga saat ini, tak jarang air PDAM mati dalam beberapa waktu. Dan ketika mengalir, warga harus bergilir untuk memenuhi bak tampungan airnya.
“Saat giliran mengisi bak penampung, rumah warga yang posisinya agak tinggi sering tidak kebagian air, jadi terpaksa kami sering membeli tangki air dari Pracimantoro,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan oleh Harjito dan Agus, masing-masing adalah pengurus Telaga Lemah Mendhak, Kalurahan Candirejo Semanu dan Telaga Saga, Kalurahan Kemiri, Tanjungsari. Dua telaga di wilayah mereka juga mengering total di musim kemarau. Pengerukan dasar telaga mengakibatkan luweng-luweng yang berada di dasar telaga terbuka, sehingga air dengan cepat mengalir dan hilang ke sungai bawah tanah.
“Saat ini, kami berupaya untuk membangun kembali ekosistem kawasan penyangga telaga dengan cara menanam banyak pohon konservasi. Sebatas itu yang saat ini bisa kami lakukan, kami berharap ada solusi agar telaga bisa kembali seperti dulu, airnya awet sepanjang tahun,”
ungkap mereka.
Keberadaan telaga, saat ini tidak hanya membantu soal pemenuhan kebutuhan akan air. Kegiatan Karang Taruna dengan event pemancingan rutin berbayar tiap tahun di telaga juga bukti nyata manfaat telaga yang mendukung ekonomi masyarakat. Langkah-langkah dan upaya penyelamatan telaga adalah suatu hal yang krusial dan menjadi skala prioritas. Segera diperlukan langkah dan tindakan yang tepat untuk menjaga keberadaan telaga agar lestari di wilayah Gunungkidul.
Namun begitu, harus menjadi catatan penting, bahwa pengetahuan lokal, kepercayaan adat, ilmu tutur masyarakat sekitar adalah sebagai referensi utama perencanaan program revitalisasi telaga. Fakta di lapangan menunjukkan, maksud baik program revitalisasi telaga dari pemerintah pusat dengan pengerukan dan betonisasi justru malah membuat keadaan ratusan telaga di Gunungkidul semakin memprihatinkan. Telaga yang direvitalisasi akan sangat cepat mengering di musim kemarau, di samping lapisan ‘lemi‘ (membran alami) penahan air hilang karena dikeruk, ekosistem telaga ternyata berubah secara makro.
Ini menunjukkan bahwa meski penggunaan ilmu teknik modern ataupun standar akademisi memang penting, tapi dengan mengesampingkan pengetahuan dan kearifan lokal, maka yang sering terjadi adalah sebaliknya. Tujuan membangun atau melestarikan akan berakibat pada merusak atau justru malah menghilangkan.