Kuliner(rebowagen.com)– Gunungkidul terkenal dengan berbagai macam jenis kuliner ekstrim. Tumbuhan atau hewan yang di daerah lain tak lazim dikonsumsi, di tangan warga Gunungkidul bisa menjadi sajian lezat di meja makan. Sebut saja belalang, puthul, segala jenis ulat dan ‘ungkrung‘ (kepompong) dan banyak lagi yang lain.
Alam dan geografis Gunungkidul yang keras, membuat masyarakatnya kreatif memanfaatkan banyak hal yang ada disekelilingnya menjadi lazim untuk dikonsumsi. Tak hanya lezat, tapi ternyata makanan ekstrim ini juga banyak mengandung gizi dan vitamin yang diperlukan oleh tubuh manusia.
Dalam perjalanan kemarin, saya menemukan satu lagi kuliner tak biasa yang dikonsumsi oleh masyarakat Gunungkidul. Kebetulan saya bertamu dirumah Miarsih, salah seorang warga Kalurahan Kepek, Kapanewon Saptosari. Saya diajak makan siang dengan lauk ‘oseng jengki‘.
Awalnya, saya mengira bahwa bahan yang dimasak ‘oseng‘ (tumis) ini adalah pasta atau mie kering. Rasa pedas dan gurihnya membuat saya penasaran dan terpaksa menambah porsi makan saya.
Jengki (kulit singkong)
Hemm, siapa yang menyangka asal bahan ‘oseng-oseng jengki‘ ini dari limbah ketela? ‘Jengki‘ adalah penyebutan masyarakat petani Gunungkidul untuk kulit ketela. Dalam prosesnya, singkong memang dikupas dulu sebelum dijemur menjadi gaplek. Kulit singkong atau ‘jengki‘ biasanya juga dijemur untuk kemudian digunakan untuk makanan ternak.
Singkong adalah komoditas pertanian yang umum dijumpai di Gunungkidul. Mayoritas penduduknya yang masih berprofesi sebagai petani, menanam tanaman pangan ini di lahan untuk ketahanan pangan keluarga. Aneka olahan dari salah satu tanaman umbi-umbian ini juga sangat bervariatif, seperti gaplek, tepung gaplek, tiwul, gatot, menggleng (balung kethek), keripik singkong dan masih banyak lainnya.
Tapi tahukah, ternyata limbah dari singkong juga bisa loh menjadi olahan pangan yang unik dan bikin ketagihan. Yups, meskipun olahan pangan dari kulit singkong atau sering disebut ‘jengki‘ ini memang sudah mulai langka di Gunungkidul. Jengki lebih sering diolah untuk pakan ternak atau tak jarang hanya berakhir menjadi limbah saja.
Nah, di Kalurahan Kepek, Kapanewon Saptosari, masih sering ditemui hasil olahan ‘jengki‘. Warga disini sering mengolah ‘jengki‘ menjadi ‘oseng-oseng‘ sebagai pelengkap makan nasi hangat. ‘Oseng jengki‘ seperti oseng pada umumnya, penggunaan bumbu dan cara masaknya pun tidak ada yang berbeda. Hanya saja sebelum diolah menjadi oseng rupanya perlu beberapa tahapan agar si jengki ‘ora mendemi‘ alias tidak membuat sakit atau keracunan.
Singkong memang mengandung zat kimia ‘hidrogen sianida‘ atau racun alami, dan kadarnya terbanyak berada di bagian kulit singkong. Maka, untuk menjadikan jengki menjadi panganan (makanan) yang lezat perlu direndam kemudian direbus agar aman dikonsumsi.
“Nek arep masak direbus sik, makane sak durunge dimasak diproses sik ben ra mendemi (kalau mau dimasak direbus dulu, harus diproses dulu agar racunnya hilang),” terang Miarsih, saat saya penasaran dan bertanya.
Dalam pengolahan ‘jengki‘ memang diperlukan ketelatenan, sehingga kandungan asam sianida dalam ‘jengki‘ bisa dinetralisir. Jika tidak benar atau lalai memang bisa mengakibatkan keracunan bagi yang mengkonsumsinya.
Namun, jika diolah dengan baik, dicuci bersih, direbus hingga dikeringkan kandungan asam sianida akan menyusut atau tereduksi hingga 96,10%.
“Produk olahan makanan dari jengki kami pernah mendapat Juara 3 Lomba Cipta Kreasi Olahan Ketela Tingkat Gunungkidul tahun 2021,”
lanjut Miarsih setengah berpromosi.
Miarsih kemudian menerangkan tahapan dari proses pengolahan ‘jengki’ agar siap dikonsumsi.
“Kulit singkong yang telah dikupas, dibersihkan, kemudian dipotong sesuai kebutuhan, dicuci bersih, lalu direbus kurang lebih 25 menit hingga empuk. Kemudian ditiriskan, dan bisa langsung dimasak,” terang Miarsih.
“Kalau olahan ini mau dipakai dalam jangka waktu lama, maka setelah direbus dan ditiriskan lalu dijemur hingga kering,” imbuhnya lagi.
Jenis singkong yang dipakai, lanjutnya diusahakan singkong yang empuk atau bisa juga singkong jenis singkong ‘ketan‘.
“Nek semelang ndak mendhem, mending ‘jengki’ sik telane empuk, utawa tela ketan. Nek ora langsung dimasak, dipepe gek disimpen (jika ragu-ragu keracunan, lebih baik memilih ‘jengki’ yang singkongnya empuk, singkong ketan misalnya. Jika tidak langsung dimasak, bisa dijemur, kering lalu disimpan),” lanjutnya.
Selain diolah sebagai lauk, Miarsih juga memaparkan, jika ‘jengki‘ bisa dikreasikan menjadi berbagai macam produk bahan makanan. Bisa dijadikan tepung yang kemudian menjadi bahan pembuat berbagai kudapan rendah gula, pelas, hingga keripik jengki.
“Okeh, isa dioseng, dipelas, isa digawe keripik. Nek digawe keripik, le ngiris amba-amba (banyak, bisa ditumis, dipelas, bisa dibuat keripik. Kalau dibuat keripik ngirisnya lebar lebar),” tambahnya.
Selain manfaatnya untuk mengenyangkan perut, ternyata si ‘jengki‘ ini punya segudang manfaatnya jika ditilik dari kandungan gizinya lho. Dikutip dari Jurnal Gizi, Institut Kesehatan Helvetia, Sumatera Utara, dalam 100 gram kulit singkong terkandung 8,11 gram protein, 15,20 gram serat kasar, 0,22 gram pektin, 1,29 gram lemak dan 0,63 gram kalsium.
Dari banyaknya kandungan gizi, ‘jengki‘ sangat bermanfaat untuk sumber energi, menjaga fungsi jaringan tubuh, mengurangi kolesterol, baik untuk penderita diabetes (rendah gula), pembentukan kolagen hingga mengurangi resiko penyakit jantung.
Nah, baru tahu to kalau ‘jengki‘ mempunyai segudang manfaat. Kalau sudah tahu, kira-kira masih mau gak ya membuat nasib ‘jengki’ hanya berakhir untuk pakan ternak atau hanya dibuang ditempat sampah, atau kita berani untuk berkreasi dengan si ‘jengki’ ini?