Pertanian(rebowagen.com)– Dalam perjalanan berkeliling Gunungkidul, banyak hal yang menarik perhatian saya. Salah satunya tentang budaya pertanian masyarakatnya. Dengan keadaan geografis yang terkenal tandus dan kering, lahan garapan para petani Gunungkidul rata-rata adalah tadah hujan. Hasil pertanian sangat mengandalkan alam atau air hujan untuk bisa berhasil. Namun begitu, para petani Gunungkidul dikenal mampu menghasilkan bahan pangan yang bervariatif dan berkualitas baik. Segala kesulitan dan tantangan alam yang dihadapi, mampu membuat mereka menjadi kreatif, berdaya juang tinggi, pekerja keras dan mempunyai semangat tak kenal menyerah.
Di bagian selatan Gunungkidul, pada ‘punthuk‘ (bukit), kita bisa melihat mahakarya petani yang berbentuk terasering batu. Sistem tersering memang banyak kita jumpai di daerah lain, tapi itu biasanya adalah daerah sawah yang subur. Terasering adalah sistem penataan lahan untuk memudahkan pengaturan air dan mencegah erosi. Berbeda dengan Gunungkidul, di wilayah selatan, sistem terasering batu digunakan para petani untuk menjaring dan mengumpulkan tanah. Di atas lapisan tanah tipis yang terkumpul inilah, para petani menaman padi, palawija, dan tanaman pangan lainnya untuk bisa bertahan hidup. Semangat dan kerja keras petani Gunungkidul mampu menggarap lahan kering menjadi lahan produktif. Hingga akhirnya menghasilkan budaya pertanian yang unik dan variatif berdasar kearifan lokal mereka.
Selain terasering batu yang tersusun begitu rapi, ada beberapa jenis tanaman yang digunakan oleh para petani untuk membantu menjaga kesuburan lahan pertanian mereka. Dalam satu petak sawah atau ladang, ada beragam tanaman tumbuh di sana (sistem tanam Tumpangsari). Mulai dari turi yang ditanam di pinggiran ‘galengan’ (pematang), kacang ‘lanjaran’ (kacang panjang) yang dijajar rapi layaknya pagar, rumput ‘kalanjana’, untuk pakan ternak dan orok-orok serta beberapa yang lain.
Dalam tulisan ini, saya akan sedikit membahas tentang orok-orok, serta manfaatnya sehingga ditanam oleh para petani di lahan mereka. Tanaman ini bunganya berwarna kuning mencolok, sering ditanam di sela-sela padi atau kacang. Ada beberapa manfaat dari orok-orok, salah satunya adalah fungsi akarnya yang bisa membantu kesuburan tanah.
Sejarah Revolusi Hijau di Gunungkidul
Sebelum mengupas tentang orok-orok, ada baiknya kita sedikit ‘flashback’ tentang sejarah pertanian di Indonesia, terkait tentang program Revolusi Hijau. Program ini dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada waktu itu dalam upaya mengejar target swasembada pangan (beras) bagi rakyat Indonesia.
Program Revolusi Hijau di Indonesia dimulai tahun 1972. Ditandai dengan merombak sistem budaya pertanian, dari tradisional menjadi modern. Penggunaan bibit unggul dan pupuk kimia mulai diperkenalkan, melalui beberapa program seperti Inmas, Bimas, dan Supra Insus. Dalam beberapa dekade, target swasembada beras akhirnya bisa tercapai. Namun, ada beberapa hal yang menjadi efek samping dari program Revolusi Hijau. Salah satunya adalah menggeser paradigma (sistem) bertani dari para petani sendiri.
Yang paling terlihat adalah bergesernya pola dari pertanian berkelanjutan (lokal) menjadi pertanian modern (kimiawi). Penggunaan pupuk dan pestisida kimia akhirnya memang bisa memacu produktivitas tanaman pangan. Namun, efek negatifnya, penggunaan dalam jangka waktu lama, akhirnya merubah sistem keseimbangan alami (kesuburan tanah) di lahan pertanian.
Program ‘berasisasi‘ akhirnya juga merubah ‘mindset‘ atau paradigma masyarakat tentang bahan pangan pokok. Beras dianggap sebagai yang paling pokok, sementara bahan pangan lain yang sangat bervariatif lambat laun mulai dilupakan.
Dalam buku ‘Gesang di Lahan Gersang‘ karya Diah Winduretno, program Revolusi Hijau cukup terlambat dipraktikkan dan diterapkan oleh masyarakat Gunungkidul. Sejak dicanangkan, baru kurang lebih sekitar tahun 1980 masyarakat mulai menanam padi unggul (IR). Sebelumnya, para petani Gunungkidul masih menanam padi dengan varietas lokal.
Selain itu, petani menggunakan pupuk sintetis (urea) juga baru dimulai sekitar tahun 1982. Menurut cerita Pak Pardi dalam segmen ‘Pertemuan Untuk Mengingat Kembali’ penggunaan pupuk urea sebetulnya sudah dilarang oleh simbah-simbah zaman dulu. Katanya, pupuk urea akan merusak tanah, membuatnya menjadi keras dan menyebabkan rasa singkong menjadi tidak enak.
Orok-Orok
Sebetulnya, alam sudah memiliki sistem keseimbangannya sendiri. Kondisi alam Gunungkidul memang terkenal sebagai daerah yang kering, sehingga dinilai kurang produktif untuk urusan pertanian. Namun, alam Gunungkidul selalu memberikan cara untuk bisa tetap hidup dan menghidupi orang-orang yang ada di dalamnya. Masyarakat Gunungkidul, sudah memiliki taktik bertani di lahan gersang dengan cara yang lebih alami. Misalnya, dalam urusan menyehatkan tanah, mereka sudah memiliki siasat tersendiri yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya yaitu dengan menanam tanaman orok-orok.
Dilansir dari Wikipedia, Orok-orok (Crotalaria Juncea), merupakan tanaman Asia tropis yang masuk dalam anggota polong-polongan (Leguminoceae). Orok-orok sejatinya tanaman yang berasal dari Amerika Selatan yang saat ini sudah tersebar di Indonesia, termasuk di Gunungkidul. Orok-orok tergolong tanaman perdu, tingginya sekitar 1-4 meter. Bagian vegetatifnya ditutupi oleh bulu halus. Tanaman orok-orok memiliki akar tunjang, dan mampu hidup di suhu 23–30 derajat celcius.
Selayang padang, kawasan Gunungkidul yang paling banyak ditanami orok-orok ada di Kapanewon Semanu. Hampir setiap sawah di Semanu terdapat tanaman orok-orok, baik menjadi tanaman utama maupun ditanam secara tumpangsari.
Menurut Anissa Candra seorang mahasiswi Universitas Gajah Mada (UGM), jurusan pemuliaan tanaman yang tinggal di Kapanewon Karangmojo, ia mengungkapkan bahwa tanaman jenis legume seperti orok-orok atau turi memiliki bintil akar yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen di alam bebas.
“Nitrogen sendiri menjadi salah satu unsur hara yang berperan penting dalam merangsang pertumbuhan dan memberi warna hijau pada daun. Kekurangan nitrogen dalam tanah akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu,” kata Anisa.
Tanah yang kaya akan unsur hara, lanjutnya, berarti banyak mikro organisme yang tumbuh berkembang di dalamnya. Pernyataan Anissa diperkuat oleh Evi Noto Suwito, salah seorang warga Padukuhan Ngringin, Kalurahan Semanu, Kapanewon Semanu. Evi adalah seorang praktisi pertanian.
“Tanaman orok-orok itu bandel mbak, ia bisa tumbuh di lahan yang kering. Tidak perlu banyak perawatan ini itu, bijinya cukup disebar saja nanti dia akan tumbuh dengan sendirinya. Enaknya lagi, orok-orok juga tidak perlu dipanen, langsung dijadikan pupuk saja”
terang Evi.
Pemanfaatan tanaman orok-orok di Gunungkidul sendiri ternyata cukup beragam. Di Kapanewon Semanu, selain dijadikan sebagai pupuk hijau, biji orok-orok juga digunakan untuk membuat tempe. Berdasarkan cerita Evi, tempe orok-orok hanya ada di musim-musim tertentu. Biasanya yang membuat tempe orok-orok adalah petani yang menanam orok-orok.
“Saat ini, pengrajin dan pembelinya sudah mulai jarang, mayoritas adalah orang-orang yang sudah lanjut usia. Ada satu penelitian menarik tentang biji orok-orok yang ternyata bisa digunakan sebagai obat insomnia,” lanjut Evi.
Penelitian tentang orok-orok sebagai obat insomnia ini dilakukan oleh Asmiyenti Djaliasrin, Siti Musyarofah, Bayu Satria Nugroho, Ezra Genatrika, Ika Yuni Astuti dari Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Dalam penelitian tersebut terbukti kandungan yang terdapat dalam biji orok-orok memang bisa meredakan insomnia (susah tidur).
“Mamakku dulu sering beli tempe orok-orok mbak, kalau aku sendiri belum pernah makan. Katanya teksturnya lebih lembek dari pada tempe kedelai” Ujar Anissa melanjutkan.
Selain dimanfaatkan sebagai tempe, ada juga yang memanfaatkan orok-orok sebagai pakan ternak. Pernyataan ini disampaikan oleh Fahid Nurrosyid, seorang petani muda yang tinggal di Kalurahan Siraman, Kapanewon Wonosari. Fahid dan orangtuanya menanam orok-orok dan turi untuk dijadikan pakan ternak, terutama di musim-musim kemarau.
Budaya menanam orok-orok di Gunungkidul masih belum diketahui dimulai tahun berapa, dan diprakarsai oleh siapa. Tapi yang pasti masyarakat Gunungkidul sudah memiliki siasat untuk bisa terus bertani walaupun di lahan yang kering. Sebetulnya ketika mengacu pada pola pertanian nenek moyang, bertani di Gunungkidul tidak membutuhkan banyak modal.
Gunungkidul punya teknologi lumbung pangan keluarga, juga memiliki sistem bank benih sendiri di rumah. Untuk urusan pemupukan, menanam orok-orok dan turi menjadi salah satu cara yang digunakan untuk memperkaya nutrisi dalam tanah. Sebutan orok-orok sebagai pupuk hijau, sudah banyak divalidasi oleh petani di daerah Semanu. Sejatinya dengan menanam orok-orok bisa mengurangi pembelian pupuk urea, sehingga mengurangi ongkos produksi pertanian. Selain itu, hal ini bisa menjadi upaya untuk revitalisasi lahan, agar kesuburan tanah secara alami pelan-pelan bisa kembali.