Pertanian(rebowagen.com) — “Alam niku mboten langgeng, sak pinter-pintere manungsa tetep mboten saget jenenge ngendalike mangsa. Sik paling isa dilakoni manungsa kaya kula niki nggih mung nandur uwi. Sesuk nek ketemu jaman sengsara meneh uwi-uwi sing tak tandur isa dadi cadangan pangan, paling mboten nggo sedulur karo tangga teparo” (Alam itu tidak abadi, sepintar-pintarnya manusia tetap tidak bisa mengendalikan musim. Yang paling bisa dilakukan manusia seperti saya hanya menanam umbi. Besok kalau ketemu jaman susah lagi, umbi-umbi yang saya tanam bisa menjadi cadangan makanan, paling tidak untuk saudara dan tetangga)”, Ujar Mbah Trisno Suwito. Kakek ini adalah pelestari umbi-umbian warga Padukuhan Plarung, Kalurahan Sawahan, Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul.
Siang menjelang sore, sepeda motor Honda Vario 250 saya pacu menuju Kapanewon Ponjong. Sebuah kawasan paling hijau di sebelah timur Kabupaten Gunungkidul. Di Kapanewon ini banyak sawah-sawah yang ditanami padi, para petani bisa panen 3 kali dalam setahun. Air cukup melimpah di daerah ini, selain itu bisa dijumpai sungai-sungai permukaan yang mengalir sepanjang tahun. Pemandangan yang cukup langka di Kabupaten Gunungkidul yang terkenal sebagai daerah tandus dan kering.
Jalan yang saya lewati mulai menanjak, kalau tidak salah ini merupakan jalur alternatif menuju Kabupaten Wonogiri. Beberapa kendaraan berplat AD terlihat banyak bersliweran. Dari jalan aspal saya masuk ke jalan cor blok. Tidak begitu lama akhirnya saya berhenti di sebuah rumah sederhana yang terasnya banyak digantungi jagung. Kanan kiri rumahnya banyak tumbuh tanaman kakao dan beberapa tanaman rambat yang tidak saya ketahui namanya.
Setelah ‘kulanuwun’, seorang lelaki berambut dan berjenggot putih keluar dari dalam rumah. Beliau menyambut kedatangan saya dengan senyum ramah, lalu mempersilahkan masuk. Di dalam rumah tidak banyak perabotan, hanya beberapa kursi kayu dan sebuah TV tabung yang terlihat berdebu. Semua terlihat sederhana, sebuah potongan koran lama yang dibingkai terpasang di dinding rumah. Judul berita yang dicetak tebal bertuliskan “Trisno Suwito, Penyelamat Umbi-umbian”.
“Mangga mbak, ngapunten gubuk kula khahanane ngaten niki (mari mbak, mohon maaf rumah saya keadaanya seperti ini),” Kata Mbah Tris dengan basa-basi orang Gunungkidul yang khas. Sebuah kalimat merendah untuk menghormati tamu yang jarang saya dengar lagi.
Mbah Tris begitu saya kemudian memanggilnya. Ia tidak mengetahui umurnya secara pasti lantaran tidak memiliki akta kelahiran. Namun menurutnya, usianya sudah di atas 75 tahun. Di rumah ini, Mbah Tris tinggal bersama anak dan cucunya.
Berbekal ilmu turun temurun, sejak tahun 2000 Mbah Tris tekun menanam umbi-umbian di pekarangan rumah dan sawah miliknya. Ia mengaku niatnya masih melestarikan umbi-umbian lantaran meyakini bahwa alam tidak bisa ditebak.
“Nek sakniki tasih aman, pari tasih saget panen terus. Ning saget mawon mangkih jaman Gaber kedadeyan malih (kalau sekarang memang masih aman. Padi masih bisa panen terus. Namun bukan tidak mungkin jaman ‘Gaber’ akan terjadi lagi),” lanjut Mbah Tris sambil mempersilahkan saya minum.
Mbah Tris kemudian bercerita tentang jaman ‘Gaber’. Ia dan keluarganya mengalami langsung keadaan sulit yang tiap hari harus dihadapi waktu bencana ini melanda. Jaman Gaber merupakan musibah kelaparan yang pernah terjadi di Gunungkidul sekitar tahun 1963. Semua tanaman pertanian dan hasil panen pada waktu itu habis dimakan oleh tikus. Banyak orang meninggal tiap hari lantaran kelaparan, sakit dan kekurangan gizi.
Beruntung, Mbah Tris dan keluarga bisa selamat dari bencana. Sejak dulu ia menanam umbi-umbian sebagai penyambung hidup, atau bisa dibilang sebagai lumbung pangan. Mbah Tris memanfaatkan umbi-umbian ini untuk pengganjal perut ketika masa paceklik ‘Gaber’ melanda.
“Umbi-umbian niku sejatine tanduran sing cocok dibudidaya wonten lemah Gunungkidul. Kados uwi, gembili utawi gembolo. Taneman niku minim perawatan, mboten perlu dipupuk, nek dipupuk malah marai kena ama. Terus paling cocok ya ditandur neng lemah sik kering kaya lemah Gunungkidul ngeten niki” (Umbi-umbian itu sejatinya tanaman yang cocok ditanam di tanah Gunungkidul. Seperti uwi, gembili, gembolo. Tanaman ini minim perawatan, tidak perlu dipupuk kalau dipupuk malah menyebabkan kena hama. Memang paling cocok ditanam di tempat yang kering seperti tanah Gunungkidul ini)”, Tutur Mbah Tris sambil tangannya sibuk melinting tembakau.
Dari pengalamannya, bagi Mbah Tris umbi amat berharga karena dapat menyelamatkan keluarganya dari musibah kelaparan. Mbah Tris juga mendapat wasiat dari orangtuanya untuk terus melestarikan umbi. Sejak dulu Mbah Tris terus mengumpulkan berbagai jenis umbi-umbian. Setiap beliau ke ladang, atau ke tempat-tempat baru selalu memperhatikan sekitar. Ia mencari-cari apakah ada umbi baru yang belum beliau ketahui.
Sampai saat ini Mbah Tris menanam lebih dari 20 jenis umbi-umbian. Hasil panennya tidak dijual, biasanya hanya dikonsumsi sendiri atau dibagikan ke tetangga.
Menurutnya, saat ini sudah ada beberapa jenis umbi yang mulai langka dan susah dicari seperti Gembolo, Katigubug dan Jempina. Jenis-jenis ini oleh Mbah Tris kemudian diperbanyak bibitnya.
“Sing pun angel golekane niki kula cobi mbibit riyen, ben saget dados kathah. Mangga mbak teng kebonan kalih ningali (yang sudah mulai langka ini saya coba semaikan dulu, biar bisa jadi banyak, mari mbak ke kebun sambil melihat-lihat),” Ajak Mbah Tris.
Saya kemudian diantar oleh Mbah Tris melihat pekarangannya. Ada berbagai tanaman yang tumbuh di sana, mulai dari pepohonan dan beberapa umbi-umbian yang familiar seperti talas. Disela-sela pohon yang tinggi di bawahnya terdapat berbagai tanaman rambat yang menjulur tinggi hingga ke atas yang ternyata adalah umbi jenis uwi.
Sebagai orang muda, terus-terang saya bingung dan baru tahu bahwa ternyata tanah Gunungkidul banyak menyimpan cadangan pangan hidup. Mbah Tris menjelaskan, umbi uwi ada beberapa jenis yang beliau temukan dan beliau tanam di sawahnya ada Uwi Legi, Uwi Rondo Sluku, Uwi Senggani, Uwi Alas, Uwi Beras, Uwi Butun dan yang lainnya.
“Niki tembe jenis Uwi, dereng jenis Gembili lan sanese (Ini baru jenis Uwi belum jenis Gembili dan umbi-umbian yang lainnya),” lanjutnya.
Saya hanya melongo dan geleng-geleng kepala mendengarkan Mbah Tris begitu fasih bercerita tentang umbi-umbian. Terlihat betapa Mbah Tris memang sangat mencintai dan menghayati apa yang ia lakukan. Sorot matanya kelihatan semangat dan berbinar-binar ketika menjelaskan banyak hal.
“Kula mboten ngira, merga umbi-umbian niki saget tiyang tebih-tebih dugi mriki. Kula nggih bola-bali diundang teng Jakarta. Wonten ugi priyantun NTB ingkang dugi bade penelitian. NTB niku adoh banget lho mbak. Nek tiyang Gunungkidul piyambak malah tembe tahun niki (Saya tidak pernah mengira dari umbi-umbian bisa membawa orang-orang jauh datang ke sini. Bahkan saya pernah diundang beberapa kali ke Jakarta. Ada juga beberapa orang dari NTB yang datang mau penelitian, NTB itu jauh banget lho mbak. Kalau orang-orang Gunungkidul sendiri malah baru tahun ini)”, Cerita Mbah Trisno sambil memegang uwi Punuk banteng.
Saya kemudian bertanya kepada Mbah Tris, sebetulnya apa yang diinginkan dari upaya-upaya pelestarian yang beliau lakukan. Mbah Tris hanya tersenyum, sambil membersihkan daun-daun uwi yang mulai mengering.
“kula mboten pingin napa-napa, gur pingin umbi ngeten niki saget lestari. Arepa sakniki jaman sampun maju, panganan ugi sampun kathah. Ning awake dewe mboten mangertos khahanan besuk pripun. Umpama nemahi malih jaman sengsara kaya jaman Gaber, umbi menika saget kagem lumbung pangan anak putu (saya tidak ingin apa-apa, saya hanya ingin umbi-umbian ini tetap lestari. Meskipun sekarang jamannya sudah maju dan makanan sudah melimpah. Tapi kita tidak pernah tahu keadaan besok akan bagaimana. Seumpama menemui lagi jaman sengsara seperti Gaber, umbi-umbian ini bisa untuk cadangan pangan anak cucu),” Pungkas Mbah Tris.
Dalam perjalanan pulang, pikiran saya masih begitu terbawa dengan Mbah Tris. Sosok orang desa sederhana dan tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Namun apa yang dia lakukan adalah sesuatu yang luar biasa. Ia tidak hanya sekedar berteori tentang ketahanan ataupun kedaulatan pangan. Jaman Gaber memberinya pelajaran bahwa jika dijaga dan dilestarikan tanah Gunungkidul menyediakan dan menyimpan banyak cadangan pangan yang bisa disebut ‘lumbung hidup’.
Wilujeng rahayu, Mbah. Matur nuwun kawruhipun. Kala rumiyin mpun nate sowan tumut sinau.
Semoga banyak yg terinspirasi dari cerita ini,
#Rebowagen semoga semakin sukses