Sosial(rebowagen.com)— “Nggih pripun malih, namung niki sing saget kula kerjani. Gaweyan menika pun kula lakoni kalih semah puluhan tahun. Saget kangge nggedekke kalih ngragati cah-cah ( Ya bagaimana lagi, hanya ini yang bisa saya kerjakan. Pekerjaan ini saya tekuni bersama suami selama puluhan tahun. Bisa untuk membesarkan dan membiayai anak anak),” ujar mbah Tumi, saat ditemui di dapur sederhana miliknya. Tempat dimana dia memproses butiran butiran kelapa menjadi minyak ‘klentik’.
Mbah Tumi, adalah warga Padukuhan Gedangsari, Kalurahan Baleharjo, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Nenek berkacamata ini sudah lupa kapan tanggal lahirnya. Ia hanya menyebut bahwa kata orang tuanya, dulu dia dilahirkan pada saat ‘udan awu'( hujan debu) akibat letusan gunung berapi. Mbah Tumi juga tidak tahu gunung berapi apa yang meletus saat itu.
“Kesupen mas, sing jelas pun tua, sampun gadah putu kathah (Lupa mas, yang jelas sudah tua, sudah punya cucu banyak),” katanya sambil tertawa, saat ditanya umur.
Kendati lupa tanggal lahirnya, Mbah Tumi masih ingat, bahwa ia memulai usaha mandiri dengan suami untuk membuat minyak ‘klentik’ ini pada kisaran tahun 1970, belum lama setelah dia menikah.
“Sakderenge kula nderek mbakyu kerja damel lenga klentik. Lajeng kula kalih semah damel usaha piyambak wonten griya, nggih ngantos sepriki. Semah kula pun tilar dereng dangu, sakniki kula dibantu anak ragil kula (Sebelumnya saya ikut kakak kerja membuat minyak klentik. lalu saya dan suami memutuskan untuk membuka usaha sendiri di rumah, ya sampai sekarang ini. Suami saya belum lama ini meninggal, saat ini saya dibantu oleh anak terakhir saya),” lanjutnya.
Sambil bercerita, tangan tangan renta mbah Tumi tampak terus sibuk mengaduk santan diatas perapian kayu yang membara.
Melihat dari fisiknya, Mbah Tumi ini kira kira berumur lebih dari kepala tujuh. Terhitung sejak dia memutuskan memulai usaha mandiri hingga sampai saat ini. Berarti sudah rentang waktu setengah abad lebih ia bertahan menekuni profesi sebagai pembuat minyak goreng tradisional berbahan kelapa. Sebuah pekerjaan yang saat ini sulit ditemukan lagi di Gunungkidul.
Diusianya yang tak lagi muda, mbah Tumi setiap hari bangun pukul 3 dini hari untuk membawa hasil olahan minyak goreng ke pasar Argasari, Wonosari. Pulang dari pasar, setelah beristirahat sejenak, Mbah Tumi segera memulai rutinitasnya untuk memproses butiran demi butiran kelapa menjadi minyak goreng klentik dan produk lainnya yaitu ‘blondo’. Untuk kemudian esok paginya dibawa ke pasar lagi. Rutin nitas harian ini ia jalani dalam kurun waktu yang tidak sebentar.
Ruangan dapur Mbah Tumi sebetulnya cukup luas, namun karena bahan bakar yang dia gunakan untuk mengolah minyak ‘klentik’ ini dari kayu, maka asap dan udara didalam ruangan menjadi panas dan pengap. Saat saya berkunjung, mbah Tumi masih sibuk mengolah santan diatas tungku kayu yang menyala. Pada sebuah ‘irik’ atau alat saring tradisional dari bambu, tampak tumpukan ‘blondo’ yang sedang dia saring. Setetes demi setetes minyak klentik dikumpulkan dalam sebuah baskom besar.
“Lenga Klentik asli menika nek kagem masak saget luwih gurih, awet lan rasane mboten gampang malih (Minyak kelapa asli itu jika untuk memasak rasanya lebih gurih, awet dan tidak gampang berubah rasa),” lanjutnya sambil tetap sibuk mengaduk santan.
Sesekali dia tampak membetulkan kayu bakar, sejurus kemudian api kembali menyala.
Setiap hari, rata-rata Mbah Tumi memasak 50 butir kelapa. Satu butir kelapa ia membeli dengan harga 5 ribu sampai 6 ribu rupiah, tergantung ukuran besarnya. Dari 50 butir itu, setelah diproses akan menghasilkan sekitar 3 liter minyak goreng. Mbah Tumi menjual minyak goreng ini dalam kemasan botol bekas air mineral berukuran 600 mili liter.
Satu botol ini ia hargai 50 ribu rupiah. Sebelum harga harga naik, Mbah Tumi mengaku masih bisa menjual 40 ribu. Kalau yang botol besar ia hargai 125 ribu rupiah.
“Sakniki napa-napa larang (sekarang ini apa apa mahal),” lanjutnya.
Jika dihitung, harga beli kelapa dan minyak ‘klentik’ yang dihasilkan keuntungannya sangat tipis. Namun ternyata ada produk lain yang bisa dijual dalam proses pembuatan minyak ‘klentik’ ini, yaitu ‘blondo’. Produk ini adalah santan kelapa yang mengental setalah melalui proses dimasak dengan cara diaduk terus menerus. Dari blondo ini kemudian disaring dan akhirnya menjadi minyak ‘klentik’. Warna blondo coklat dan berbau harum, bisa langsung dikonsumsi atau untuk campuran masakan lainnya.
“Menawi blondo kula adol sekilo 90 ewu. Rasane enak gurih, saget langsung kagem lawuh utawi sering kagem campuran gudeg (Kalau ‘blondo’ saya jual per kilo 90 ribu. Rasanya enak dan gurih, langsung bisa dibuat lauk, atau sering dipakai untuk campuran masakan gudeg),” imbuh Mbah Tumi lagi.
Mbah Tumi kemudian mempersilahkan saya untuk mencicipi ‘blondo’ yang telah siap santap. Rasa dan aromanya memang sangat khas, manis bercampur gurih dan awet terasa menempel di lidah.
Sambil terus bekerja, mbah Tumi kemudian banyak bercerita tentang proses membuat minyak goreng ‘klentik’ berbahan kelapa. Proses pertama, kelapa dipecah kemudian diambil dagingnya. Daging kelapa ini kemudian diparut dengan sebuah mesin parut, parutan kemudian diperas untuk diambil santannya. Dari santan inilah yang akhirnya dimasak, diaduk terus menerus sampai jangka waktu tertentu hingga akhirnya menggumpal menjadi ‘blondo’.
‘Blondo’ inilah yang kemudian ditiriskan dengan saringan, untuk kemudian diambil minyaknya.
Air kelapa, cerita Mbah Tumi ikut digunakan dalam proses memasak. Menurutnya dengan air kelapa ini, hasil minyak goreng akan lebih bagus dan ‘blondo’ yang dihasilkan rasanya jadi lebih gurih.
Dulu, sebelum punya mesin parut kelapa, Mbah Tumi dan suami memarut kelapa dengan tangan. Menurutnya pekerjaan ini yang paling memakan waktu lama dan tenaga yang besar. Ia menyatakan mesin parut kelapa ini sangat membantu pekerjaan saya
Di pasar Argosari tempat setiap hari Mbah Tumi menjual dagangannya, minyak goreng ‘klentik’ hasil produksinya ini dibeli oleh para pedagang makanan. Terutama pedagang bakmi dan pemilik rumah makan.
“Lenga klentik menika khusus kagem nggoreng bumbu, caranipun di gangsa, ben rasane mboten owah lan ambune bumbu tambah kuat (Minyak klentik ini digunakan khusus untuk menggoreng bumbu bumbu dengan cara di sangrai agar rasa bumbu tidak berubah dan akan semakin kuat aromanya),” tutur Mbah Tumi lagi.
Kalau orang dulu, sebelum ada minyak rambut atau pomade, minyak ‘klentik’ ini juga biasa digunakan sebagai minyak rambut.
“Niku riyen, nek sakniki pun mboten umum, lenga rambut pun katah sing adol teng warung. Nek riyen ta ngasi klicrit meling-meling nika (itu dulu, kalau jaman sekarang sudah tidak lumrah lagi, minyak rambut banyak yang jual di toko. Kalau dulu to sampai kelihatan basah dan berkilau),” lanjut mbah Tumi sambil tertawa. Mungkin dia membayangkan masa mudanya dulu.
Hasil olahan minyak secara tradisional ini memang dikenal istimewa. Menghasilkan produk minyak goreng yang murni, jernih dan tidak mudah berbau atau berubah warna atau aromanya. Tak heran, hal ini bisa dilihat dari tahapan dan kesabaran dalam proses pembuatannya.
Di pasar, Mbah Tumi menceritakan bahwa dia sudah punya langganan tetap. Tapi tak jarang banyak orang yang sengaja datang ke rumahnya untuk membeli minyak goreng klentik hasil produknya.
Ia bercerita, ada beberapa orang yang sering membeli langsung di rumah. Sering orang dari Wonosari, Semanu, bahkan dari daerah Klaten. Katanya minyak klentik ini ada khasiat untuk kesehatan tubuh, dan khusus digunakan untuk memasak makanan bagi orang yang sedang sakit dan dalam proses penyembuhan. Kata mereka saat ini mencari yang membuatnya sudah sangat jarang.
Saat ditanya soal penghasilan setiap hari, Mbah Tumi menyatakan kadang tidak menentu. Tapi rata rata dia menyebut keuntungan 50 sampai 75 ribu dia dapat setiap pulang dari pasar. Uang itu kemudian dia gunakan untuk membeli kebutuhan sehari hari, baik sayur, beras ataupun yang lainnya. Modal kemudian ia gunakan kembali untuk membeli kelapa untuk proses produksi selanjutnya.
Perempuan berputra tiga ini, mengaku, sejak dia dan suami memulai usaha mandiri pembuatan minyak Klentik sekitar tahun 1970, ia belum pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah, baik modal ataupun alat produksi. Mesin parut kelapa yang dia gunakan saat ini, ia beli dengan cara menabung dengan menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya setiap hari.
“Sakderenge tilar, semah kula sakit rada dangu. Kula mesakke semah kula amben dinten marut kambil ngangge tangan. Akhire kula nabung riyen ben saget tumbas mesin parut (Sebelum meninggal, suami saya sakit agak lama. Saya merasa kasihan melihat suami tiap hari harus memarut kelapa dengan tangan, akhirnya saya menabung untuk membeli mesin parut),” ujarnya lagi.
Kendati secara perhitungan keuntungan usaha ini kecil, namun Mbah Tumi berujar bahwa usaha yang dia geluti puluhan tahun bersama suami ini cukup untuk menghidupi dan membesarkan anak anaknya.
“Saget kula namung ngaten, Alhamdulillah usaha kula kalih semah saget cekap kagem nggedekke lan ngragati cah- cah sekolah. Pinten mawon rejeki kedah disyukuri (Bisa saya cuma ini, dan Alhamdulillah, usaha yang saya lakukan bersama suami cukup untuk membesarkan dan membiayai anak anak untuk sekolah. Seberapapun rejeki harus disyukuri),” imbuh mbah Tumi, sesaat mata Mbah Tumi kelihatan menerawang jauh, mungkin dia teringat mendiang suaminya.
Matahari sudah beranjak ke arah barat, saat saya putuskan untuk pamit. Asap dari bara kayu di tungku mbah Tumi masih mengepul pelan. Mbah Tumi masih sibuk menakar minyak ‘klentik’ yang sudah terkumpul di dalam botol botol bekas air mineral. ‘Blondo’ yang masih hangat kemudian dia masukkan ke dalam wadah, untuk persiapan dini hari nanti dibawa ke pasar.
“Ngapunten benjing nak kula pun mboten kiat sinten sing ajeng neruske usaha niki. Anak kula sing kalih sampun omah-omah lan gadah griya piyambak. Anak kula ragil niki nggih namung bantu-bantu (Entah besok siapa yang akan meneruskan usaha ini. Anak saya yang dua sudah berkeluarga dan punya rumah sendiri. Anak terakhir saya ini juga sekedar bantu bantu,” pungkas mbah Tumi mengakhiri ceritanya.