Budaya(rebowagen.com)– Bagi sebagian besar anak muda seperti saya, menyebut nama keris atau pusaka adalah suatu hal yang asing. Gambaran yang muncul adalah tentang sebuah zaman yang lampau, ‘old‘, silam, kalau tidak boleh dikatakan kolot. Keterbatasan pengetahuan terhadap banyak hal akhirnya memang sering menjadikan kita acuh. Sesuatu yang sebenarnya dekat dan sejatinya berakar dari kita akhirnya menjadi hal yang asing.
Cerita soal keris ini berawal ketika suatu saat, oleh bapak, saya diserahi sebilah keris. Kata bapak, itu peninggalan dari simbah. Kondisinya masih lumayan terawat, karena bapak saya tertib untuk ‘njamasi‘ di bulan Suro. Awalnya saya hanya sekedar menyimpan, kadang saat ada teman yang dolan dan mengajak ngobrol tentang benda pusaka, keris itu saya perlihatkan.
Ketertarikan terhadap keris berawal saat saya bertemu seorang teman lama bernama Yudi Purwanto. Rumahnya di Padukuhan Dungsuru, Kalurahan Pilangrejo, Kapanewon Nglipar. Saya bertemu secara tidak sengaja saat dalam suatu perjalanan berhenti di sebuah ‘angkringan‘ untuk melepas lapar dan dahaga. Dari obrolan angkringan basa-basi teman lama yang tak berjumpa, kami kemudian sampai membahas tentang ‘tosan aji‘. Ternyata, Yudi yang terbilang umurnya masih muda (30 tahun), sudah sangat fasih menceritakan tentang segala macam pusaka ‘tosan aji‘. Bahkan dirumahnya ia mengkoleksi puluhan benda-benda pusaka.
Pertemuan awal ini, akhirnya membuat saya berkunjung ke rumahnya. Sengaja saya membawa keris pemberian bapak. Entah mengapa sejak obrolan ‘angkringan’ itu, saya tiba-tiba tertarik dengan benda pusaka, terutama keris. Sempat membaca beberapa referensi terkait keris, ketertarikan ini semakin besar. Obrolan kami sore itu, akhirnya menjadi gayeng membahas banyak hal tentang ‘tosan aji‘. Yudi memang sudah sejak tahun 2013 mulai mengkoleksi banyak benda pusaka. Kefasihannya memahami dan menjelaskan membuat saya lebih banyak mendengar dan bertanya.
“Benda pusaka itu seakan sudah menjadi simbol dan refleksi makna kebudayaan sebuah masyarakat,”
kata Yudi.
Pelan-pelan, dalam hati saya mulai bisa memahami bahwa ternyata ‘tosan aji‘ memiliki spektrum makna yang notabene jauh lebih luas dan dalam. Hal ini bisa dikaji melalui berbagai pendekatan.
Benda-benda ini ternyata bukan hanya semata berfungsi sebagai senjata taktis tradisional. Senjata khas dan asli Indonesia ini mempunyai aspek seni estetis sejak dari proses pembuatannya, yakni teknik olah logam tempa dan lipat.
“Aspek lain yang melekat dengannya, yakni filosofi, kisah tutur, tradisi, legenda, mitos, dengan berbagai kearifan lokal di dalamnya. Serta pemaknaan tentang konsepsi hubungan Tuhan dan manusia, maupun antar sesama manusia,” lanjut Yudi membahas semakin dalam.
Tosan Aji dan benda kuno atau barang antik lain memang merupakan maha karya seniman masa lalu. Benda ini memiliki nilai historis dan filosofi tertentu pada setiap detail strukturnya. Dalam setiap bagian keris atau tombak, mempunyai nama dan arti tersendiri, seperti ‘tangguh‘, ‘pamor‘, ‘dapur‘, ‘luk‘, dan berbagai ciri khas lainnya.
“Mengkoleksi ‘tosan aji’ merupakan kepuasan batin bagi saya. Ini merupakan bentuk upaya dalam ‘nguri-uri’ budaya Jawa,” lanjut Yudi.
Ia kemudian bercerita awal ketertarikannya terhadap benda-benda yang sering dianggap bertuah ini. Sejak kecil, awalnya ia tertarik dengan kesenian jatilan. Dari sana Ia mengenal benda pusaka dan berbagai mitos serta keterkaitannya dengan adat, budaya, serta tradisi yang melekat pada ‘tosan aji‘.
Menurut cerita Yudi, setelah beranjak dewasa ia merasa sangat prihatin. Pusaka keluarganya yang seharusnya diwariskan secara turun temurun justru beberapa telah berpindah tangan. Bahkan ada yang dijual (dimahar) keluar daerah Gunungkidul, sehingga kini tidak diketahui keberadaannya. Yudi berpendapat, pusaka-pusaka tersebut merupakan representasi dari sejarah keluarganya. Merawatnya adalah bagian dari upaya mengingat serta memuliakan leluhurnya.
Ditambah dengan efek negatif kemajuan zaman saat ini. Budaya dan tradisi warisan leluhur kini semakin tergerus oleh perkembangan modernisme. Para pewaris pusaka di Gunungkidul cenderung mulai mengabaikan dan kurang memahami arti dari sebuah pusaka warisan keluarga. Benda-benda yang seharusnya dirawat, dijaga dan dilestarikan keberadaanya, malah justru dijual atau dimaharkan kepada orang lain.
“Eman-eman (sayang), pusaka-pusaka itu banyak dijual ke luar daerah bahkan hingga ke manca negara,” kata Yudi dengan geleng-geleng kepala.
Berawal dari itu, sekitar tahun 2013, Yudi mulai mempelajari filosofi, sejarah, adat, tradisi, cara merawat, ‘menjamasi’ serta mulai mengoleksi beberapa pusaka waris keluarganya yang masih ada. Dan secara kebetulan ada saja benda-benda pusaka milik orang lain mulai dihibahkan kepadanya. Pusaka itu dititipkan untuk dirawat karena biasanya pemilik sebelumnya merasa tidak mampu, atau tidak tahu cara merawatnya.
“Ya, ada beberapa yang dititipkan disini untuk dirawat. Pemiliknya merasa tidak mampu merawat,” kata Yudi lagi.
Menurut Yudi, perawatan benda pusaka sebetulnya tidak rumit. Yang paling umum, ketika memasuki Bulan Suro/Muharram maka diadakan ‘jamasan pusaka‘. ‘Jamasan’ adalah ritual membersihkan benda-benda pusaka.
“Nah, sekarang kan memasuki Bulan Suro, waktunya pusaka dijamasi. Caranya direndam dengan campuran air kelapa hijau, buah pace dan jeruk nipis. Ini berfungsi untuk menghilangkan karat. Proses ini dinamakan ‘mutih’, setelah dibersihkan, lalu diminyaki dengan minyak khusus. Ada juga yang kemudian diberi serbuk ‘warangan’ agar pamor dari pusaka bisa keluar,” terang Yudi panjang lebar.
“Proses ‘jamasan’ ini, juga untuk menghilangkan energi negatif dari sebuah benda pusaka bertuah”, lanjut Yudi
“Benda pusaka adalah benda tua yang bersejarah. Dulu ‘Mpu’ yang membuatnya juga melalui proses ‘tirakat’ dan prihatin. Nah, ketika pusaka tidak dirawat maka energi ‘tirakat’ dari Sang Mpu ini sering berubah menjadi energi negatif. Proses ‘jamasan’ bisa untuk menetralkan energi negatif ini. Karena dengan ‘jamasan’ bisa diartikan bahwa kita kembali merawat dan menghormati pusaka itu,”
Pusaka dan Klenik
Kurangnya pengetahuan tentang arti dan makna ‘tosan aji’ membuat banyak yang terjebak pada pengertian bahwa benda pusaka identik dengan ‘klenik‘. Walaupun sebetulnya tidak ada yang salah dengan ilmu ‘klenik‘.
Mengutip WikipediA, ilmu ‘klenik‘ diartikan sebagai sebuah ilmu yang bersifat rahasia. Klenik identik dengan hal mistis yang berkonotasi negatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Daring, menempatkan ‘klenik‘ sebagai sebuah aktivitas perdukunan.
Menyinggung soal ‘klenik‘, obrolan kami menjadi lebih gayeng. Tapi kami sepakat, bahwa ketika ‘tosan aji‘ dinilai sama dengan ‘klenik‘, maka harus ada banyak kajian dan penjabarannya. Definisi ‘klenik‘ juga tidak bisa selalu berkonotasi negatif. Dan pembahasan soal ‘klenik’ sangatlah panjang dan dalam. Sebatas yang kami tahu, ilmu ‘klenik‘ adalah pengetahuan Jawa kuno yang tidak diumbar secara umum. ‘Klenik‘ hanya diajarkan kepada orang yang sudah matang secara spritual, sehingga mempunyai pondasi dasar keilmuan yang kuat.
Namun, yang mudah dipahami tentang pusaka, sebetulnya secara khusus pusaka memiliki cerita sejarah atau budaya yang erat dengan suatu keluarga, desa atau wilayah. Niat untuk ‘nguri-uri‘ sejarah leluhur sebetulnya sudah cukup kuat menjadikan alasan mengapa benda pusaka harus dilestarikan di daerah tersebut.
Upaya Pelestarian
Benda-benda pusaka yang bernilai historis juga bisa dijadikan sarana edukasi bagi generasi. Banyak hal yang bisa dipelajari dari benda-benda pusaka. Moralitas, serta etika yang melekat pada antropologi budaya ‘tosan aji‘ akan mampu berpartisipasi dalam melestarikan adat, tradisi, budaya. Harapannya hal ini bisa menghilangkan paradigma negatif mengenai ‘klenik‘ dan ‘tosan aji‘ itu sendiri.
Dengan niat seperti itu, saat ini Yudi mulai mengkoleksi dan melakukan ‘hunting‘ di dusun-dusun dalam upaya melestarikan ‘tosan aji‘ asli Gunungkidul. Di rumahnya yang cukup luas, ia telah mengkoleksi sekitar 80-an keris dan tombak serta beberapa pusaka dan benda antik lainnya. Ia menjadikan semua ini menjadi koleksi pribadi dan tidak menjualnya kepada orang lain.
Cita-citanya agar di kemudian hari ia bisa memiliki museum pribadi yang dapat diwariskan kepada anak cucunya kelak. Museum ini juga diharapkan dapat sebagai tempat edukasi generasi tentang nilai luhur yang mengikat pada sebuah budaya, adat, serta tradisi khususnya di Gunungkidul.