Seni(rebowagen.com)– Gunungkidul sangat kaya akan ragam budaya yang menyertai laku perikehidupan masyarakatnya. Saat ini, sebagai salah satu bagian dari wilayah Yogyakarta, kabupaten terluas ini ikut berproses, untuk kemudian bangkit dari segala stigma miring yang selama ini melekat.
Kadang dirasa memang sangat ironis, Yogyakarta yang menjadi salah satu kiblat kesenian nasional, tak berbanding lurus dengan Gunungkidul. Beberapa dekade yang lalu, iklim kesenian Gunungkidul memang seakan mati suri dan berjalan di tempat.
Momen Keistimewaan DIY dan ‘booming‘ pariwisata rupanya menjadi cambuk pelecut. Para seniman dan pelaku seni di Gunungkidul mulai terbangun, terjaga dari tidur panjang, untuk kemudian bersemangat dalam kerja-kerja berkesenian. Berbagai event kesenian banyak digelar baik individu, komunitas maupun program dari kedinasan. Hal yang membuat iklim kesenian Gunungkidul saat ini menjadi lebih dinamis dan berwarna.
Salah satu event yang digelar adalah Handayani Night Festival (HNF) yang diusung oleh Gugur Gunung Art Project. Event ini pertama kali digelar pada 19 Agustus 2019 lalu, dengan menampilkan 10 grup/komunitas musik asli keroncong maupun musik alternatif berbasis keroncong. Mereka menghibur penonton secara maraton, dengan diselingi acara lain yakni peragaan busana batik.
Uniknya, event ini digelar di jalanan yang membelah kota Wonosari. Pada event perdana ini, Almarhum Djaduk Feriyanto menjadi bintang tamu bersama penyanyi keroncong Endah Raras. Animo masyarakat Gunungkidul sangat antusias menyaksikan perhelatan ini.
“Di tahun 2020 dan 2021, terhalang Pandemi, sehingga kami urung menyelenggarakan HNF #2,” terang Tinus, ia adalah salah satu penggagas event HNF.
Tinus menambahkan, awal ide digelar HNF adalah kegelisahan dari para pelaku musik keroncong di Gunungkidul yang merasa bahwa ruang ekspresi mereka sangat terbatas.
“Keroncong kan tidak sepopuler Campur Sari atau pentas musik Dangdut, jadi ini merupakan agenda ruang ekspresi teman-teman, juga bertujuan untuk lebih mengenalkan musik keroncong kepada masyarakat,”
lanjut Tinus.
Menurut Tinus, ada efek positif dari gelaran HNF pertama, salah satu indikasinya adalah musik keroncong mulai menjadi salah satu pilihan hiburan untuk acara-acara resmi, entah itu pemerintah maupun hajatan atau pesta masyarakat. Bahkan, salah satu grup musik asli Gunungkidul yang ikut HNF#1, yakni Rindhing Gumbeng, dari Kapanewon Ngawen pada momen 17 Agustus kemarin sempat diundang untuk pentas di Istana Negara.
“Teman-teman komunitas sekarang menjadi lebih semangat berkarya, pada event HNF#2 sekarang, kami terpaksa harus menolak beberapa teman grup musik yang ingin berpartipasi karena keterbatasan waktu,” imbuh Tinus.
Guntur Susilo, ketua Panitia HNF#2 menuturkan, Gugur Gunung Art Project sebagai penggagas agenda HNF terinspirasi dari semangat gotong royong (gugur gunung) yang merupakan budaya masyarakat Gunungkidul.
“Untuk tema HNF#2 adalah Holopis Keroncong Baris, yang mempunyai makna semangat meraih tujuan dengan kebersamaan,”
kata Guntur.
Pada Sabtu sore, 1 Oktober 2022, HNF#2 kembali digelar di Taman Kota Wonosari. Dua buah panggung musik dan satu panggung peragaan busana disiapkan untuk menghibur masyarakat yang datang.
Puluhan stand dari Komunitas Pasar Ekologis Argowijil yang menyajikan menu tradisional Gunungkidul tampak berjajar rapi. Pada latar belakang panggung utama, juga tampak puluhan seniman rupa yang sedang menggarap project mural.
Meski sedikit ada kendala karena hujan yang mengguyur pada sore hari, tapi HNF#2 tetap bisa dilaksanakan dengan meriah dan sesuai rencana.
“Iya, pas pembukaan terhalang hujan, tapi alhamdulillah, agenda tetap bisa berjalan dan pengunjung yang datang juga lumayan,” kata Guntur.
“Untuk agenda ke depan, kami Ingin mengeskplore desa-desa di seluruh Gunungkidul. Jadi HNF rencananya akan kami gelar dari desa ke desa, agar seluruh masyrakat bisa ikut berpartisipasi pada agenda HNF. Ini juga untuk terus melestarikan spirit ‘gugur gunung’ sebagai budaya Gunungkidul,” pungkas Guntur.