Lingkungan(rebowagen.com)– Sirih (Piple betle linn) adalah tumbuhan yang tentu sudah tidak asing lagi dalam kehidupan keseharian kita. Bagian tubuh dari tumbuhan merambat ini yang paling sering digunakan adalah daunnya. Meski sebenarnya, semua bagian tumbuhan ini mempunyai khasiat dan beragam manfaat untuk kesehatan.
Tanaman sirih tergolong cepat dan mudah beradaptasi. Terlebih lagi di lingkungan yang tanahnya selalu basah atau sekedar lembab. Sudah jaminan tanaman sirih akan tumbuh dengan subur dan sehat, tanpa perawatan khusus.
Sirih memang sangat erat dengan budaya masyarakat. Tidak hanya di Jawa, penggunaan sirih dalam keseharian, maupun ritual adat tertentu hampir merata di seluruh Indonesia. Orang tua dulu banyak yang mempunyai kegemaran mengunyah sirih dengan kapur atau buah pinang. Selain itu, sirih juga mempunyai beragam khasiat untuk kesehatan kita.
Sirih dan seni wayang purwa
Wayang kulit purwa adalah seni yang memuat tuntunan (makna ilmu), tatanan (kerapian), dan tontonan (hiburan). Dalam pementasan wayang sering sekali mengungkapkan karakter tokoh-tokohnya dengan filosofi perumpamaan daun sirih.
Tokoh Prabu Sri Bathara Kresna dan Raden Arjuna adalah dua orang tokoh yang menjalani hidupnya dengan kewajiban darma bakti Bathara Wisnu. Ditinjau dari lakon “Lampahan Tumuruning Wisnu” yang dibawakan oleh Almarhum Ki Dhalang Sena Nugraha, menjabarkan sifat Bathara Wisnu yang terbelah menjadi dua bagian.
Sifat Wisnu Nara adalah sifat Bathara Wisnu yang memuat kepandaian berperang yang sulit tertandingi, sakti mandraguna, kuat fisik dalam bertapa dan berjalan jauh, serta dianugrahi menjadi “Sotyaningrat“. Artinya kesatria tampan yang digambarkan berkilauan seperti mata cincin, sebagai perhiasan dunia.
“Lelananging jagat” artinya figur pria yang begitu diidamkan menjadi pendamping hidup para wanita, putri raja sampai para bidadari kahyangan.
“Lancuring Bawana” artinya kesatria berbadan halus tiada cacat, tutur kata yang lembut, kulitnya mulus melebihi para dewa. Sifat ‘Wisnu Nara’ menjadi milik Raden Arjuna.
Sifat ‘Wisnu Murti‘ menjadi anugerah untuk Raden Narayana atau Prabu Sri Bathara Kresna. Sifat Wisnu Murti meliputi, mengerti semua kejadian di dunia secara gaib. Dikabulkan segala keinginannya walau masih dalam angan. Memiliki kekuasaan menata kejadian di dunia agar menjadi baik dan pandai dalam bernegosiasi politik.
Dalam beberapa adegan wayang kulit Purwa, Raden Arjuna selalu berdampingan dengan Prabu Sri Bathara Kresna, mulai saat mereka masih muda hingga akhir perang agung Baratayudha. Kata yang sering muncul dari Prabu Sri Batara Kresna kepada Raden Arjuna adalah:
“Kresna lan Arjuna pancen ora bisa pisah, ibarat godhong suruh lumah klawan kurepe, Yen dinulu seje rupane, nanging yen ginigit dadi tunggal rasane“,
(Kresna dan Arjuna memang tidak bisa terpisah, seumpama permukaan daun sirih atas dan bawah, jika dilihat berbeda wujudnya, namun jika dikunyah akan menjadi satu rasa).
Dua tokoh ini sangat sering dikisahkan, karena keduanya banyak mengandung ilmu dan tauladan yang baik. Keagungan dua tokoh ini begitu menjadi favorit para penikmat kesenian wayang kulit. Dan, daun sirih dipakai untuk menggambarkan sifat keduanya. Sifat dan karakter Arjuna dan Kresna ibarat satu lembar daun sirih, bagian atas dan bawah, beda rupa satu rasa.
Suruh ketemu rose
Di rumah saya, di dekat sumur, tumbuh satu rumpun sirih yang sangat subur. Para tetangga banyak yang sering minta daun sirih dengan bebagai keperluan. Sore itu, Mbah Rubingan, seorang ‘sesepuh‘ pelatih seni Reyog Dhodhog bertamu ke rumah untuk meminta daun sirih. Biasanya, Mbah Rubingan dimintai tolong orang untuk beberapa keperluan khusus. Dan ketika membutuhkan syarat daun sirih, ia kemudian datang ke rumah saya.
Sebagai orang Jawa yang masih memegang teguh adat tradisi, Mbah Rubingan kemudian mengucapkan ikrar ‘nembung‘ (meminta izin) untuk meminta daun sirih berikut tujuan penggunaannya. Ikrar diucapkan untuk meminta ijin kepada pemilik pekarangan tumbuhnya rumpun daun sirih. Syarat ini akan ia gunakan sebagai sarana permohonan kepada Tuhan, agar niat orang yang meminta bantuannya bisa terkabulkan.
Sore itu, Mbah Rubingan berikrar untuk memetik daun sirih. Salah seorang saudaranya meminta bantuan agar putrinya yang akan melahirkan dikaruniai kelancaran dan keselamatan.
Setelah mendapatkan izin, Mbah Rubingan kemudian mencari daun sirih yang terbaik menurut pilihannya. Cukup lama beliau mencari di dalam rimbunnya rumpun sirih, namun hanya beberapa lembar saja yang berada dalam genggamannya. Karena penasaran model dan bentuk daun bagaimana yang diinginkan Mbah Rubingan, saya kemudian memetik satu lembar daun yang lebar, berwarna hijau segar, dan tanpa cacat sedikitpun.
“Niki mbah, godhonge sae niki (ini mbah, daunnya bagus ini) ” ucap saya, sembari menunjukkan daun sirih pilihan yang telah saya petik.
“Waduh, bukan yang seperti ini, kalau yang model begini, tidak usah lama lama mencari, semenit saja dapat sebongkok (satu ikat besar)” kata Mbah Rubingan, sambil sedikit tertawa.
“Saya mencari yang seperti ini, otot daunnya menyatu, sebutannya ‘godhong suruh tinemu rose” (daun sirih yang bertemu otot daunnya),” kata Mbah Rubingan sambil menunjukkan daun yang ia petik
Sambil mencari daun yang dimaksud, kami kemudian mengobrol banyak tentang makna dari ‘suruh ketemu rose‘ dan berbagai manfaat dalam kepercayaan adat tradisi Jawa.
Ternyata, ‘suruh ketemu rose‘ merupakan ‘sanepan‘ yang bermakna bagi orang Jawa. Daun sirih ini tidak hanya digunakan untuk membantu proses persalinan ibu bayi, namun juga untuk sarana berdoa atau untuk memulai menghitung hari baik. Bisa juga diartikan sebagai sarana menemukan yang belum bertemu (jodoh misalnya).
“Tinemu ros’ dapat dijabarkan ‘tinemu’ (bertemu), jika digunakan sebagai sarana berdo’a maka harus mempertemukan niat dan cipta. Sesudahnya menemukan usaha yang tepat, agar Gusti ‘ngijabahi’ (mengabulkan) doa-doa kita”
jelas Mbah Rubingan.
Budaya mengunyah daun sirih dan manfaatnya untuk kesehatan
Ingatan saya masih erat, saat Simbah Putri (nenek) masih ‘sugeng‘ (hidup). Beliau sering meminta untuk dipetikkan daun sirih untuk keperluan ‘nginang‘ atau menyirih. Simbah memang mempunyai kegemaran mengunyah sirih sampai akhir hayatnya. Saya tak perlu ragu dalam memetik daun sirih untuk ‘nginang‘ Simbah Putri. Daun tua dan muda semua biasa dikunyah oleh Simbah putri.
Jika diamati dengan teliti, daun sirih kebanyakan selalu utuh, tanpa termakan hama ulat maupun belalang. Seumpama seorang perokok, maka Simbah Putri termasuk penyirih berat. Setiap ada waktu senggang beliau duduk selonjoran, kemudian meracik daun sirih, gambir, ditambah batu kapur halus (enjet).
“Uler we ra wani mangan godhong suruh, aja meneh uler neng njero untu, wis ra bakalan wani (ulat saja tidak ada yang berani makan daun sirih, apalagi ulat didalam gigi, tentu lebih tidak berani),” canda Simbah. Dan memang terbukti, gigi Simbah Putri tetap utuh dan kuat sampai wafatnya.
Dilansir dari yankes.kemenkes.go.id daun sirih memiliki banyak sekali manfaat bagi kesehatan, diantaranya:
- Menyehatkan saluran pencernaan
- Menyembuhkan luka
- Menjaga kesehatan mulut dan gigi
- Mencegah infeksi
- Mencegah kanker
- Mengatasi masalah kewanitaan
Dan masih banyak manfaat untuk kesehatan lainnya.
hallosehat.com menulis, bahwa menyirih dipercaya baik untuk menjaga kesehatan gigi dan sistem pencernaan. Ini karena mengunyah daun sirih bisa memicu produksi air liur. Air liur mengandung beragam jenis protein dan mineral yang baik untuk menjaga kekuatan gigi serta mencegah penyakit gusi. Selain itu, air liur juga senantiasa membersihan gigi dan gusi dari sisa-sisa makanan atau kotoran yang menempel.
Sirih dan budaya
Saat bulan Maulud terdapat tradisi Sekaten di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad. Prosesi ini ditandai dengan dikeluarkannya gamelan sekaten ke ‘Pagongan’ Masjid Kauman Karaton Yogyakarta. Sambil mendengarkan lantunan gamelan Sekaten para hadirin mempunyai tradisi menyirih dengan racikan tambahan bunga kantil. Mereka percaya bahwa tradisi ini menyebabkan panjang umur.
Budaya mengunyah daun sirih masing-masing daerah memiliki beberapa perbedaan racikan. Kultur budaya masyarakat dan ketersediaan bahan tentu sangat mempengaruhi. Di Kabupaten Gunungkidul sangat jarang dijumpai orang orang yang menyirih dengan buah pinang, namun budaya menyirih dengan racikan buah pinang akan sangat mudah ditemui di wilayah yang lain.
Mengunyah sirih juga sering diartikan sebagai suatu ritual memulai atau pembuka dari suatu maksud tertentu. Ketika ada dua pihak yang akan berembug tentang suatu hal yang penting, daun sirih digunakan sebagai sarana/perlambang untuk memulai acara. Atau bisa juga diartikan, upacara mengunyah sirih adalah sebuah bentuk penghormatan, atau penyambutan tuan rumah kepada tamunya.
Dalam suatu fragmen wayang kulit Purwa, menggambarkan adegan seorang putra dari seorang pertapa yang mencintai putri raja yang cantik jelita. Putra Sang Resi meminta ayahnya melamar sang putri. Kalimat yang diucapkan Sang Resi juga menggunakan kata sirih dan gambir, “Ya tak dhodhogke korine, tak kinange suruh lan gambire, muga kaleksanan sedyamu“. (Ya, biar kuketuk pintu rumahnya, biar kukunyah daun sirih dan gambirnya, semoga terkabul keinginanmu).
Salah satu upacara adat yang sangat dekat dengan penggunaan sirih adalah ritual pernikahan. Ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa. Tetangga saya pernah menceritakan pengalamannya menikahkan putranya di Provinsi Jambi, Sumatera. Dalam prosesi penerimaan tamu, ada tradisi mengunyah daun sirih dan buah pinang sebagai ucapan selamat datang. Rombongan tetangga saya dari Gunungkidul, baik laki-laki atau perempuan, meski tak terbiasa mengunyah sirih dan racikannya, dengan setengah terpaksa harus mengikuti tradisi ini. Menurut kepercayaan adat tuan rumah, penyambutan mengunyah sirih ini mempunyai makna untuk saling mengakrabkan antar dua keluarga.
Di ritual adat upacara pernikahan masyarakat Jawa, daun sirih digunakan sebagai syarat penolak bala. Diwujudkan dalam bentuk, satu lembar daun sirih dilumuri sedikit kapur enjet, kemudian digulung diikat menggunakan benang lawe atau kapas yang ditarik memanjang (gantal).
Pada prosesi acara, saat kedua pengantin bertemu dari kejauhan, Paes (juru rias atau dukun pengantin) mengisyaratkan untuk pasangan pengantin agar saling melempar gulungan ‘gantal‘.
Cerita tutur kuno mengkisahkan, pengantin wanita dicuri mahluk gaib yang menyerupai wujud suaminya. Tradisi ‘balang gantal’ ini mempunyai tujuan mengusir roh jahat yang akan mengganggu jalannya pernikahan kedua mempelai, dengan cara melempar gulungan gantal ke badan pengantin. Gantal kerap disandingkan dengan pisang raja. Buah pisang raja memperingati pengantin sebagai raja di hari itu, dan gulungan ‘gantal‘ dipercaya sebagai syarat permohonan kepada Tuhan, agar dijauhkan dari segala marabahaya.