Sampah adalah produk residu dari aktivitas manusia. Rendahnya kesadaran pengelolaan sampah sering menjadi awal problematika lingkungan dan berimbas pada kenyamanan kehidupan secara umum
Lingkungan(rebowagen.com)– Berbagai aktivitas produktif manusia, baik itu bentuk usaha ekonomi maupun aktivitas sehari-hari banyak yang akhirnya memproduksi sampah. “Sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan atau tidak bermanfaat setelah berakhirnya suatu proses” begitu deskripsi Wikipedia.
Secara umum, sampah dibagi menjadi dua, yakni organik dan anorganik. Organik adalah sampah yang dapat diurai (degradable). Contohnya sisa makanan, sayuran atau daun-daun kering. Penguraian atau daur ulang sampah jenis ini bisa secara alami maupun campur tangan manusia. Yang kedua adalah sampah anorganik. Jenis ini tidak dapat diurai (undergradable). Bahan kemasan makanan berupa plastik, kertas, botol, kaleng paling banyak mendominasi. Sebagian dari sampah anorganik biasa dipulung karena masih memiliki nilai jual. Namun yang tidak bisa dijual juga lebih banyak menumpuk dan mencemari lingkungan.
Penanganan sampah memang harus sejalan dengan perilaku dan kesadaran masyarakat secara umum. Membuang sampah sembarangan, ketika sudah menjadi budaya atau kebiasaan sangat berimbas pada kelestarian alam. Kita bisa melihat hal ini banyak terjadi di kota-kota. Bagaimana sungai menjadi tempat pembuangan sampah umum. Tentu hal ini menjadikan ekosistem sungai menjadi rusak. Air menjadi kotor dan berbau. Tak ada biota yang bisa bertahan. Sampah juga mengakibatkan pendangkalan, sehingga banjir menjadi suatu hal yang biasa dan seperti tak ada solusi karena terjadi setiap tahun.
Kesadaran setiap warga akan pentingnya menangani sampah dengan baik memang menjadi kunci penanganan masalah ini. Adalah Jumirah (52), seorang ibu rumah tangga warga Padukuhan Jati Kuning, Kalurahan Ngoro Oro, Kapanewon Patuk, Gunungkidul. Berawal dari keprihatinannya terhadap bau kandang ayam yang sangat mengganggu, Ibu rumah tangga ini tergerak hatinya untuk belajar menangani masalah sampah. Hingga saat ini, Jumirah berhasil memproduksi Eco Enzim dari sisa sayur dan kulit buah. Tak hanya itu, ia dan ibu-ibu tetangganya juga memproduksi berbagai hiasan indah berbahan sampah plastik.
“Eco Enzim adalah cairan yang dibuat dari sisa sisa sayuran yang tidak bisa dimasak. Ditambah kulit atau buah buahan yang difermentasi selama tiga bulan,” kata Jumirah mengawali obrolan kami.
Manfaat dari Eco Enzim ini menurutnya sangat banyak, diantaranya mengurangi bau sampah, sebagai cairan pembersih lantai keramik, dan bisa juga dijadikan alternatif untuk obat luka atau gatal gatal.
“Awalnya lingkungan disini itu merasa sangat terganggu dengan bau tumpukan sampah, dan bau tak sedap kotoran ayam dari peternakan ayam broiler,” kata Jumirah menceritakan awal ia berinisiatif melakukan hal ini.
Saat saya kerumahnya, Jumirah dan ibu ibu lainnya tampak sedang sibuk mencuci sisa sayur sayuran, dicampur berbagai kulit buah buahan. Mereka sedang mempersiapkan proses fermentasi untuk membuat Eco Enzim ini.
Melihat saya yang begitu tertarik, secara bergantian, mereka kemudian dengan senang hati membeberkan teknik atau cara-cara membuat Eco Enzim.
“Tidak ada resep yang dirahasiakan, kami malah senang jika ibu-ibu rumah tangga yang lain juga melakukan hal yang sama. Ini adalah hal sederhana yang gampang dilakukan namun banyak sekali manfaatnya,” sahut seorang ibu yang lain.
Begini tips membuat Eco Enzim yang saya sarikan dari keterangan Jumirah dan ibu-ibu yang lain.
Langkah pertama, sisa sayuran dan kulit buah yang masih segar dicuci sampai bersih. Setelah itu di potong menjadi kecil-kecil.
Potongan-potongan ini kemudian dimasukkan dalam tong atau botol tebal bekas air mineral.
Kemudian ditambahkan tetes tebu atau bisa juga diganti dengan gula jawa atau gula aren.
Lalu terakhir ditambah air dari sumur. Kalau pakai air PAM harus diendapkan dulu selama 24 jam.
“Teknisnya cukup sederhana, namun perlu diperhatikan takaran dari bahan-bahannya,”
“Perbandingan bahan-bahannya, satu kg tetes tebu atau gula jawa, dicampur dengan 3 kg sisa buah dan sayur yang masih segar. Setelah itu, masukkan dalam botol tebal dicampur dengan 10 liter air bersih. Diamkan selama 3 bulan,” terang Jumirah lagi.
Ia menambahkan, dalam proses fermentasi, campuran ini akan menghasilkan gas. Sehingga menjadi penting botol bekas yang digunakan harus tebal. Selain itu, secara berkala, pada bulan pertama fermentasi, tutup botol harus dibuka untuk membuang gas.
Setelah tiga bulan, cairan akan kelihatan berwarna coklat pekat kehitaman. Eco Enzim ini sudah dalam kondisi siap digunakan. Untuk menghilangkan bau tak sedap dari ‘peceren’ (got), kandang ayam atau sumber bau yang lain, Eco Enzim dicampur air lalu disemprotkan berkala tiga hari sekali.
Cairan ini juga bisa untuk campuran pembersih lantai atau pel. Juga bisa untuk obat luka bakar atau gatal-gatal pada kulit.
“Lumayan, kalau ngepel tidak harus beli pembersih lantai, bisa ngirit anggaran belanja rumah,” ujar Jumirah dengan tersenyum.
Ia melanjutkan, tidak semua sisa sayur sayuran bisa di fermentasi menjadi Eco Enzim. Ada beberapa yang harus dihindari, diantaranya sawi, kobis, kulit alpukat atau kakao. Untuk jenis kulit buah gampang ditemui sehari hari jenisnya bisa kulit pisang, kulit pepaya, bongkot kangkung, kulit buah naga dan kulit jeruk.
“Minimal 5 jenis, lebih gak apa apa,” terang Jumirah lagi.
Bersama ibu-ibu yang lain, saat ini, Jumirah secara rutin memproduksi Eco enzim. Sering ada beberapa pihak yang pesan atau minta diajari cara pembuatannya. Eco Enzim adalah daur ulang sampah organik yang ternyata memiliki banyak manfaat, mudah, praktis dan bisa dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga. Hal ini juga bisa menjadi salah satu solusi tentang sampah organik rumah tangga, yang biasanya hanya dibuang dan berbau di tempat sampah.
Selain mengolah sampah organik, Jumirah juga kreatif memanfaatkan sampah anorganik, terutama sampah plastik. Di tangannya, bungkus makanan dan minuman dari plastik ini ia rubah menjadi produk hiasan kriya yang indah dan juga barang-barang fungsional seperti sandal jepit, vas bunga, taplak meja dan yang lain. Contoh berbagai kerajinan tampak tertata rapi di ruang tamu.
“Kadang kalau ada kesempatan, saya biasa memamerkan kerajinan ini di acara-acara pameran dan tanggapan pengunjung cukup baik,” imbuh Jumirah.
Sebagai kader pemberdayaan masyarakat, Jumirah juga rajin mengajak warga yang lain untuk peduli pada lingkungan masing-masing. Ia juga sering diundang untuk memberikan materi pelatihan pengolahan sampah di luar Kapanewon Patuk.
Jumirah mengaku senang bisa berbagi sedikit kemampuannya. Ia mengatakan bahwa sampah adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Tapi jika ditangani dengan benar, akan bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
Pembuatan Eco Enzim ini memang masih dalam skala rumah tangga. Namun hal ini tentu bisa direplikasi dalam skala yang lebih besar. Sisa-sisa sayur atau buah di pasar, rumah makan, atau Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) jika dikumpulkan bisa diolah menjadi Eco Enzim massal. Meski hal ini tentu tidak mudah, karena dibutuhkan peran dan kesadaran banyak pihak.
“Jika kita kreatif, sampah yang biasanya hanya dibuang dan mengotori lingkungan ternyata bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat,” pungkas Jumirah mengakhiri obrolan kami.