Daftar isi
Budaya(rebowagen.com)- Arti kata takhayul sering diartikan berbeda bagi setiap orang, bangsa ataupun agama di berbagai belahan dunia. Meski begitu, secara umum pengertiannya hampir sama, yakni kepercayaan terhadap ‘eksistensi‘ dari sesuatu yang tidak tampak, atau tak kasatmata. Dalam sejarah peradaban manusia di berbagai belahan bumi, keyakinan ini ada dan berkembang sesuai versi masing-masing. Kepercayaan terhadap takhayul adalah bagian dari budaya peradaban manusia sebagai makhluk sosial dan spiritual. Alam tempat hidup, atau geografis masing-masing akan menentukan jenis atau takhayul yang berkembang atau dipercaya di daerah itu. Takhayul sering diartikan sebagai sebuah larangan, aturan tak tertulis yang tabu jika dilanggar, ataupun kepercayaan terhadap sesuatu yang tak masuk akal atau tidak bisa dibuktikan dengan logika.
Merujuk pengertian takhayul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan bahwa:
- Takhayul adalah suatu hal yang tidak nyata atau hanya ada dalam khayalan saja.
- Kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tapi sebenarnya tidak ada atau tidak sakti.
Bahasa Inggris menyebut takhayul sebagai ‘superstition‘, sedang dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘Al-khuraĆ¢fa‘, yang diartikan sebagai sesuatu yang hanya berdasarkan khayalan belaka. Menurut Encyclopedia Britannica, takhayul diartikan sebagi suatu hal yang tidak tampak, tidak rasional atau tidak logis.
Mengutip Wikipedia, secara ‘etimologi‘ kata takhayul dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti ‘menerbangkan burung’. Kata ini diserap secara salah kaprah di Indonesia, karena secara ‘terminologi‘ bahasa Arab, kata ini hanya diperuntukkan untuk sebuah kepercayaan yang menganggap sial segala sesuatu dengan melihat arah terbang sekelompok burung. Sedangkan dalam ‘terminologi‘ bahasa Indonesia, arti kata takhayul lebih ke kata ‘Khurafat atau Al-khuraĆ¢ffa‘ yang berarti sebuah cerita dongeng atau khayal.
Melansir dari Zenius, takhayul dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni agama, budaya dan individual. Diterangkan bahwa dalam agama, takhayul bisa muncul dalam bentuk ritual-ritual atau kebiasaan yang diyakini baik dan perlu dilakukan. Karena sifat takhayul yang tidak masuk akal, maka orang yang tidak sependapat atau lain keyakinan, mungkin akan mengatakan ritual itu ‘hanya takhayul’.
Takhayul juga muncul dalam budaya sehari-hari. Orang tua dulu sering menasehati kita tentang ‘wewaler‘ atau batasan dan berbagai aturan tak tertulis. ‘Wewaler’ itu dipercaya untuk mencegah kemalangan, menghalau sakit, mendatangkan rejeki dan yang lainnya. Kebalikannya, ‘wewaler‘ yang dianggap tabu, jika dilanggar akan mengakibatkan suatu kesialan. Takhayul juga dipercaya banyak individu. Misal, tentang kepercayaan seseorang terhadap suatu benda yang dianggap sebagai ‘jimat‘ yang bisa mendatangkan keberuntungan. Atau seseorang yang melakukan ‘laku‘, menahan diri untuk tidak melakukan pantangan-pantangan tertentu yang dipercaya akan mempengaruhi kehidupannya.
Stuart Vyse, seorang psikolog dan penulis yang melakukan kajian terhadap takhayul dan pemikiran kritis menjelaskan secara rinci hasil penelitiannya ini melalui video TED-Ed (2017). Ia menyatakan bahwa takhayul bisa berasal dari suatu agama atau kepercayaan, atau dari pengasosiasian suatu hal buruk yang kebetulan terjadi. Mengutip penjelasan Profesor Jane Rinsen di Medical News Today (2019).
“Sebetulnya manusia mempunyai kemampuan untuk menyadari bahwa takhayul yang mereka percaya tidak masuk akal. Tapi, biasanya orang-orang tetap memilih untuk mempercayainya,” tulis Profesor Jane.
Seorang Profesor Psikologi, Don Saucier, pernah menyatakan, alasan manusia membuat dan mempercayai takhayul sebenarnya adalah karena manusia mencoba untuk mengontrol masa depan mereka. Itulah kenapa takhayul dipercaya selalu bersifat menghindarkan sesuatu yang buruk dan mendatangkan hal yang baik.
1 Takhayul, mitos dan upacara adat
Pengertian dari ketiga hal ini, sekarang sering campur aduk dan digeneralisasi. Dari berbagai referensi, saya mencoba mengartikan definisi ketiganya. Setiap orang tentu akan mempunyai pendapat, pengertian dan kepercayaan yang berbeda. Perbedaan ini adalah hak masing-masing, merupakan kekayaan pemikiran, dan itu bukan suatu hal yang ‘negatif’ sebatas tidak berebut paling benar atau saling menyalahkan.
Perbedaan utama antara mitos dan takhayul terletak pada kenyataan bahwa yang satu adalah cerita, sementara yang lain adalah kepercayaan. Sedangkan upacara adat adalah suatu bentuk acara yang dilakukan dengan bersistem, dihadiri oleh masyarakat secara penuh, sehingga dinilai dapat membuat masyarakat merasa ada kebangkitan dalam diri mereka (Koentjaraningrat,1992).
Upacara adat mengandung maksud, arti dan tujuan yang berkenaan hubungan manusia dengan alam, leluhur, makhluk lain dan Tuhan. Upacara adat juga berfungsi untuk merawat semangat sosial dan nilai-nilai di tengah masyarakat. Dalam prakteknya, upacara adat tertentu memang terhubung dengan hal berbau mitos dan takhayul (dalam tanda kutip).
Mitos dapat diartikan sebagai legenda, cerita atau dongeng kuno dari sejarah awal yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa alam yang melibatkan makhluk ghaib. Contohnya adalah kepercayaan terhadap dewa-dewa yang membangun peradaban Yunani kuno. Di Jawa, ada banyak sekali mitos yang sampai saat ini masih dipercaya. Contohnya tentang Ratu Pantai Selatan, Roro Jonggrang, Dewi Sri, Semar, asal muasal Rawa Pening, gunung-gunung atau tempat-tempat tertentu di wilayah pulau Jawa.
Mitos memang sering terkait dengan cerita tutur tentang asal usul sebuah tempat atau tokoh. Dalam sebuah mitos dapat terdiri dari dewa-dewa, supranatural, asal-usul alam semesta, pahlawan manusia, atau masyarakat tertentu yang bertujuan untuk melanjutkan, serta menstabilkan kebudayaan. Memberikan pedoman dan makna hidup, dan modal pengetahuan guna memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang sulit dijelaskan dengan akal pikiran. Mitos juga banyak mengajarkan tentang sebuah pesan moral.
Sedang takhayul dapat didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan pada pengaruh supranatural atau tanda alam, kejadian atau peristiwa tertentu, yang dipercaya sebagai tanda akan sebuah musibah atau keberuntungan.
Beberapa contoh takhayul yang dipercaya diberbagai negara antara lain kesialan yang melekat di angka 13, kucing hitam sebagai firasat buruk, ular yang melintang di tengah jalan, larangan bersiul di malam hari, kejatuhan cicak dan banyak lagi yang lain.
Yang menarik, ada banyak takhayul di lingkungan kita yang mempunyai peran untuk membentuk karakter anak agar disiplin. Contoh bermain di waktu Maghrib akan diculik ‘wewe‘, tidak boleh makan di depan pintu karena akan sulit jodoh, makan harus habis, nanti nasinya menangis, jangan duduk diatas bantal, nanti bisa bisulan (ajaran tentang kesopanan), dan banyak lagi yang lainnya.
2 Berpikir logis tentang takhayul dalam upacara adat menjaga pohon
Generalisasi pemahaman terhadap takhayul, akhirnya membuat tradisi lokal yang berkenaan dengan budaya atau upacara adat menjadi salah satu yang dianggap sebagai sebuah takhayul di zaman modern ini. Di atas sedikit saya singgung, bahwa dalam tanda kutip, tradisi ini memang erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat ghaib, roh halus atau hal-hal yang tak kasatmata. Hampir di setiap daerah, dusun atau desa di Gunungkidul pernah atau masih ada tradisi upacara adat yang berkenaan dengan pohon besar (resan).
Hal ini sangat terkait dengan mata pencaharian masyarakatnya yang sejak dulu adalah petani. Korelasinya, pohon besar adalah penjaga ekosistem alam termasuk siklus hidrologi (air) di dalamnya. Dunia pertanian tentu terkait dengan tanah dan air yang menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Air menjadi salah satu unsur sumber kehidupan yang mendasar. Meminjam istilah teman saya Irsyad Mathias, pengajar Anthropologi di Universitas Brawijaya, kebutuhan akan air bagi masyarakat adalah suatu hal yang bersifat ‘primer’ atau ‘primanit‘.
Fungsi pohon sebagai penjaga air sangat dipahami oleh masyarakat dulu. Air yang keluar dari rahim bumi yang berwujud mata air dianggap sebagai zat yang ‘das‘ (suci). Sesuai fungsinya, air dianggap sebagai salah satu dari unsur dasar kehidupan yakni ‘bumi, geni, banyu lan angin‘ (tanah, api, air dan udara). Dengan fungsi air yang begitu pokok bagi kehidupan, mereka kemudian melakukan bentuk penjagaan terhadapnya. Penjagaan ini akhirnya menjadi sebuah budaya yang berwujud menjadi tradisi, ritual, atau upacara adat yang dilakukan secara turun temurun. Lokasi mata air (tuk, sendang, belik, beji, kedhung dll), beserta pohon besar (resan) penjaganya sangat dihormati, sehingga keberadaan air bisa lestari dan selalu terjaga.
Orang dulu selalu memberi ‘wewaler‘ atau pantangan agar hati-hati dalam bertindak atau bersikap saat berada di dekat pohon besar yang dikeramatkan. Dikatakan bahwa pohon besar ada ‘penunggunya’, ‘dhanyang‘, atau makhluk ghaib yang menghuninya. ‘Wewaler‘ itu sebenarnya adalah sebuah ‘tekhnologi’ pada zamannya. Dengan kepatuhan masyarakat untuk tidak ‘nerak wewaler‘ (melanggar), maka kelestarian pohon-pohon besar beserta sumber air yang dijaganya akan aman. Jangankan merusak atau menebang, masyarakat akan berhati-hati, memperlakukan dengan baik dan menghormati tempat-tempat seperti ini.
Pohon besar juga mempunyai fungsi sebagai ‘petunggon‘ atau monumen hidup bagi suatu wilayah. Keberadaannya sering menjadi ‘cikal bakal’ atau asal usul nama (toponim) dusun atau desa. Tercatat, dari 1416 dusun di 144 desa di Kabupaten Gunungkidul, ada 400 lebih nama dusun atau desa yang menggunakan nama pohon atau berkenaan dengan air.
Pohon besar ada atau ditanam oleh leluhur sebagai penanda suatu wilayah. ‘Penunggu ghaib’ atau ‘dhanyang‘ yang dimaksud sebetulnya dapat kita artikan sebagai ‘ruh’ atau spirit perjuangan leluhur dalam ‘babad alas’ menyiapkan masa depan anak cucu. Ruh atau spirit ini kemudian ‘disemayamkan’ atau ‘ditandakan’ pada pohon besar (pohon berfungsi sebagai monumen hidup). Dengan kita menjaga ‘monumen’ hidup ini, maka spirit perjuangan yang diwariskan oleh leluhur akan menjadi semangat bagi kita saat ini untuk membangun tanah kelahiran.
Banyak hal lain yang dianggap ‘ghaib’ tentang pohon yang bisa di logika. Contoh, pohon dikenal mempunyai fungsi ekologi atau lingkungan. Kita ketahui bersama bahwa pohon mempunyai kemampuan untuk menyerap CO2 (karbon dioksida), kemudian mengolahnya dalam proses fotosintetis lalu mengeluarkan menjadi O2 (oksigen). Fungsi vital Oksigen dalam kehidupan tentu semuanya tahu dan tidak usah saya terangkan. Contoh lainnya adalah fungsi akar pohon yang tersembunyi dalam tanah. Kerja-kerja akar adalah kerja ‘ikhlas’ dalam arti yang sesungguhnya. Akar bekerja dalam diam, tidak tampak dan tidak ada yang tahu. Tetapi kita bisa melihat hasil kerja dari akar, yaitu batang yang kokoh, daun yang hijau, bunga yang indah, buah yang lezat dan lain sebagainya.
Akar juga berfungsi menyerap dan menyimpan air sebagai cadangan air tanah. Selain itu, akar juga mempunyai peran menjaga ekosistem tanah. Mikroorganisme dengan jumlah tak terhitung hidup dan berkembang di dalam tanah sebagai penyusun unsur hara, menciptakan kegemburan dan kesuburan. Karbon, Oksigen, siklus hidrologi, mikroorganisme, bukankah semua itu adalah hal-hal yang bersifat ‘ghaib’ dan tak kasatmata?
3 Sajen dan ritual
Ikatan hayat yang begitu dekat antara manusia dengan air, tanah, hewan, pohon beserta alam sebagai ruang hidup bersama, akhirnya menjadi suatu hubungan yang bersifat batin (spritual). Saling ketergantungan diantara elemen-elemen itu menciptakan sebuah ikatan yang harmonis dan telah berlangsung lama. Hubungan antara mereka akhirnya melebur menjadi satu kesatuan dengan ‘Keilahian Sang Hayat‘ , Dzat yang memiliki seluruh kehidupan.
Orang Jawa mengenal konsep ‘jagad cilik‘ dan ‘jagad gedhe‘, dalam bahasa sekarang mikro dan makrokosmos. ‘Jagad cilik‘ dipahami sebagai diri manusia sendiri sebagai ciptaan Tuhan yang merupakan ‘miniatur’ dari ‘jagad gedhe‘ (alam semesta yang luas sebagai ruang hidup bersama).
Konsep ini jika dipahami secara lebih dalam adalah pemahaman orang Jawa tentang sebuah ‘balance‘ (keseimbangan). Tentang peran manusia yang sentral dalam tugasnya sebagai ‘khalifah‘ di muka bumi. Peran sentral yang dimaksud di sini bukan sebatas menempatkan manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek, tapi lebih bagaimana manusia harus memanfaatkan alam dengan cara yang bijaksana demi kelestarian dan kehidupan generasi selanjutnya.
Dalam setiap upacara adat, sesaji atau ‘sajen‘ memang selalu ada dan hadir sebagai syarat atau ‘sarana’. Pada dasarnya, ritual atau upacara adat adalah bentuk lain dari ‘peribadahan’ manusia kepada Tuhan. Ritual ini adalah doa permohonan, persembahan atau perwujudan rasa syukur yang ditujukan bukan kepada benda (pohon atau yang lain), tapi hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Sesaji sekedar sarana peribadahan, ‘ubarampe‘ yang dibawa berupa makanan setelah didoakan juga akan disedekahkan atau dibagikan kepada orang lain (wujud syukur dan berbagi).
Di Gunungkidul, upacara adat yang berkenaan dengan pohon atau sumber air, biasanya disebut ‘nyadran‘ atau ‘besik sumber‘. Inti dari acara adalah wujud syukur karena panen yang melimpah. Bisa juga do’a permohonan agar diturunkan hujan, kesuburan tanah, tanaman pertanian dijauhkan dari segala macam penyakit, sehingga kemakmuran masyarakat bisa terwujud. Mungkin ada yang berpendapat, bahwa berdoa kepada Tuhan itu lebih baik langsung tanpa melalui perantara atau ritual tertentu. Pendapat itu boleh dan tidak ada yang menyalahkan, tapi kita bisa melihat fungsi upacara adat dari sisi yang lain. Fungsi sosial misalnya, dimana upacara adat adalah bentuk interaksi dan kohesi sosial yang kuat antar warga. Di acara ini akan terjalin komunikasi, silaturahmi, musyawarah, kerukunan, gotong royong dan banyak lagi yang lain. Upacara adat adalah sebuah bentuk budaya komunal dalam menjaga alam, melestarikan nilai-nilai luhur dan yang paling penting mempertahankan identitas diri masyarakat dari pergeseran budaya dan zaman.
Membahas hal ini, saya jadi teringat obrolan dengan Mas Inu, Pemred Kompas.com beberapa waktu lalu. Ia berpendapat bahwa mengumpulkan, mengarsipkan dongeng dan mitos-mitos yang kita miliki adalah sebuah strategi yang harus dilakukan saat ini agar bisa bertahan sebagai sebuah bangsa yang mempunyai identitas.
“Kesadaran, keyakinan besar banyak diawali dengan sebuah dongeng. Dengan mengarsipkan, mendongengkan, serta menceritakan kembali dongeng dan mitos yang kita miliki, maka hal itu akan mempersempit jarak, mendekatkan kita kembali kepada nilai-nilai moral identitas diri. Value bisa tercapai ketika dijalani terus menerus agar menjadi suatu kebiasaan,” kata Mas Inu.
Lebih jauh, saya juga teringat perkataan almarhum Profesor Imanuel Subangun. Beliau berpendapat bahwa mitos ‘Ratu Adil‘ dan ‘Satria Piningit‘ adalah strategi politik terakhir nenek moyang kita untuk bertahan hidup dari penjajahan.
“Mitos itu diciptakan, saat bangsa ini telah kehilangan segalanya. Bayangkan, ratusan tahun dalam cengkeraman penjajah tanpa ada perubahan nasib. ‘Ratu Adil’ dan ‘Satria Piningit’ adalah tokoh ‘fiktif’ yang diciptakan agar nenek moyang kita tetap kuat bertahan dalam penindasan. Mereka kemudian menciptakan mitos tentang sosok pemimpin yang diyakini akan hadir pada masa depan. Sosok ini dipercaya akan membawa bangsa ini mencapai kejayaan. Hanya rasa percaya dari harapan inilah yang membuat mereka bisa terus bertahan hidup,”
(Imanuel Subangun).