Lingkungan (rebowagen.com)– Dua orang anak kecil, siang itu tampak berjalan menyusuri tepi Telaga Bacak dengan menenteng pancingan. Salah seorang yang dipanggil Fatur tangan kirinya memegang plastik yang berisi dua ikan mujaer kecil sebesar jari. Keduanya seperti tidak menghiraukan cuaca panas di musim pancaroba yang menyengat kulit. Wajah berbinar dan teriakan kegirangan pecah saat mata kail mereka mendapat ikan. Sebuah kegembiraan sederhana, kebahagiaan anak-anak yang terpancar dalam bayangan air telaga yang tampak mulai menyusut dan berwarna hijau.
Telaga Bacak sering disebut juga Telaga Blumbang Sari, terletak di Padukuhan Bacak, Kalurahan Monggol, Kapanewon Saptosari, Gunungkidul. Kendati debitnya turun drastis di musim kemarau, namun air telaga Bacak masih bisa bertahan sepanjang tahun.
Dari cerita orang tua disana, telaga ini dulu sempat mengering karena ‘luweng‘ yang terbuka. Berbagai upaya dilakukan untuk menambalnya, namun selalu gagal. Padahal air telaga Bacak digunakan banyak padukuhan di sekitarnya untuk keperluan sehari-hari. Akhirnya, warga masyarakat mengadakan ritual upacara adat dengan menumbalkan kepala kerbau untuk menutup ‘luweng‘. Dan sejak saat itu, air telaga Bacak bisa bertahan sepanjang tahun sampai saat ini.
Siang sungguh terik, panas matahari tanpa ampun menyengat kepala. Angin yang bertiup sepoi-sepoi tak mampu meredam cuaca gerah. Beruntung masih ada beberapa pohon besar di seputaran telaga Bacak. Tak kuat dengan hawa panas, saya berhenti mengikuti Fatur dan temannya, menyusuri tepi telaga untuk memancing ikan mujaer. Saya kemudian duduk di bawah pohon beringin, seteguk air mineral lumayan membasahi kerongkongan yang mulai kering.
Di bawah pohon, keadaan sungguh berbeda. Sejuk dan adem langsung menyambut. Dalam semilir angin yang begitu nyaman, tiba-tiba, aroma bau tak sedap menghampiri hidung. Celingukan mencari sumber bau, mata saya berhenti pada sosok bangkai ikan berwarna hitam di sela-sela rerumputan. Bangkai ikan itu masih utuh, hanya matanya yang hilang karena dimakan semut. Ikan itu ternyata adalah ikan sapu-sapu (plecostomus).
“Ikan sapu-sapu populasinya sekarang luar biasa di Telaga Bacak. Ikan Itu banyak yang menyangkut di kail pemancing, kemudian cuma dibuang dan jadi bangkai di seputaran telaga,” kata Taufik Nur Suratman, seorang pemuda Padukuhan Bacak yang siang itu menghampiri saya di telaga.
Menurut Taufik, pemancing memang tidak suka jika mendapat ikan sapu-sapu. Di samping karena bentuk tubuhnya yang sangar dan aneh, ikan ini diketahui berkulit/bersisik kasar dan keras. Dan, warga juga tidak tahu cara mengolah atau memasak ikan jenis ini.
“Ada yang bilang, dagingnya beracun, kalau saya sendiri tidak tahu, apakah ikan itu ada dagingnya atau tidak, kulitnya sangat keras, jadi kalau mancing kebetulan dapat, ya, dibuang saja,” imbuh Taufik.
Menurutnya, sejak ikan sapu-sapu ini marak berkembang biak di telaga, jenis ikan yang lain jadi semakin jarang populasinya.
“Bahkan, dulu pernah ikan ditabur di telaga untuk event pemancingan, pas pemancingan dibuka, para pemancing kecewa karena yang mereka dapat kebanyakan hanya sapu-sapu,” lanjutnya.
Sejak itu, Telaga Bacak tak pernah lagi ditabur ikan untuk pemancingan. Padahal sebelumnya, pemancingan berbayar ini rutin diadakan dan dikelola oleh Karang Taruna. Pada akhirnya, keberadaan ikan sapu-sapu juga semakin tak terkendali.
Taufik sendiri mengaku tidak tahu darimana ikan itu berasal dan sejak kapan berkembang biak di Telaga Bacak. Sebelumnya, Telaga Bacak dikenal banyak dihuni ikan jenis mujaer, lele lokal, cethol, udang dan kepiting. Ada juga ikan sisa pemancingan, seperti tawes, nila atau tombro.
“Mungkin dulu bibit sapu-sapu ikut dalam taburan benih ikan, atau memang ada yang sengaja melepasnya di telaga, tapi ya entahlah, saya sendiri tidak tahu,” ujar Taufik bingung.
Ikan sapu-sapu juga sering disebut ‘plecostomus’, ‘pleco’, atau ‘plecs’ (ikan mulut terlipat). Spesies ini bukan asli/endemik Indonesia, melainkan berasal Amerika Selatan. Sampai saat ini, ada 10 jenis varian dari sapu-sapu. Secara umum, ciri fisik sapu-sapu dapat dikenali dari kulit/sisiknya yang keras dan kasar, berwarna coklat cenderung hitam dengan variasi kekuningan atau kehijauan, dengan sirip punggung yang besar. Lubang mulutnya terletak dibawah kepala.
Orang Gunungkidul sering menyebut ikan ini sebagai ‘ikan indosiar‘. Ia dapat tumbuh sampai sepanjang 60 cm, dan memiliki usia hidup bisa mencapai 20 tahun. Sapu-sapu berkembang biak dengan cara bertelur yang diletakkan di lubang atau sela-sela batu yang tidak terkena air.
Diperkirakan, sapu-sapu masuk ke Indonesia sekitar tahun 1977. Pada awalnya, ikan ini banyak dicari untuk dijual sebagai ikan hias atau pembersih aquarium. Di Malaysia, sapu-sapu disebut ‘ikan bandaraya’ karena fungsinya sebagai ikan pembersih.
Sesuai dengan Permen-KP No. 41 Tahun 2014, tentang larangan pemasukan ikan berbahaya dari luar negeri ke wilayah Indonesia, sapu-sapu masuk dalam daftar 152 ikan invasif berbahaya. Selain sapu-sapu juga ada jenis Aligator, Arapaima gigas, Piranha, Peacock Bass dan banyak lagi yang lain.
Ikan ini masuk dalam family ‘lorycariidae‘, dengan nama ilmiah ‘Glyptoperichthys gibbriceps‘. Termasuk dalam jenis ikan omnivora (pemakan segala). Sapu-sapu masuk dalam kategori berbahaya karena sifatnya yang invasif (cepat berkembang biak) dan bisa hidup di segala jenis perairan di Indonesia.
Disampaikan oleh Agung, aktivis Wild Water Indonesia (WWI) Gunungkidul, jika populasi sapu-sapu tak terkendali, maka akan menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem perairan secara umum.
“Dampak ini bisa meliputi perubahan struktur lingkungan perairan dan gangguan rantai makanan. Juga bisa menyebabkan persaingan ruang hidup bagi ikan endemik, perubahan komunitas tumbuhan air, dan kerusakan pada alat tangkap ikan,” terang Agung.
WWI sendiri beranggotakan relawan-relawan yang peduli terhadap kelestarian ikan endemik. Mereka melakukan pendataan spesies ikan lokal dan juga merilis bibitnya ke perairan umum.
“Yang paling berbahaya jika populasi sapu-sapu ini sampai mengakibatkan populasi ikan ikan kecil endemik semakin berkurang bahkan hilang. Sapu-sapu ini jenis ikan yang tidak ada top predator alaminya,”
lanjut Agung.
Untuk perkembangannya di perairan Gunungkidul, Agung menyebut bahwa beberapa sungai kecil terutama yang berhulu atau melewati kota, keberadaan sapu-sapu sudah semakin marak dan menyebar.
“Telur sapu-sapu diletakkan di lubang, jadi sangat susah untuk pengendaliannya di alam. Paling dijaring, meski ini juga kurang efisien. Sampai saat ini, WWI memang belum memprogramkan agenda pemberantasan sapu-sapu” imbuh Agung.
Selain di Telaga Bacak, populasi sapu-sapu marak juga di beberapa telaga lain di wilayah Gunungkidul. Diantaranya Telaga Winong, Ngomang, dan Boromo. Telaga-telaga itu memang termasuk sisa-sisa telaga di Gunungkidul yang tidak pernah kering sepanjang tahun.
“Kalau di Telaga Boromo, saat ini sudah hampir tidak ada sapu-sapu. Telaga Boromo sempat terbuka luwengnya saat banjir besar badai Cempaka. Akibatnya, telaga kering dan sapu-sapu dengan jumlah yang banyak akhirnya mati,” kata Sukandar, seorang warga yang rumahnya dekat dengan Telaga Boromo.
Menurut Sukandar, populasi sapu-sapu memang pernah mendominasi Telaga Boromo dalam jangka waktu yang lumayan lama. Saat itu, populasi jenis ikan kecil lainnya menjadi sangat menurun.
“Awal masuknya waktu saya SMA, sekitar tahun 2000an, waktu itu di pasar ada yang menjual sapu-sapu untuk ikan hias, tidak tahu kok bisa masuk dan berkembang biak di telaga,”
imbuh Sukandar.
Melansir orami.co.id sebetulnya daging ikan sapu-sapu ini bisa dikonsumsi. Dengan catatan, harus dilihat dulu asal dari hewan ini hidup. Jika lingkungannya tercemar limbah, ikan sapu-sapu dikhawatirkan terkontaminasi zat-zat yang berbahaya, sehingga tidak layak konsumsi.
Dari jurnal penelitian logam berat (Cd, Hg dan Pb) pada ikan sapu-sapu di Sungai Ciliwung, didapat keterangan bahwa telah ditemukan kandungan logam berat dalam daging sapu-sapu yang berhabitat dari sana. Tingkat pencemaran sungai ini memang sudah di luar ambang batas.
Menurut orami co.id, daging sapu-sapu aman dikonsumsi jika tempat hidupnya bersih, entah di aquarium maupun kolam budidaya. Menurut jurnal penelitian ‘Pterygoplichthys Pardalis berbagai ukuran Sebagai Sumber Asam Lemak Esensial‘ berikut beberapa manfaat dari daging sapu-sapu yang tidak terkontaminasi
- Bisa mendetokfikasi tubuh
- Menurunkan kadar kolesterol dalam darah
- Menjaga kesehatan kulit
- Menghilangkan stres
- Menambah stamina tubuh
- Mengurangi peradangan
Meski ternyata daging sapu-sapu ada manfaatnya untuk kesehatan, namun bagi warga Gunungkidul, ikan ini tetap menjadi ‘monster alien‘ yang sulit diterima keberadaannya. Daging sapu-sapu yang ternyata berpotensi terkontaminasi racun, semakin membuat warga atau pemancing tidak berani untuk mengkonsumsinya. Sebagai ikan invasif, jika populasinya semakin tak terkendali, tentu dampaknya nanti akan mengancam kelestarian biota lokal endemik Gunungkidul.
Maraknya sapu-sapu yang berkembang di sungai dan telaga di Gunungkidul, tentu butuh kepedulian banyak pihak untuk upaya pengendalian ikan invasif ini. Paling tidak, dinas terkait memberikan sosialisasi terkait fungsi dan bahaya dari ikan sapu-sapu, sokur-sokur, ada solusi untuk pengendaliannya.