Lingkungan(rebowagen.com)— Dinamika politik Indonesia sejak kemerdekaan banyak mengalami situasi pasang surut. Begitupun yang terjadi di tahun 1998. Berawal dari krisis moneter, gelombang aksi demonstrasi besar-besaran akhirnya mampu menumbangkan kekuasaan rezim Soeharto. Presiden yang berkuasa selama 32 tahun ini menyatakan mundur dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998. Mundurnya Soeharto menjadi awal bangsa Indonesia memasuki babak baru yang sering disebut ‘era reformasi’. Namun, lahirnya reformasi harus dibayar mahal oleh masyarakat Indonesia. Huru-hara di berbagai kota besar terutama Jakarta adalah catatan hitam lembaran sejarah. Keadaan chaos yang memicu berbagai kerusuhan juga menelan banyak korban. Entah itu korban jiwa, materi maupun kekacauan di banyak sendi dan bidang kehidupan bermasyarakat.
Segala kekacauan tahun 1998 awalnya memang dipicu oleh krisis moneter dan berlanjut pada krisis ekonomi. Meski memang akhirnya hal ini menjadikan gelombang gerakan besar bermuatan politik. Harga-harga barang kebutuhan pokok naik tak terkendali. Kesulitan ekonomi dihadapi oleh semua lapisan masyarakat Huru hara, pembakaran, penjarahan, kriminalitas banyak terjadi di berbagai kota. Penegakan hukum juga sempat goyah. Keadaan ini akhirnya membuat masyarakat banyak yang menjadi nekad dan gelap mata.
Penjarahan hutan
Penjarahan tak hanya terjadi di kota-kota. Di sudut-sudut lain wilayah Indonesia, banyak warga beramai-ramai menjarah hutan produksi maupun konservasi milik negara. Mereka menebangi hutan dan menjualnya untuk kebutuhan hidup. Penegak hukum tak mampu berbuat banyak waktu itu. Keadaan chaos dan warga yang telah nekad membuat mereka lebih memilih untuk tak menindak pelanggaran ini. Penjarahan hutan juga banyak terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Salah satunya di kawasan hutan Sodong, wilayah hutan yang terletak di Kapanewon Paliyan.
Dulunya, hutan Sodong adalah wilayah hutan produksi milik Perhutani. Jenis tanaman jati, mahoni dan sonokeling banyak tumbuh di kawasan berbukit ini. Di tengah-tengahnya ada jalur jalan penghubung antar kecamatan, dan juga jalur ke wilayah pantai. Ada sebuah lukisan karya Franz Wilhelm Junghuhn yang menggelitik angan-angan saya untuk membayangkan keadaan hutan Sodong di masa silam. Junghuhn adalah seorang ilmuwan Jerman yang banyak melakukan penelitian di pulau Jawa. Pada tahun 1856, Junghuhn sempat singgah di Gunungkidul (Gunung Sewoe). Ia sempat melukis panorama tebing pantai Ngongap (Ngungap) di daerah Rongkop. Selain itu, ada satu ilustrasi/lukisan yang ada dalam buku karya Junghuhn ‘Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw’ yang identik dengan hutan Sodong. Pada karya ini tersaji pemandangan sebuah dinding bukit, yang di tengahnya ada jalan berbatu. Di pinggir jalan tergambar sebuah pohon dan seekor kera. Dengan beberapa kemiripan fitur, pikiran saya membayangkan kalau dalam lukisan ini, Junghuhn merekam panorama hutan Sodong, (ini hanya pikiran saya, karena di ilustrasi itu, Junghuhn tidak menyebut nama tempat).

Sampai saat ini hutan Sodong memang dikenal sebagai salah satu hutan konservasi kera ekor panjang (KEP). Wilayah ini menjadi salah satu kawasan Suaka Marga Satwa yang ada di Gunungkidul. Di dalamnya ada ratusan kera dari puluhan koloni yang menghuni sepanjang kawasan.
Namun, siapa yang menyangka hijaunya hutan Sodong sekarang sungguh sangat kontras dengan keadaannya sekitar tahun 2000an.
Pasca penjarahan masal, kawasan hutan Sodong keadaanya sungguh sangat memprihatinkan. Setelah pohon habis dijarah, kawasan kehutanan ini kemudian diolah oleh penduduk sekitar dijadikan lahan pertanian. Dari dokumentasi awal, memang tampak pemandangan yang sangat miris, dimana saat musim kemarau pemandangan kawasan hutan Sodong yang tampak hanya bukit berbatu cadas tanpa sedikitpun vegetasi yang tumbuh di atasnya.
“Perwakilan Yayasan Mitsui Sumitomo dari Jepang, saat pertama kali tiba disini sempat ada yang menangis, melihat keadaan hutan Sodong,” terang Gunawan Setyadi.
Gunawan adalah pendamping dari Yayasan Mitsui Sumitomo Jepang. Sejak tahun 2005, bekerja sama dengan BKSDA, Yayasan Mitsui Sumitomo berusaha mereboisasi kawasan hutan Sodong dengan menanam banyak jenis pohon. Meski hal ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Dengan menemui banyak sekali kendala, perjuangan setelah hampir 20 tahun ini sekarang sudah bisa dilihat hasilnya. Dari daerah yang betul-betul tandus, kawasan ini sudah tampak menghijau. Keanekaragaman hayati, flora dan fauna juga mulai bertambah secara signifikan.
Dokumentasi Foto Sodong tahun 2006 oleh Gunawan Setyadi.
Pagi itu saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Gunawan Setyadi. Saya memang sengaja berkunjung ke kantor Yayasan Mitsui Sumitomo di kawasan Suaka Marga Satwa Paliyan. Dari seorang teman di BKSDA, pembibitan milik yayasan berkenan menyumbang 300 bibit pohon konservasi ke Komunitas Resan Gunungkidul.
Ditemani segelas teh panas, Gunawan kemudian banyak bercerita tentang suka duka selama hampir 20 tahun menghijaukan kawasan hutan Sodong. Bapak dari tiga orang anak ini aslinya adalah warga Kabupaten Bantul. Setiap hari, ia berangkat ke Gunungkidul sekitar jam 7 pagi dari rumahnya.
“Saya itu memang jodoh rejeki di Gunungkidul. Sejak mahasiswa saya banyak melakukan penelitian di hutan Wanagama. Setelah lulus kemudian berkesempatan menjadi pendamping di program Yayasan Mitsui Sumitomo di Paliyan,” lanjut pria lulusan Fakultas Kehutanan UGM ini.
Menurutnya, program ini dimulai sejak tahun 2005 dan akan berakhir di tahun 2024 mendatang. Dari tahun itu hingga sekarang, sudah tertanam 30 jenis pohon dengan jumlah 324 ribu batang.
“Secara status, SK Kementrian Kehutanan untuk kawasan hutan Sodong, adalah kawasan hutan konservasi. Namun karena pembalakan liar di era reformasi, kawasan ini di ovukasi masyarakat dijadikan lahan pertanian. Nah, Yayasan Mitsui Sumitomo bersama BKSDA mempunyai tugas untuk mengembalikan hutan kembali ke fungsi awal,” lanjutnya.
Ia melanjutkan, awal cerita mengapa pihak Yayasan Mitsui Sumitomo mempunyai program reboisasi di Paliyan. Mulai tahun 2000, pengelolaan kawasan marga satwa diserahkan dari dinas ke kementrian pusat. Pemerintah melihat bahwa Kabupaten Gunungkidul sejak dulu terkenal sebagai daerah kekurangan air. Ditambah dengan masalah penjarahan hutan Sodong sampai habis tak tersisa. Hal ini membuat Kementrian Kehutanan merekomendasi CSR dari Mitsui Sumitomo untuk menyasar Kapanewon Paliyan sebagai salah satu programnya. Banyak faktor yang mendukung untuk itu, diantaranya wilayah ini berstatus kawasan Suaka Marga Satwa. Kemudian wilayah Paliyan adalah perbatasan dua zona di Gunungkidul, yakni Zona Ledoksari Tengah dan Pegunungan Seribu. Hal ini juga terkait dengan upaya ketersediaan air baku masyarakat. Diharapkan dengan menghutankan kembali kawasan, maka sumber cadangan air tanah akan meningkat.
“Di hutan Sodong ada 60 ‘punthuk’ (bukit), terbagi dalam 6 kawasan petak kehutanan, yakni petak 136 sampai 141. Ada 1450 petani penggarap dari 4 desa disekitaran kawasan,”
“Saat saya pertama tiba disini, sungguh keadaan sangat memprihatinkan. Jika penghujan masih lumayan, ada tanaman jagung, tapi jika kemarau, tak ada titik hijau sama sekali. Padahal status hutan ini adalah hutan konservasi, coba lihat ini dokumentasi awal saya,” kata Gunawan, sambil menggeser laptopnya agar saya bisa melihat foto-foto keadaan awal hutan Sodong.
Jujur saya miris sekali melihat foto-foto itu. Puluhan ‘punthuk’ bukit itu memang betul-betul gundul dan tandus. Yang tampak hanya tanah kering dan tonjolan batu karang. Sama sekali tak ada pohon atau semak. Merinding saya membayangkan jika keadaan pegunungan sewu semua menjadi seperti ini.
“Bisa kiamat,” kata Gunawan berseloroh. Saya mengangguk, tanda setuju. Dalam hati saya bisa merasakan, mengapa perwakilan Yayasan Mitsui Sumitomo sampai menangis melihat hal itu.
Memulai program penanaman
Pada tahun 2005, Yayasan Mitsui Sumitomo resmi memulai programnya di Paliyan. Sebagai pendamping program, Gunawan dan tim kemudian mempersiapkan kebun bibit untuk nantinya akan ditanam di kawasan. Ia mengaku, pada awalnya menyewa lahan di Wanagama seluas 1 hektar khusus untuk pembibitan. Wanagama dipilih sebagai tempat pembibitan pertimbangan utamanya terkait ketersediaan air untuk persemaian bibit. Kawasan hutan edukasi Wanagama memang sudah terbentuk sebagai hutan konservasi. Puluhan mata air muncul dan hidup di Wanagama dengan lestari.
“Konsep pertama kami di Paliyan adalah ‘Hutan Kebun’. Petani penggarap kami ajak untuk menanam tanaman buah. Semuanya kami biayai, nantinya hasil akan dimiliki oleh para petani sendiri,” terang Gunawan.
Program ini menurut Gunawan dijalankan dengan ‘Prinsip Kemitraan’. Dalam hal ini ada tiga unsur yang bermitra, yakni petani penggarap, pemerintah dan yayasan.
“Kita itu bermitra, istilahe ‘kanca kenthel’ atau teman dekat. Dari kemitraan diharapkan akan ada sistem kerjasama berkelanjutan yang akan saling memperkuat, memerlukan dan saling menguntungkan,” imbuhnya.
Teori memang tak semudah ketika dikerjakan. Pada tahun pertama, dari 16 ribu pohon buah yang ditanam, tak ada separo yang tersisa hidup ketika memasuki musim tanam kedua. Kendala yang dihadapi sangat beragam. Mulai dari kekurangan air sampai memang sengaja dimatikan. Menurut Gunawan, para petani penggarap lebih memilih tanaman jagung yang bisa dipanen dalam waktu singkat. Jadi banyak bibit pohon yang mati karena memang sengaja dimatikan. Pohon nantinya dianggap akan mengganggu tanaman jagung miliknya Padahal, sudah ditempuh strategi jarak tanam yang lebar, sehingga para petani masih bisa menanam jagung disela tanaman buah.
“Pas penanaman, perawatan, penyiraman petani kita upah harian. Tapi ya kembali kepada kesadaran para petani penggarap sendiri. Tanaman pertama kami hanya tersisa kurang dari 30 persen yang bisa bertahan,” terang Gunawan.
Gunawan dan tim sangat menyadari, bahwa hal seperti inilah kendala terbesar yang harus dihadapi. Jangankan pohon yang masih kecil, yang sekarang sudah besar juga tak luput dari tangan jahil. Dahan-dahannya sengaja dipotong untuk kayu bakar. Ketika kemarau diambil untuk pakan ternak, sehingga pohon akan sulit untuk tumbuh besar. Bahkan yang lebih parah, masih saja ada yang mendongkel pohon, atau membakar pokok pohon sampai mati.
Berbagai kendala menghadang tak membuatnya patah arang. Pada musim-musim tanam selanjutnya, berbagai strategi ditempuh. Salah satunya adalah dengan upaya sosialisasi yang lebih gencar ke masyarakat. Pihak yayasan juga menginisiasi program bakti masyarakat. Ada 12 Sekolah Dasar di seputaran kawasan yang dibina. Mereka difasilitasi banyak hal, mulai dari buku, drumb band, komputer dan lain lain. Harapannya, pendidikan mereka akan lebih maju. Juga sebagai sarana untuk lebih dekat dengan orang tua para murid yang rata-rata adalah petani penggarap lahan. Sehingga kesadaran menjaga hutan bisa dilakukan bersama.
Pendekatan dengan kearifan lokal, adat dan budaya juga ditempuh. Dimulainya musim tanam selalu diawali dengan upacara adat selamatan dan ‘ingkungan’. Teknis penanaman juga mulai ditata. Ada tim penanaman dan tim pemupukan.
“Kalau yang nanam ibu-ibu, kami lebih suka. Hasilnya lebih rapi, bapak-bapak lebih ke tenaga angkut bibit atau pupuk,” terang Gunawan.
Kritisnya lahan membuat keadaan tanah sudah mulai erosi. Dengan teknik penataan batu di sekeliling bibit, lanjut Gunawan bisa lumayan mengantisipasi hal ini. Pada tahun kedua, mengatasi kendala kekurangan air juga telah diterapkan sistem infus dengan botol air mineral bekas. Air diisi memakai air telaga yang ada di lingkungan kawasan. Ada tiga telaga yang berisi air ketika musim penghujan. Di musim kemarau, ketika air telaga belum mengering, maka akan dibuat mengisi botol-botol infus.Tanaman yang jauh dari telaga dibuatkan embung buatan dengan terpal.
“Lucunya, botol botol air mineral bekas untuk infus, ada saja yang tega mengambil, katanya laku untuk dijual ke rosok,” kata Gunawan dengan tertawa getir.
Membangun sebuah kawasan hutan memang sangat berat. Sekali lagi hal ini terkait dengan kesadaran masyarakat sekitar. Kebiasaan mencari kayu bakar dan pakan ternak di hutan tidak bisa dihilangkan begitu saja. Gunawan dan timnya tetap pantang menyerah. Berbagai pohon terus ditanam mulai dari talok, pace, sirsak, srikaya, mulwo, flamboyan, mete dan berbagai jenis ficus (beringin).
Dari tahun ke tahun, kerja keras mereka mulai menampakkan hasil. Kawasan hutan Sodong sedikit demi sedikit mulai menghijau, meski di musim kemarau. Berbareng dengan itu, keanekaragaman hayati mulai banyak variasinya. Penelitian yang dilakukan menunjukan hasil bahwa spesies berupa serangga, kupu kupu dan semut, grafiknya mulai naik.
“Ada 28 spesies saat ini. Naik drastis dibanding tahun 2020 yang masih sekitar 14 jenis. Untuk jenis burung, ketika musim hujan, ada 44 jenis burung, kalau kemarau sekitar 30 jenis,”
“Kalau monyet ekor panjang ada 5 koloni besar. Satu koloni ada ratusan anggotanya,” terang Gunawan lagi.
Pada perkembangannya, kawasan Marga Satwa Paliyan, saat ini banyak dijadikan pusat studi banyak mahasiswa dari berbagai universitas. Studi ini terkait bidang kehutanan. Untuk proyeksi ke depan, Gunawan mengatakan bahwa tujuan
“Lahan Suaka Marga Satwa Paliyan saat ini sudah ada perubahan 60 persen dari keadaan awal program,” imbuhnya.
Proyeksi ke depan, secara perlahan namun pasti, Yayasan Mitsui Sumitomo dan BKSDA tetap berkomitmen untuk mengembalikan fungsi hutan Sodong agar bisa kembali seperti semula.
“Fungsi hutan adalah penyangga bagi kehidupan masyarakat di sekitar kawasan. Pemanfaatannya memang harus bijak dan mempunyai asas berkesinambungan,” pungkasnya.